Bayi mungil berselimut biru itu seolah tak terusik sama sekali saat dirinya dijadikan piala bergilir oleh orang-orang tua di sekitarnya. Buah cinta Nada dan Gibran itu terlelap pulas menikmati tidurnya padahal Wulan sedari tadi terus berbicara dengan nada keras karena terlalu bahagia.
Ya, semua orang hanyut dalam kebahagiaan saat mereka melihat bayi yang susah payah dilahirkan oleh Nada itu ternyata sangat lucu dan menggemaskan. Meski berat badannya kurang dan tubuhnya sangat mungil, akan tetapi bayi itu sangat sehat. Kekhawatiran Wulan yang sangat berlebihan selama ini terbantahkan. Bayi itu lahir normal dan sempurna tanpa kurang suatu apa.
"Lihat wajahnya, Wulan. Dia sangat mirip dengan Gibran sewaktu masih bayi." Senyuman terus terkembang di wajah tua yang mulai mengeriput tergerus usia itu.
Bayu terus menggendong cicitnya, dan enggan berbagi kebahagiaan yang tengah dirasakannya saat Arya merengek meminta agar diizinkan untuk menggendong bayi itu. Bayu semakin mendekap bayi dalam pelukannya itu dengan erat. Sungguh, dia ingin terus memeluk cicitnya dan tak membiarkan orang lain menggendongnya.
"Kamu kalau mau lihat wajahmu sewaktu masih bayi ya seperti ini, Gibran. Sama persis." Bayu kembali berujar namun dengan tatapan yang terus tertuju pada bayi mungil yang kini menggeliat dalam dekapannya.
"Ayah, biarkan aku menggendongnya sebentar saja," rayu Arya yang juga ingin mencicipi bagaimana rasanya menimang bayi.
"Kamu bisa menggendong dia sepuasnya, tapi tidak sekarang." Ucapan pria tua itu terdengar sangat posesif.
"Ayolah, Ayah. Aku ini juga kakeknya. Jangan bersikap kejam padaku." Bukan hanya Bayu dan Wulan saja yang ingin menggendong bayi itu, dirinya juga.
"Tunggu Ayah puas menggendongnya."
Ayahanda Gibran itu mendengus. Bagaimana dia tidak jengkel, Bayu terus berkata begitu, tapi tak kunjung melepaskan bayi itu ketika ia meminta untuk menggendongnya.
"Aku akan menggendongnya sampe puas begitu Ayah pulang ke rumah nanti," kata Arya sambil menahan geram.
Gibran terkekeh melihat ayahnya yang mendadak bertingkah kekanakan. Setelah sekian lama, baru kali ini Gibran melihat wajah orang-orang terkasihnya itu terlihat sangat bahagia. Terlebih Bayu. Rona kebahagiaan tergambar jelas di sana, semangat hidupnya meningkat pesat hanya karena melihat cicitnya lahir.
"Apa kamu sudah menyiapkan nama?"
Gibran tergagap. Karena kesibukannya di kantor dia sampai melupakan hal penting itu, menyiapkan nama untuk anaknya. Selain itu juga Gibran pikir hari persalinan Nada masih lama.
"Belum." Pemuda yang baru saja bertambah gelar sebagai ayah itu menggeleng pelan.
"Dia benar-benar tampan. Suara tangisannya ketika lahir tadi sangat kencang sampai rasanya seluruh penghuni di lantai ini mendengarnya." Wulan mengusap lembut pipi cucunya.
"Sudah kubilang dia ini copy-annya Gibran. Wajahnya sama persis, hanya bibirnya saja yang mirip dengan ibunya." Bayu menimpali.
Mendengar kalimat itu membuat Wulan merengut masam. Entah mengapa suasana hatinya menjadi kacau tiap kali membahas segala sesuatu tentang Nada.
"Kamu harus segera mencarikan bayi ini nama, Gibran." Arya menepuk pundak anaknya. Dilihatnya telaga mata Gibran dilapisi embun tipis yang bersiap runtuh. Pria itu tahu betul bagaimana perasaan Gibran saat ini karena dirinya pun pernah merasakan hal yang sama ketika istrinya melahirkan dua puluh lima tahun silam.
"Iya, Pa."
Gibran pikir ia harus meminta pendapat dari Nada. Dia memang ayahnya, tapi wanita itu yang telah berjuang mati-matian demi untuk mengeluarkan darah dagingnya.
"Kenapa nggak sekarang saja? Mama sudah sangat penasaran dengan nama yang akan kamu berikan pada cucu Mama yang tampan ini."
"Aku hanya ingin memberikan nama yang terbaik, Ma," balas Gibran.
"Kamu benar, jangan terburu-buru. Cari nama yang bagus untuk cicit Kakek ini. Atau kalau kamu mau, Kakek juga bisa memberinya nama?"
"Kakek bisa mengusulkan beberapa nama, biar nanti aku pilihkan nama yang paling bagus."
Gibran menatap orang tua dan kakeknya bergantian. Sekarang telah ada sumber kebahagiaan baru yang semakin melengkapi kebahagiaan keluarga besarnya. Tatapannya kini tertuju pada bayi yang sedang tidur pulas di gendongan sang kakek. Melihatnya membuat Gibran teringat Nada dan bagaimana beratnya perjuangan wanita itu yang masih terus berlanjut bahkan meski bayi yang dikandungnya itu telah lahir.
Nada mengalami pendarahan hebat pasca melahirkan. Keadaan itu semakin diperburuk dengan kondisinya yang sangat lemah dan sempat menurun. Terlebih proses persalinan panjang yang tak hanya menyita emosi dan tenaganya saja. Membayangkan berapa lama Nada menanggung derita itu, membuat Gibran merasa trenyuh.
Setelah sepanjang hari sibuk dengan aktivitasnya, lelah sepulang dari rumah sakit dan harus kembali lagi ke rumah sakit. Nada mengalami pendarahan dan tiba di sana pukul sembilan malam, dan bayi itu baru keluar menjelang pagi.
Kecemasan Gibran saat terjadi ketegangan di ruang bersalin. Dokter dan tim medis terlihat sibuk memberikan pertolongan untuk Nada. Meski tak begitu menunjukkan kepanikan, tapi melihat gelagat dokter membuat Gibran tahu seserius apa masalah yang terjadi pada istrinya saat itu. Beruntung Tuhan masih bermurah hati memberikan Nada kekuatan. Wanita itu berada di ruang pemulihan saat ini.
Nada mengerjapkan matanya berusaha menyesuaikan penglihatannya dengan bias matahari yang menyilaukan. Malam mengerikan yang dilaluinya telah berganti menjadi hari baru yang jauh lebih yang cerah. Ia menghela napas panjang. Kejadian beberapa jam lalu masih terekam jelas dalam ingatan. Nada pikir itu akan menjadi hari terakhirnya menghirup udara, tapi ternyata dirinya masih diizinkan tinggal di tengah kejamnya dunia.
Wanita itu tak berdaya sama sekali, bahkan untuk sekadar mengubah posisinya. Sekujur tubuhnya seakan lumpuh. Nada kira persediaan air matanya telah habis, tapi nyatanya cairan terkutuk itu masih melimpah ruah. Tanpa dikomando, butiran bening itu terus meluncur dari sudut matanya saat Nada tersadar posisinya saat ini yang begitu menyedihkan. Ditinggalkan sendirian dalam kesunyian panjang bahkan setelah dia nyaris kehilangan nyawa demi memberikan keturunan pada keluarga suaminya.
'Bagaimana dengan kondisi bayiku? Kenapa tidak ada satu pun orang di sini yang bisa aku tanyai. Ke mana perginya semua orang?' Nada menelan pahitnya menahan ribuan pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban.
Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba saja daun pintu terbuka lebar. Nada mengalihkan pandangannya melihat suaminya berdiri di sana.
"Kamu sudah sadar?"
Air mata Nada kembali menyeruak. Melihat Gibran adalah kelemahan terbesar baginya yang entah mengapa selalu mengundang tangis tiap kali kedua netra itu saling bertubrukan.
Gibran membantu mengangkat kepala Nada dengan lembut lalu memberikan sedotan dalam botol berisi air minum.
"Bayimu baik-baik saja. Dia terlahir dengan selamat dan sehat tanpa kekurangan apa pun," tutur Gibran menjawab rasa penasaran sang istri.
"Biar aku panggil dokter untuk memberitahu kalau kamu sudah sadar."
Belum juga Gibran bangun dari tempat duduknya untuk memencet tombol merah di dekat ranjang Nada, ketika Nada menarik tangannya.
"Ada apa?"
Nada menoleh mencari sesuatu yang bisa dia gunakan untuk menulis, tapi tak juga menemukan apa pun. Nada pun mencoba memberikan bahasa isyarat pada sang suami agar membawanya melihat bayi mereka.
"Tunggu dokter memeriksamu, setelah itu kita bisa bicara."
Deg.
Nada tertegun. Memang apa yang akan mereka bicarakan? Dirinya hanya ingin melihat bayinya, itu saja. Kepala Nada kini dipenuhi praduga yang membuatnya ngeri sendiri.
'Apa setelah aku melahirkan bayi itu, Mas Gibran akan benar-benar menceraikanku? Apa mereka semua tak bisa melihat bagaimana perjuanganku yang bahkan nyaris mati demi melahirkan penerus mereka?' pertanyaan besar itu terbersit di benak Nada dan menuntut jawaban.
Semenjak hidup dengan Gibran membuat Nada senantiasa dihantui ketakutan di setiap detik waktunya.