Entah mengapa Gibran merasa hatinya tersengat saat mendengar tangisan Nada. Ia tak akan sebegitu tersentuh seandainya saja suara itu tak terdengar tertahan. Sangat memilukan, membuktikan betapa terlukanya perasaan Nada. Sungguh, Gibran dibuat merinding.
Gibran pernah berkonsultasi pada dokter kandungan Nada dan ia memang pernah mendengar berbagai macam problema ibu hamil. Selain mual muntah, pusing, mengalami perubahan suasana hati dengan sangat cepat dan keluhan lainnya, ibu hamil juga dikatakan menjadi mudah lapar. Terlebih Gibran tahu Nada hanya sanggup menghabiskan sepertiga dari porsi makannya yang memang sangat sedikit.
Lelaki itu pun memutuskan untuk kembali ke dapur, ia mengupas sebutir mangga dan menambahkan beberapa biji buah stroberi. Bayangan ketika Nada memakan buah itu sambil menangis usai dimarahi Wulan kembali berkelindan. Nalurinya sebagai lelaki tergugah.
Nada menikmati setiap potongan mangga itu dengan lahap, sesekali mengusap lelehan yang membasahi pipi sambil melirik suaminya yang kini duduk di sofa dengan memangku laptop. Nada masih tak menyangka suaminya mau melakukan hal itu untuknya. Gibran telah membuat begitu banyak pria di bumi ini iri padanya. Bagaimana tidak? Tuhan menciptakan dirinya dengan pahatan terbaik. Sosoknya yang begitu gagah dan maskulin terlihat seperti dewa yang tersesat di bumi. Tak ada cela maupun cacat dalam diri suami Nada itu.
"Lain kali, jika lapar tengah malam, bangunkan saja aku, atau paling tidak minta pelayan untuk membantumu."
Rongga mulut Nada berhenti menggiling daging kuning yang terasa manis dan segar di tenggorokan. Nada meraih gelas untuk mendorong sisa makanan yang hendak dia telan.
Gibran tahu istrinya itu begitu sungkan padanya. Meski ia telah meminta Nada untuk mengatakan padanya saat menginginkan sesuatu, tetap saja Gibran tak yakin wanita itu mau melakukannya.
Nada sigap meraih kertas dan pena, kedua benda yang tak bisa jauh darinya kemudian mulai menuliskan sesuatu.
"Aku minta maaf sudah sangat merepotkan, Mas. Tapi sejujurnya aku tidak berniat mencuri apa pun. Aku tiba-tiba merasa lapar. Seandainya saja mama mengatakan makanan apa saja yang tak boleh aku makan, tentu aku tidak akan pernah memakannya."
"Habiskan buahmu dan pergi tidur. Pagi masih lama." Gibran mengembalikan catatan kecil itu pada sang istri.
"Aku sungguh sangat berterimakasih padamu, Mas." Nada menyodorkan tulisan itu lalu tanpa menunggu jawaban suaminya dia kembali dan membaringkan tubuhnya di kasur.
Tiba-tiba Nada merasa kenyang dan mengantuk. Entah efek dari buah yang baru saja dimakannya itu, atau karena perhatian kecil yang diberikan Gibran padanya. Setelah ratusan malam dia lewati dengan rasa cemas, mungkin ini akan menjadi malam terindah yang membuat tidur Nada pulas sampai pagi.
Ini terasa seperti mimpi, dan jika memang benar sikap manis Gibran hanyalah sebuah mimpi. Rasanya Nada lebih memilih untuk terus bermimpi dan tak ingin mengakhiri tidurnya.
Melihat Nada kembali tertidur dengan pulas, Gibran pun mengakhiri kegiatannya, dilihatnya wajah polos yang tampak damai itu tengah tersenyum dalam tidurnya. Ia pun ikut bergabung di bawah selimut yang sama. Sama-sama ingin menjemput mimpi indahnya.
***
"Hari ini aku ada rapat penting karena itulah aku mengubah jadwal kunjungan kita ke rumah sakit untuk memeriksa kondisi kandunganmu nanti sore." Gibran tengah berdiri di sisi ranjang sambil mengikat dasinya.
"Aku akan langsung pulang begitu pekerjaanku selesai. Tetap jaga diri dan jangan melakukan hal apa pun yang bisa memicu kemarahan mama. Paham?"
Nada mengangguk. Suaminya memang gila kerja dan sejak awal dia dapat memakluminya. Lelaki itu menjadi lebih banyak bicara padanya semenjak kejadian di dapur malam itu.
Hal yang membuat Nada menjadi serba salah, ia pikir dengan mengurung diri di kamar bisa meminimalisir pertemuannya dengan Wulan. Dengan begitu ibu mertuanya tak akan marah padanya. Akan tetapi jika dirinya terlalu lama berada di kamar pun dapat memantik emosi Wulan. Wanita berusia setengah abad itu pasti akan langsung mengatainya yang tidak-tidak.
Ada banyak hal yang terjadi selama Nada melewati masa kehamilannya, dan itu terasa semakin berat saat Nada bukan hanya harus melawan mual muntah dan segudang keluhan di awal kehamilannya. Ia juga harus menekan perasaannya ketika harus berhadapan dengan ibu mertua yang sering membuatnya makan hati. Sampai kehamilannya membesar, tak membuat Wulan sedikit pun menaruh simpati padanya. Wanita itu selalu menganggapnya musuh.
Sore harinya.
Gibran mendapati istrinya melamun dengan pandangan kosong ke luar jendela sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Dengan perut yang membuncit, Gibran merasa Nada berubah menjadi jauh lebih cantik. Naluri Gibran menuntun tangannya menuju tempat di mana buah hatinya tinggal, ia mengusapnya pelan.
Reflek Nada menepis tangan suaminya begitu ia tersadar dari lamunannya.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"
Dan seperti biasa, Nada akan menggeleng dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Bisa saja dia menceritakan tentang perasaannya, tapi Nada tak ingin membuat suaminya menjadi tidak nyaman. Alih-alih membelanya, Gibran bisa saja seperti ibunya yang bersikap kasar padanya. Selain itu Nada juga tak ingin merusak hubungan antara ibu dan anak itu.
Keheningan kembali menyelimuti di sisa perjalanan sampai mereka tiba di ruang periksa.
"Berat badan bayi rendah untuk usia kehamilan saat ini, Bu Nada." Dokter menatap Nada prihatin. Sebagai dokter dia jelas tahu penyebabnya.
"Jangan terlalu banyak pikiran ya, usahakan banyak istirahat."
Gadis bisu itu hanya mengangguk lemah. Seketika dia merasa bersalah pada suaminya dan kakek Bayu. Tidak seharusnya hal ini terjadi, Nada harus membalas kebaikan mereka dengan melahirkan bayi yang sehat dan sempurna.
"Meski begitu bayi kami baik-baik saja kan, Dok?"
"Benar, Pak. Bayinya sehat dan sangat aktif, hanya saja berat badannya kurang untuk ukuran usia kehamilan Bu Nada saat ini."
Gibran melirik Nada yang masih berbaring di ranjang periksa. Sepasang suami istri itu kemudian pulang dengan sekantong obat yang diresepkan dokter untuk Nada.
"Jangan terlalu memikirkan sikap mama padamu," cetus Gibran saat keduanya telah masuk ke mobil.
Lelaki itu tahu apa yang membuat istrinya tertekan, tapi dia juga tak bisa berbuat banyak. Seperti dirinya yang ingin selalu mendapatkan yang terbaik, begitu juga dengan Wulan. Ibu mana yang tak mau anaknya hidup bahagia dengan memiliki pendamping yang sempurna. Kekecewaan yang dirasakan Wulan, Gibran juga merasakannya.
"Setidaknya jangan kecewakan kakek yang sudah menaruh harapan besar untuk melihat cicitnya lahir. Beliau sudah mau mempertahankan posisimu di rumah, jadi berikan yang terbaik sebagai balasannya."
Hati Nada kembali dibuat patah saat diingatkan tentang fakta kalau suami dan kakeknya bersikap manis padanya hanya demi bayi yang tengah ia kandung. Jika bisa memilih, Nada juga tak mau terlibat dalam pernikahan bisnis seperti itu. Akan ada banyak hati yang terluka, bukan hanya dirinya saja. Namun siapa yang bisa melawan takdir?
Wajah sumringah Bayu menyambut kepulangan cucu dan cucu menantunya. Lelaki tua itu tak sabar mendengar hasil pemeriksaan kandungan Nada. Setiap kali pulang dari rumah sakit, Nada dan Gibran pasti akan dihadang dan diberikan banyak sekali pertanyaan tentang bayi mereka.
"Berat badan bayinya cukup rendah," ungkap Gibran begitu mereka semua duduk di ruang keluarga.
Seketika wajah Bayu berubah murung. Ia menatap cucu menantunya dengan penuh kekecewaan, padahal hal itu bukan sepenuhnya salah Nada.
"Sejak awal aku sudah menduganya. Wanita sepertinya mana bisa melahirkan bayi sehat." Wulan menyahut sinis.
"Tapi meski begitu bayinya sehat, Ma." Gibran memberikan penjelasan.
"Apa penyebabnya?" Bayu memilih pertanyaan itu di antara banyaknya pertanyaan yang membuatnya penasaran.
"Terlalu banyak pikiran. Nada stres dan merasa tertekan."
Wulan mendelik saat Bayu menatapnya tajam seolah sedang menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada Nada.
"Itu karena dia pemalas, semenjak hamil dia hanya tahu mengurung diri di kamar."
"Kamu seperti tidak pernah hamil saja, Wulan. Dulu sewaktu hamil Gibran juga kamu begitu," timpal Bayu.
Wulan merengut masam. Ayah mertuanya lebih sering membela Nada ketimbang dirinya semenjak istri Gibran itu hamil.
"Sudah. Tidak usah diperpanjang lagi. Sudah malam, sebaiknya kalian kembali ke kamar." Arya berusaha melerai sebelum terjadi pertikaian yang lebih besar lagi antara ayah dan istrinya.
'Lihat saja nanti. Begitu bayi itu lahir, akan aku pastikan mereka semua menendangmu keluar dari rumah ini. Coba lihat, penerus garis keturunan trah Salim yang kamu lahirkan akan seperti apa nanti. Aku berharap semoga saja cucuku tidak cacat dan juga pembawa sial seperti ibunya.' Wulan menatap sinis kepergian menantunya.
Nada memasuki kamarnya dengan perasaan sesak yang tak terkira, rasanya ia sampai lelah menangis. Seringkali terbersit pertanyaan dalam hatinya, akan sampai kapan dia harus menjalani kehidupan seperti itu.
Langkah Nada terhenti sebelum kakinya benar-benar masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Sesuatu yang mengalir dari sela-sela kakinya menuntun pandangannya ke bawah dan detik berikutnya dia hampir pingsan saat melihat cairan merah pekat menetes di lantai.
"Setelah bebersih langsung tidur. Bi Narti akan membawakan susumu ke sini."
Gibran menoleh dan betapa terkejutnya pria itu saat melihat Nada terduduk di lantai dengan noda darah yang menggenang di sana.
"Nada!"
Pemuda itu urung mengganti bajunya dan menghambur pada Nada. Nada meringis memegangi perutnya, butiran keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Nada sangat kesakitan.
"Astaga, Nada!" Gibran menggendong Nada dan segera melarikannya ke rumah sakit.