Firasat Gibran benar adanya ketika sang kakek memintanya untuk tidak menceraikan Nada. Saat ini semua orang tengah berkumpul di ruang keluarga untuk membahas hal itu.
"Jangan ceraikan dia," ucap Bayu tak ingin dibantah. "Anakmu sedang tumbuh di perutnya, penerus garis keturunan Salim. Dia harus tumbuh dengan baik tanpa gangguan atau kekurangan apa pun."
Gibran mendengus. Ia bahkan masih sangat syok mendengar kabar itu dan tidak menyangka hanya dengan melakukannya sekali saja akan berhasil menumbuhkan benih yang disemainya malam itu. Nada istri yang baik, Gibran akui itu.
Selama tinggal di rumah itu Gibran melihat sendiri bagaimana totalitas Nada menjalani perannya sebagai istri. Nada terlihat sangat sabar menghadapi sikapnya yang terkadang kasar dan juga abai. Namun berkali-kali Gibran menegaskan dalam hatinya kalau tak ada sedikit pun rasa cinta di hatinya untuk wanita itu. Itulah mengapa dia ingin berpisah, tapi dengan adanya bayi dalam perut Nada, rasanya mustahil baginya dapat menjemput kebebasannya.
Wulan melipat kedua tangan di d**a, emosinya menjadi tak terkendali pasca mendengar berita kehamilan menantunya.
"Salahmu sendiri! Kamu menjadi tak bisa bercerai dari gadis bisu itu karena kecerobohanmu sendiri. Sudah tahu mau pisah, kenapa kamu malah menidurinya?" Wulan terus menyudutkan putranya.
"Mama yakin, keluarga kita akan terus mendapat kutukan nanti. Lihat saja! Ibunya saja bisu, bagaimana dengan anaknya nanti."
"Ma," desis Arya meminta istrinya menutup mulut.
"Ayah sudah sering sakit-sakitan. Tidak tahu sampai kapan Tuhan memberikan kesempatan untuk bisa menghirup udara dengan bebas. Dan sebelum malaikat maut datang menjemput, Ayah ingin sekali melihat anak Gibran lahir. Cicitku." Bayu menyuarakan isi hatinya yang selama ini hanya ia pendam. Sepanjang hidupnya, selama menjalani masa tuanya hanya satu impiannya, yaitu bisa melihat cicit sebelum waktunya di dunia ini habis dan Tuhan memanggilnya.
"Tapi aku tidak yakin apakah bayi itu terlahir dengan sehat atau tidak, Ayah. Bagaimana jika bayi itu terlahir cacat?"
"Bahkan daun yang jatuh saja telah diatur sedemikian rupa takdirnya oleh Tuhan, Wulan. Lantas mengapa kamu sibuk memikirkan hal yang belum tentu terjadi?" Pria tua itu menatap menantunya lekat.
"Melihat kondisi ibunya membuatku tak yakin." Wulan kukuh dengan pendiriannya. "Ini akibat dari kebodohanmu, Gibran. Kalian akan berpisah dan rumah ini akan kembali damai seandainya saja kamu tidak meniduri wanita bisu itu. Dosa besar apa yang sudah kamu perbuat sampai kamu mendapatkan istri seperti itu." Wulan tak henti bersungut. Tentu saja dia sangat menyayangkan sikap putranya yang dinilai terlalu ceroboh. Di mulut terus mengatakan ingin berpisah, tapi kenyataannya malah berakhir seperti ini.
"Sudahlah! Jangan terus menerus menyalahkan cucuku atas apa yang terjadi. Apa yang sudah menjadi ketetapan Tuhan tidak akan berubah meskipun kita mati-matian menolaknya. Kasihanilah ayahmu yang sudah renta ini. Ayah tidak menginginkan apa-apa lagi selain seorang bayi." Ada pendar kebahagiaan yang nyata terpancar di netra tua itu ketika menyebut kata 'bayi'.
Arya melirik istrinya mengkode wanita itu untuk diam. Wulan sudah terlalu banyak bicara.
Keesokan paginya.
Suara gaduh yang bersumber dari kamar mandi mengusik tidur Gibran. Lelaki itu mengucek matanya, pandangannya menatap daun pintu setelah menyadari ruang di sampingnya kosong. Dengan sedikit malas lelaki itu bangkit dari pembaringan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Nada berdiri di depan wastafel sembari memegangi perutnya, ia berusaha mengeluarkan sesuatu yang bergolak dari perut dan naik ke kerongkongannya. Melihat itu, Gibran tahu istrinya sangat tersiksa.
Wanita itu terperanjat saat membalikkan badan melihat suaminya telah berdiri di sana.
"Kamu muntah-muntah?"
Nada mengangguk kemudian menulis sesuatu di kertas.
"Maaf sudah menganggu tidurmu, Mas. Tunggu sebentar aku akan buatkan minum."
'Bisa-bisanya dia masih memikirkan orang lain di saat dia sendiri tersiksa begitu.' Gibran membatin usai membaca tulisan Nada.
Lelaki itu mencekal pergelangan tangan istrinya membuat langkah Nada terhenti. Nada pun menoleh dengan tatapan penuh tanya.
"Biar aku minta pelayan untuk mengantarkan minuman ke sini, sebaiknya kamu kembali naik ke kasur," titah Gibran.
Nada menggeleng pelan. Bagaimana bisa dia kembali tidur saat hari telah pagi dan semua orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Bisa-bisa ibu mertuanya akan kembali menceramahinya, mengatai dirinya pemalas dan perkataan kasar lainnya yang tidak pernah Nada bayangkan akan terucap dari bibir seorang ibu.
Nada hendak kembali melangkah, tapi lagi-lagi Gibran berhasil menahannya. "Kamu sedang sakit, jangan keras kepala. Duduk diam di kasur dan tunggu pelayan datang membawakan minuman dan sarapan untukmu."
Nada melepas pegangan tangan Gibran dan kembali menulis.
"Aku istrimu, jadi sudah seharusnya aku yang mengurusmu, bukan sebaliknya."
Tanpa aba-aba Gibran mengangkat tubuh Nada dan membaringkannya di kasur.
"Diam di sini dan jangan banyak bertingkah," ucap Gibran sebelum ia bangkit.
Pria itu memencet tombol interkom yang terhubung langsung dengan dapur, meminta pelayan membawakan minuman hangat serta sarapan ke kamarnya.
"Habiskan sarapanmu, setelah itu kita ke rumah sakit."
Nada tak membantah karena memang merasa ia memerlukan obat untuk memulihkan kondisinya. Netranya menatap lekat lelaki yang kini duduk di bibir ranjang. Meski tak lagi berlaku dan berucap kasar padanya, tapi Gibran bersikap dingin padanya akhir-akhir ini. Seingatnya semalam Gibran mengatakan ingin menceraikannya, tapi pagi itu Nada dibuat heran melihat sikap suaminya berubah menjadi lebih hangat.
Nada belum mengetahui perihal kehamilannya jadi dia tak tahu kalau suaminya bersikap demikian karena memikirkan janin dalam kandungannya.
"Apa kamu mendengarkan apa yang aku katakan?"
Nada tersentak, ia dengan cepat mengangguk.
"Habiskan sarapanmu dan bersiaplah, kita pergi ke rumah sakit."
Setelah mengatakan itu Gibran beranjak untuk pergi mandi dan bersiap-siap. Tak pernah Gibran bayangkan dirinya akan menjadi seorang ayah dalam waktu secepat itu. Rasanya dia masih belum dapat mempercayai kalau hanya dengan sekali melakukannya saja sudah bisa membuat Nada hamil.
"Aduh, tuan putri dari keluarga Hadinata baru saja bangun? Dia bahkan lupa kalau dia sudah bersuami," sindir Wulan melihat anak dan menantunya menuruni anak tangga.
"Wulan, kamu juga seorang ibu, kamu pasti pernah merasakan apa yang dirasakan Nada saat ini." Bayu menyahut tak suka dengan ucapan pedas menantunya.
Nada membungkuk agak lama sebagai ucapan permintaan maaf.
"Kalian akan pergi ke rumah sakit?"
"Iya, Kek." Gibran menjawab singkat pertanyaan kakeknya.
"Kakek ingin sekali ikut bersama kalian, tapi setelah dipikir-pikir lebih baik Kakek di rumah dan menunggu hasil pemeriksaannya saja daripada Kakek merepotkanmu nanti," sahut Bayu.
"Hm, aku akan segera pulang begitu semuanya selesai dan kembali ke kantor karena ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan."
Bayu dan yang lainnya mengangguk paham. Sepasang suami istri itu masuk ke dalam kereta besi dan bergegas menuju rumah sakit sebelum hari semakin siang dan mereka akan terjebak macet.
Nada menyandarkan kepalanya di bahu kursi sambil memejamkan mata. Sesekali perutnya kembali bergolak, membuatnya ingin muntah tapi ia tahan karena ada Gibran di sana.
"Pak Dirman, ada permen?" Gibran yang terus melihat gerak-gerik Nada tahu jika istrinya merasa tak nyaman jadi dia berinisiatif meminta permen berharap dengan itu bisa mengurangi rasa mual yang tengah dialami Nada.
"Ada, Den. Sebentar."
Lelaki paruh baya itu membuka laci di dasbor mobil dan mengeluarkan beberapa bungkus permen. Ia kemudian menyerahkannya pada Gibran yang hanya mengambilnya sebutir.
"Siapa tahu bisa sedikit meredam rasa mualmu," ucap Gibran menyodorkan bungkusan kecil yang telah dia buka itu.
Nada menatap suaminya berharap pria itu dapat membaca ungkapan terima kasihnya yang tak terucap.
Mereka tak perlu mengantre lama karena asisten Gibran telah mengurus pendaftaran Nada sebelumnya untuk periksa di poli kandungan. Nada yang tak banyak berpikir sempat tertegun setelah menyadari dirinya berada dalam ruangan itu. Ia pasrah ketika dokter memintanya untuk berbaring di bed periksa dan melakukan sesuatu di perutnya.
"Hm," gumam dokter wanita berparas cantik itu.
"Bagaimana, Dok?" Gibran menunggu jawaban dokter dengan hati yang sedikit berdebar.
"Benar, Pak. Bu Nada hamil. Silakan Bapak lihat ini." Menunjuk satu titik pada layar monitor dan memperbesar gambarnya. "Ini adalah kantung janin Bu Nada. Selamat atas kehamilannya ya Pak, Bu."
Nada tersentak. Ia menatap suaminya dan dokter itu bergantian. Sama seperti suaminya yang terkejut, Nada juga tak mengira kalau perbuatan mereka yang hanya dilakukan sekali di malam itu berhasil menumbuhkan janin di rahimnya. Berbagai macam pikiran kini berkecamuk dalam benak gadis itu. Air muka suaminya terlalu datar sampai Nada tak bisa membaca apa yang tersimpan dalam hati Gibran.
"Dijaga baik-baik kandungannya ya, Pak, Bu. Biasanya di awal masa kehamilan akan rentan terjadi keguguran jadi Bapak harus lebih ekstra menjaga istri Bapak. Perhatikan pola makan dan jam istirahat, jangan terlalu lelah dan banyak pikiran karena itu akan sangat berdampak pada tumbuh kembang janin." Dokter memberikan nasehat.
"Iya, Dok."
"Saya sudah tuliskan resep obat penguat kandungan dan juga vitamin, pastikan Bu Nada meminumnya sesuai anjuran."
Nada mengangguk. Ia melirik suaminya yang sedang menerima secarik kertas resep yang diberikan dokter. Lagi-lagi Nada mendapati raut wajah suaminya yang begitu tenang hingga Nada tak bisa menebak apa yang sedang ada dalam pikiran lelaki itu. Namun detik berikutnya Nada menjadi teringat akan sikap baik Gibran padanya pagi tadi.
'Jadi dia bersikap baik padaku karena tahu aku hamil?' tanyanya dalam hati yang kemudian membuatnya ingin menangis.
'Tentu saja begitu, memang apa lagi yang kamu harapkan, Nada.'
Memang tak seharusnya Nada menaruh harapan pada rumah tangganya yang sejak awal memang bermasalah.