12. Hadirnya Seseorang

1436 Words
Bubur yang Nada telan seperti kerikil yang tersangkut di tenggorokannya. Ia menolak makan atau pun minum apa pun karena yang terpenting saat ini Nada hanya ingin bertemu dengan anaknya. Setelah dokter selesai memeriksanya, Gibran memintanya untuk makan. Nada berusaha menolak karena ingin cepat bertemu dengan sosok mungil yang mendiami rahimnya selama delapan bulan ini. Akan tetapi pria itu bersikeras memaksa Nada untuk makan. Fokus Nada terpecah antara memikirkan buah hatinya dan tentang apa yang akan dibicarakan Gibran dengannya. "Nanti aku akan minta dokter memberikan obat yang terbaik untuk bisa mengurangi rasa sakitmu," cetus Gibran kala melihat istrinya makan sambil sesekali menyeka wajahnya yang basah. Gibran mengira Nada menangis karena masih merasa kesakitan. Karena pikirannya yang kalut, juga suasana hatinya yang memburuk, Nada kembali menaruh mangkuk yang isinya baru berkurang beberapa suap itu di nampan. Ia memberanikan diri menatap suaminya menanti apa yang akan dikatakan pria itu. Tak bertahan lama karena setelahnya tangis Nada kembali pecah. "Apa perlu aku panggilkan dokter?" tanya Gibran yang masih belum juga mengerti dengan apa yang diinginkan istrinya. Ia frustasi saat Nada menggeleng tegas. "Sebentar." Gibran mencari-cari sesuatu dalam laci nakas lalu memberikannya pada Nada setelah mendapatkan benda yang sangat berguna itu. "Coba tulis apa sebenarnya yang kamu rasakan?" Nada menumpahkan isi hatinya dengan menuliskan tinta pada kertas putih itu. Saking marahnya, Nada menekan ujung pena sampai lembaran tipis itu nyaris robek dibuatnya. "Aku hanya ingin melihat bayiku. Tolong, izinkan aku menemuinya, Mas." Tulis Nada. Tentu saja Gibran terkejut karena yang dia tahu Nada menangis lantaran kesakitan. "Aku pasti akan memperlihatkan bayi itu padamu, tapi sebelum itu ada hal yang ingin aku katakan," ucapnya. Nada menaikan jarinya mengkode Gibran untuk langsung bicara. Nada sering mendengar kata-k********r, makian atau hal apa pun yang paling pahit sekali pun. Dia telah menyiapkan hati untuk itu. Nada tak sempat memikirkan bagaimana masa depannya nanti seandainya saja dia benar-benar berpisah dengan Gibran. "Hm, soal bayi itu. Aku belum memberinya nama. Kakek memberikan beberapa nama dan membiarkan aku memilih salah satu, tapi meski begitu ... Kamu adalah ibunya. Kamu yang paling berhak memberikan nama untuk bayimu." Bak tersiram air dingin yang seketika mampu meredam gemuruh badai di d**a Nada, wanita yang baru saja melahirkan itu berkaca-kaca. Ia terharu. Sulit baginya mempercayai kalau Gibran masih memikirkan perasaannya. Ya, meskipun lagi-lagi kenyataan bahwa setiap apa yang dilakukan Gibran dilandasi oleh bayi mereka. Kenyataan itu menampar Nada. Gibran mengambil alih pena dan kertas di tangan istrinya kemudian mulai menuliskan sesuatu di sana. "Ini daftar nama yang dipilihkan kakek. Kamu bisa memilih salah satu atau memakai nama yang kamu mau untuk bayi itu." Nada mengeja dalam hati setiap baris nama yang ditulis suaminya. Nama bayi laki-laki yang indah sampai Nada dibuat bingung memilihnya. "Yang mana? Mama akan mengurus segala sesuatunya untuk bayi itu, jadi kita harus cepat memberinya nama," kata Gibran lagi. Nada melingkari nama yang dipilihnya, nama yang menurutnya paling bagus di antara banyak nama pemberian Bayu. Tak lupa Nada juga menuliskan pesan untuk Gibran agar lelaki itu juga ikut menyematkan nama jika dia mau. Gibran diam nampak berpikir. Anak lelaki pertamanya harus memiliki nama yang indah. Selain nama adalah do'a dan pengharapan, Gibran juga ingin kelak putranya dikenal dunia. Nama yang akan membanggakan dirinya dan juga keluarga besarnya. "Aku setuju denganmu. Nama ini sudah yang terbaik menurutku. Ken Ananta Salim. Kakek pasti akan sangat bahagia kita memakai nama pemberian beliau." Senyuman tipis tersemat di bibir Nada yang masih memucat. "Tunggu sebentar, aku akan meminta suster membawa bayimu kemari." Gibran bangkit dan tubuhnya lenyap di balik pintu. Ia kembali lima menit kemudian dengan diikuti seorang perawat yang tengah mendorong box bayi. Senyuman di bibir Nada mengembang sempurna, dia akan melihat bayinya dalam hitungan detik. Namun, senyum indah itu perlahan memudar saat Nada melihat tak hanya suami dan suster saja yang datang, tetapi ada mertua dan juga kakek dari suaminya. Ia menarik napas panjang bersiap menerima siraman rohani dari Wulan. 'Tenang, Nada. Kamu pernah melewati begitu banyak kesulitan. Kamu bahkan pernah hampir mati, tapi buktinya sekarang kamu masih hidup. Itu berarti Tuhan masih menginginkanmu untuk melanjutkan sisa takdir yang sudah digariskan.' ibu muda itu memberi afirmasi positif untuk dirinya sendiri. Memang selain dirinya, siapa lagi yang Nada harapkan akan memberinya kekuatan? "Cucuku, bagaimana keadaanmu?" Untuk pertama kalinya Nada melihat pria renta itu memberikan senyum padanya, terlihat sangat tulus. Nada mengangguk dan menulis di selembar kertas mengatakan dirinya sudah jauh lebih baik. "Kamu sudah melewati banyak sekali penderitaan demi mengandung dan melahirkan penerus trah keluaga Salim. Kakek sungguh mengucapkan terima kasih dengan setulus hati padamu." Nada begitu tersentuh mendengar ungkapan hati Bayu yang tampak keluar dari lubuk hati terdalamnya. Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya kemudian memberikannya pada Nada. "Tidak seberapa. Tidak sebanding dengan apa yang kamu rasakan ketika memperjuangkan cicitku hadir ke dunia ini." Nada menggeleng menolak pemberian Bayu. Ia merasa hal itu memang sudah menjadi kewajibannya sebagai seorang wanita. Tuhan menganugerahinya agar dapat hamil dan melahirkan. "Cih, berpura-pura menolak untuk menarik perhatian padahal dalam hati tersenyum penuh kemenangan. Siapa yang tahu jika sebenarnya kamu menginginkan yang jauh lebih mahal dari liontin pemberian kakekmu." Wulan bersungut. Wanita yang telah melahirkan Gibran itu memang bermulut super pedas. Belum pernah Nada mendengarnya berkata atau bersikap manis padanya. "Jangan mulai, Ma," ujar Arya memperingatkan. "Memang kenyataannya begitu, kok." Wanita dengan dress selutut berwarna biru itu mendengus. "Jangan dengarkan mamamu. Dia hanya iri padamu, atau jangan-jangan dia berpikiran untuk memberikan Gibran adik." Bayu terkekeh. "Ayah." Wulan sungguh geram saat dirinya dijadikan bahan lelucon. "Simpan saja." Bayu menaruh kotak beludru berwarna putih itu di pangkuan Nada. Nada sedikit membungkuk sebagai ungkapan rasa terimakasihnya. Ia kemudian membuka kedua tangannya lebar bersiap menggendong bayi yang sedang dalam dekapan perawat. Kristal bening mulai berjatuhan saat manik mata Nada bertemu dengan bola mata yang bersinar terang itu. Nada seperti melihat potret Gibran sewaktu masih kecil. 'Dia sangat mirip ayahnya.' sudut bibir Nada tertarik membentuk senyuman tipis. Dia yang kepayahan selama delapan bulan ini, rasa sakit di ruang bersalin bahkan masih begitu terasa. Rasanya tak adil saat melihat bayi itu sepenuhnya mirip Gibran. *** Hari terus berganti membawa Nada pada bulan-bulan yang terasa berat, apa lagi di awal-awal dirinya menjadi ibu. Wulan memang banyak membantunya, akan tetapi tetap saja Nada tak bisa sepenuhnya melepas tanggung jawabnya sebagai ibu dari Ken. Dan selama itu pula Wulan sama sekali belum berubah, mulutnya tetap saja pedas ketika berbicara dengan menantunya. Sedikit saja Ken menangis, Nada yang akan menjadi sasaran bulan-bulanan wanita paruh baya itu. "Apa kamu tidak bisa menenangkan tangis anakmu sendiri? Kamu kan ibunya, masa bikin anak diam saja nggak becus!" Bentakan Wulan kembali menggoreskan luka di hati Nada. Dia sendiri sampai merasa frustasi lantaran tak bisa membuat tangis anaknya berhenti padahal Nada sudah melakukan berbagai macam cara. Menyusui, memastikan pokoknya kering, dan memastikan Ken merasa nyaman. Namun bayi itu masih saja menangis. Ujung tangki asi Nada bahkan telah lecet, dan Ken masih saja rewel. "Astaga! Biar kugendong dia." Wulan merebut paksa Ken dari dekapan Nada yang malah membuat bayi mungil itu menangis semakin kencang. Nada yang tak tega sampai merengek pada ibu mertuanya, mengibai agar bayi itu dikembalikan. "Badannya agak demam," gumam Wulan setelah menempelkan telapak tangannya di dahi Ken. "Bibi! Panggil dokter sekarang juga, cucu kesayanganku sakit!" titah Wulan pada Bi Narti yang memang selalu siaga tak ubahnya seperti bayangan Wulan. "Iya, Nyonya." Wanita itu berlari ke arah buffet dan meraih gagang telepon untuk menghubungi dokter. "Ken sakit, pasti kamu juga nggak tahu. Dasar ibu bodoh! Kalau sampai terjadi apa-apa sama Ken, bisa habis kamu." Bukannya menenangkan tangis Ken, Wulan malah sibuk memarahi menantunya. Nada sungguh tak tahu apa yang harus dia lakukan agar ibu mertuanya itu mau menerimanya sebagai menantu. Segala macam upaya Nada kerahkan. Nada pikir dengan hadirnya Ken dapat membuat wanita keras kepala itu luluh, namun kenyataannya Wulan malah semakin menjadi. Tiada hari yang Nada lewati tanpa air mata dan makian dari wanita itu. Bunyi ketukan sepatu yang beradu dengan lantai terdengar menggema, menginterupsi Wulan yang hendak kembali memarahi Nada. Dua wanita beda generasi itu sama-sama menoleh melihat siapa yang datang. "Ayah, akhirnya Ayah pulang juga. Suruh dia duduk." Wulan menunjuk wanita muda yang berdiri di samping Bayu, dengan dagunya. Nada memindai wanita itu dengan tatapannya. Dilihat dari sisi mana pun, wanita itu terlihat sangat cantik, anggun dan elegan. Namun siapa wanita itu, Nada menyimpan pertanyaan itu dalam hati sampai kemudian Bayu membuka percakapan. Sesuatu yang Nada pikir telah membaik, tentang hubungannya dengan Gibran sang suami, juga hubungannya dengan Bayu. Nyatanya seperti kembali membuka luka lama. Ternyata perjuangan Nada selama ini tak ada artinya sama sekali di mata keluarganya. Tangis Ken masih terus berlanjut. Bayi itu seakan mengerti dengan apa yang tengah dirasakan ibunya saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD