8. Sedikit Perhatian

1777 Words
Memiliki mertua bermulut pedas sungguh membuat Nada tertekan. Hampir setiap hari selalu ada saja hal yang dijadikan bahan bagi Wulan untuk memarahinya. Nada juga tak bisa berpikir Bayu berada di pihaknya meski pria berusia senja itu kadangkala masih memikirkan perasaannya. Setidaknya Bayu tak lagi bersikap dingin meski Nada tahu hal itu dilakukan kakek tua itu demi bayi dalam kandungannya. Arya, ayah mertuanya cenderung dingin dan abai, tapi masih jauh lebih baik dibandingkan Wulan. "Jangan jadikan kehamilanmu sebagai alasan untukmu bermalas-malasan." Nada baru saja memuntahkan sarapannya pagi itu dan hendak kembali berbaring lantaran ia merasa sangat lemas ketika ibu mertuanya yang super cerewet itu tiba-tiba saja masuk ke kamarnya. "Kamu seharusnya sadar diri! Kehadiranmu di sini sama sekali tidak ada artinya. Kalau bukan karena bayi dalam kandunganmu itu, Gibran pasti sudah menceraikanmu." Nada menatap sendu ibu dari suaminya. Ia mengira mereka bisa menjalin hubungan dengan baik. Nada sangat merindukan sosok ibu yang telah lama berpulang, sementara Wulan tak memiliki anak perempuan. Nada pikir hubungan mereka bisa dekat seperti ibu dan anak pada umumnya. Namun, dugaannya keliru. Nada lupa kalau keluarga suaminya menginginkan wanita lain untuk menjadi menantu mereka dan bukannya gadis bisu seperti dirinya. "Ngaca, kamu! Kamu itu sudah bisu, pembawa sial, jadi jangan sampai mengecewakan ayah saya yang sudah sangat baik mempertahankan kamu di sini. Jaga baik-baik kandunganmu dan lahirkan bayi yang sehat," omel Wulan lagi. Seperti biasa, Nada hanya mengangguk. Ia sadar ibu mertuanya tak butuh pembelaan apa pun karena di mata wanita itu dirinya selalu salah. "Permisi, Nyonya. Tuan Besar meminta saya untuk membawa Non Nada ke taman." Bi Narti, salah satu asisten rumah tangga di rumah itu telah berdiri di ambang pintu. Kehadiran pelayan itu menghentikan ocehan Wulan yang sebenarnya masih belum menyemburkan semua kemarahannya pada Nada. "Kali ini kamu selamat! Perhatikan sikapmu!" Wulan menatap sinis menantunya. "Semenjak kehadiranmu di sini kamu membuat tekanan darah saya sering naik." Nada berjingkat tatkala Wulan pergi dengan menghentakkan kakinya kesal. "Yang sabar ya, Non. Nyonya memang begitu orangnya." Narti menghampiri Nada, menatap iba menantu baru di keluarga Salim itu. Nada mengulas senyum menyembunyikan pahit getir kehidupan yang tengah dia rasakan saat ini. Narti membimbingnya keluar kamar menghampiri Bayu yang sedang duduk di taman. Nasib membawa Nada pada kehidupan seperti di neraka, membuatnya berteman duka dan air mata. Betapa Nada melewati malamnya dengan menangis sendirian meratapi apa yang terjadi padanya. Nada pun tak menyangka kakaknya tega menjadikan dirinya sebagai tumbal demi menyelamatkan perusahaan. "Apa kamu makan dengan baik?" Nada mengangguk cepat meski sebenarnya apa pun yang dia makan akan berakhir dengan dia memuntahkannya. Bukan tanpa alasan, Nada sengaja berdusta demi menjaga perasaan kakek dari suaminya itu. "Syukurlah. Kakek dengar biasanya wanita hamil itu menjadi lebih sering mengantuk dan mudah lelah, banyak-banyak istirahat dan jangan sampai stres." Pria tua itu mengusap lembut punggung tangan Nada. Nada tahu apa yang dilakukan Bayu semata karena bayi dalam kandungannya, tapi tak dapat dipungkiri ada rasa haru yang menyeruak dalam d**a saat diperlakukan dengan hangat begitu. Nada merasa kehadirannya sedikit berarti di tengah penolakan semua orang terhadap posisinya sebagai Nyonya Gibran. "Kenapa kamu menangis? Apa ada yang salah dengan perkataan Kakek barusan?" Lelaki tua itu menaikan dagu cucu menantunya membuat mereka saling bertatapan. Nada dengan tegas menggeleng dan buru-buru menuliskan sesuatu di kertas yang kemudian dia tunjukkan pada Bayu. Ia tak mau lelaki itu salah paham. "Tiba-tiba saja aku teringat papaku. Maafkan aku, kakek." "Tidak apa. Kamu bisa pulang ke rumahmu untuk mengurangi rasa rindumu pada ayahmu." Nada menarik diri dari pelukan pria tua itu, menarik napas dalam dan mencoba mengatur emosinya yang tiba-tiba menjadi naik turun tak karuan. Kurang ajar sekali dia yang telah menginginkan lebih atas sikap baik Bayu, padahal keberadaannya di sini hanya sebagai mesin pencetak anak untuk meneruskan garis keturunan trah keluarga Salim. Nada mulai menarik benang dari dalam jarum besar. Ia mengisi kegiatannya dengan menyulam dan membuat karangan bunga. Sejak tahu dirinya hamil, Bayu melarang keras agar Nada tak pergi mengajar dan mengambil cuti lebih awal. Lelaki tua itu sungguh menginginkan segala sesuatu yang terbaik demi calon cicitnya. Sementara cucu menantunya menyulam, Bayu memilih duduk di sana sambil membaca buku tebal kesukaannya. Sambil membetulkan letak kacamatanya, sesekali dia melirik Nada yang tampak serius dengan kegiatannya. 'Pantas saja anak nakal itu tergoda karena istrinya memang sangat cantik. Aku harus berterimakasih padanya yang sudah susah payah mau mengandung cicitku. Cicitku harus lahir dengan sehat.' Bayu memalingkan muka saat Nada menaikan kepalanya sebelum dirinya terpergok sedang memperhatikan gadis itu. *** Nada terjaga saat udara dingin membelai kulitnya, dan ia baru menyadari ternyata gorden jendela kamar belum sepenuhnya tertutup. Ia melirik jam di atas nakas. Masih lama menunggu malam berganti pagi, ia akan mencoba kembali tidur. Sampai kemudian tatapan Nada tertuju pada suaminya yang tengah terlelap. Jemari lentik wanita itu mengikuti kata hatinya, terulur menyentuh rahang tegas Gibran, tapi belum sempat Nada menyentuhnya, ia kembali menarik tangannya. Nada tak mau menganggu tidur suaminya yang tampak sangat kelelahan. Nada terus berguling mencari posisi ternyaman, tapi matanya tak mau terpejam juga. Belum lagi bunyi perutnya yang terdengar memalukan. Nada hanya mengisi perutnya dengan sedikit makanan ketika makan malam karena takut rasa mual kembali menyerangnya. 'Kenapa aku malah menjadi lapar tengah malam begini. Makan puding cokelat dan buah mangga sepertinya enak.' seketika air liur terbit memenuhi rongga mulutnya saat Nada membayangkan memakan makanan itu. Perlahan Nada menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya lalu keluar dari kamar dan menuju dapur. Jarak yang cukup jauh dari kamarnya membuat gadis itu tak hanya lapar tapi juga haus. Manik matanya yang bening kecokelatan berbinar saat membuka lemari pendingin dan melihat makanan yang dicarinya ada di sana. Nada mengambil sepotong puding cokelat dan juga mangga ranum. Nada merasa bayi dalam kandungannya bersorak senang ketika makanan itu melewati tenggorokan dan berakhir di lambungnya. "Ya ampun! Ternyata kamu pencurinya?" Hampir saja Nada tersedak saat melihat Wulan tiba-tiba muncul. Wanita itu mendekat sambil bertepuk tangan seakan baru saja melihat pertunjukan yang spektakuler. "Saya nggak habis pikir, ternyata begini sifat asli tuan putri dari keluarga Hadinata yang katanya keluarga terhormat, tengah malam mengendap mencuri makanan?" Demi Tuhan, Nada merasa terhina tiap kali Wulan menyebutnya pencuri makanan. Sisa potongan mangga yang belum sempat ia telan seperti tersangkut di tenggorokan. "Tadinya saya pikir orang tuamu mendidikmu dengan baik, tapi melihat kelakuanmu yang seperti ini membuat saya yakin kalau mereka yang sudah mengajarimu cara bagaimana naik ke ranjang laki-laki kaya demi mendapatkan apa saja yang kamu mau." Deg. Sekujur tubuh Nada melemas mendengar kalimat yang baru saja diucapkan ibu mertuanya. Nada tahu seberapa besar kebencian Wulan padanya, tapi tak menyangka wanita itu akan menuduhnya sedemikian rendah. "Sampai kamu hamil, pasti karena kamu merayu anak saya, benar begitu?" Tubuh Nada mulai menggigil. Tega sekali Wulan menyiksanya dengan perkataan kejam begitu. Andai kata Nada tak bisu pun belum tentu ibu mertuanya mau mendengarkan perkataannya. "Kamu tahu alasan kakakmu yang tidak tahu diri itu menjebak anak saya untuk menikahimu? Hanya demi bisa menyelamatkan perusahaannya yang diambang kebangkrutan, dia tega menjualmu. Itu berarti dia melakukan itu karena dia sama sekali tidak pernah menyayangimu sebagai adiknya dan hanya mementingkan hidupnya saja. Saya yakin, kamu bagian dari mereka yang tak mau hidup susah sampai pada akhirnya rela melakukan segala cara." Sekuat hati Nada menahan tangisnya, membiarkan Wulan menaburi luka yang ternganga dalam hatinya dengan garam dan menambahkan cuka di atasnya. Perih. Amat perih. "Ma, ada apa?" Gibran buru-buru menghampiri ibunya, melirik Nada yang tengah menunduk dengan bahu bergetar. Gibran tahu istrinya sedang menangis. Pemuda itu terbangun karena tak mendapati Nada ada di sebelahnya. Awalnya Gibran kira Nada sedang berada di kamar mandi, tapi ketika dia mengeceknya tempat itu begitu sunyi dan tak ada tanda-tanda aktivitas di sana, Gibran memutuskan untuk turun ke dapur. "Istrimu ini, wajahnya saja yang kelihatan lugu tapi sebenarnya dia itu licik. Sangat licik, Gibran. Tak beda jauh dengan kakaknya. Setiap pagi sampai malam dia berakting sakit dan terus memuntahkan makanannya, tapi di tengah malam saat semua orang tidur, dia mengendap ke dapur dan menghabiskan semua makanan seperti pencuri. Pikir saja, Gibran. Apa pantas perempuan yang katanya terhormat bersikap seperti ini? Seolah kita tidak memberinya makan saja." Gibran menghela napas panjang. "Sebaiknya Mama istirahat saja, biar aku yang akan memberikan pelajaran pada Nada." Mengusap bahu wanita yang telah melahirkannya, meminta dengan cara halus agar Wulan tak memperpanjang masalah. "Kamu harus memberinya hukuman agar dia tak mengulangi kesalahannya lagi! Jangan sampai istrimu itu berbuat sesuatu yang membuatmu malu dan mencoreng nama baik keluarga kita." Wulan pergi dengan tatapan sinis yang terus tertuju pada Nada bahkan setelah langkah kakinya membawa tubuh wanita itu menjauh. Hening. Sunyi, hingga detik jarum jam dinding yang bergerak dan tarikan napas kedua anak manusia itu terdengar jelas sepeninggal Wulan dari ruangan tersebut. Nada menyeka wajahnya dengan kasar menantikan apa yang akan dilakukan suaminya yang katanya tadi akan menghukumnya. Hingga detik berganti menjadi menit, Gibran masih setia berdiri menjulang di hadapannya dengan mulut terkunci rapat. Lelaki itu hanya diam mengamati istrinya. Nada kemudian bangkit mengambil piring yang masih menyisakan sebagian kecil puding dan beberapa potong mangga. Ia kemudian membuangnya di tempat sampah dan mencuci wadah kotor itu. Gibran menggeleng melihat tingkah istrinya. Perlahan dia mendekati Nada dan mengambil piring itu dari tangan istrinya. "Biarkan pelayan yang mencucinya." Nada tak mengindahkan ucapan suaminya, dia justru kembali mengambil piring itu dan mencucinya. Menyabuni, membilas dan terus melakukan hal yang sama berulang kali hingga membuat Gibran geram. "Aku bilang taruh piringnya!" bentak pemuda itu tanpa sadar. Tangis Nada pecah. Tanpa kata dia menaruh piring bersih itu di tempatnya dan kembali naik ke kamar meninggalkan Gibran yang masih terpekur di sana. Gadis itu bersembunyi di kamar mandi, menumpahkan semua tangis kesedihan sampai ia merasa cukup lega. Saat keluar, Gibran ternyata sudah ada di kamar. "Kamu lapar?" Satu pertanyaan yang sama sekali tak Nada duga akan meluncur dari bibir suaminya. Ia kira Gibran akan marah dan benar-benar menghukumnya, seperti ucapan pria itu pada ibunya tadi. Nada menggeleng lemah kemudian menaiki kasurnya dengan hati-hati. Ia berusaha memejamkan mata meski titik bening itu tak mau berhenti mengalir. 'Sudah, jangan menangis. Akhir-akhir ini kamu sudah terlalu banyak menangis, Nada.' wanita itu menghibur dirinya sendiri. Nada merasa lega sekaligus takut saat mendengar derap langkah suaminya yang semakin menjauh. Menunggu dengan hati berdebar memikirkan apa yang akan dilakukan lelaki itu. Namun tak berselang lama Nada kembali mendengar daun pintu terbuka. Walau dengan mata terpejam, Nada dapat merasakan Gibran duduk di bibir ranjang. Di dekatnya. "Makanlah! Kamu pasti masih lapar. Jangan biarkan dirimu kelaparan sementara semua orang di sini bahkan bebas memakan makanan apa saja yang mereka inginkan." Nada membuka matanya, sepiring buah potong segar menyapa penglihatannya pertama kali. Pandangannya berpindah menatap wajah tampan yang tampak dingin masih memegang piring. Kesedihan yang begitu mendalam kini berganti menjadi rasa haru yang merebak membuat air mata kembali tumpah membanjiri wajah pucat Nada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD