Bab 11. Ke Rumah Sakit

1146 Words
Rizki membantu Deva berjalan sampai mendapatkan kursi di gedung itu. “Duduk sebentar ya, Deva!” Kemudian, pria itu melepas sepatu perempuan itu. Deva merasa heran dengan apa yang dilakukan dosennya itu. “Bapak mau ngapain?” “Mau periksa kaki kamu. Kayaknya terkilir deh.” Rizki memijat lembut kaki Deva sampai dia menemukan bagian yang terkilir dan dengan sedikit gerakan saja dia sudah bisa memperbaikinya. “Kayaknya sekarang udah enggak lagi. Kamu tunggu di sini dulu. Biar saya yang antar proposalnya ke dalam. Minta proposalnya satu, Dev!” Pria itu sudah memasang sepatu Deva lagi. Deva memberikan satu proposal itu pada Rizki. “Beneran saya enggak usah ikut Bapak?” tanya Deva untuk memastikan lagi. “Iya, kamu tunggu di sini aja.” Tanpa permisi tangan pria itu sudah mendarat di puncak kepala Deva lalu mengacak rambut perempuan itu. Kemudian Rizki berjalan meninggalkan Deva mencari ruangan di mana dia bisa menyerahkan proposalnya. Deva menatap kepergian Rizki dengan perasaan bingung. “Pak Rizki kenapa sih? Suka tiba-tiba deh. Tiba-tiba ngomel terus tiba-tiba baik. Apa yang salah sama dia ya? Moodnya bisa berubah sesuka hati dia.” Deva menggelengkan kepala. Sambil menunggu Rizki, Deva memeriksa ponselnya. Ada chat masuk ke grup pengurus inti BEM. Erna Mawarni Lapor hari ini aku sudah masukin dua proposal ke perusahaan minuman sama makanan. Lumayan kan kalau dapat sponsor makanan. Lena Marlina Maaf, aku hari ini cuma bisa antar satu, tapi lainnya sudah dibantu sama pengurus BEM lain. Mudah-mudahan hari ini bisa diantar semua. Terus beres deh tinggal tunggu balasan aja. Maharani Aku juga cuma bisa masukin satu nih. Nanti aku cek lagi deh sisa proposalnya ada berapa. Deva Putri Adiwilaga Guys, kayaknya hari ini aku cuma bisa antar satu deh. Mana masih banyak yang belum dianter proposalnya. Duh, aku kejebak mulu sama Pak Rizki. Semoga semua proposal ini bisa dianter secepatnya deh. Aku enggak mau lama-lama bareng Pak Rizki terus. Lelah rasanya. Kayak enggak bisa napas. Erna Mawarni Maaf ya, Deva kalau kami nyusahin kamu harus ketemu terus sama Pak Rizki. Kalau aku bisa gantiin aku mau deh biar kamu bisa istirahat. Deva Putri Adiwilaga Kena musibah pula kan aku hari ini keseleo. Hampir jatuh untuk Pak Rizki pegangin di belakang. Kayaknya bareng Pak Rizki juga bikin apes ya? Maharani Semangat Deva. Apa kita aja yang bantu kamu antar sisa proposalnya? Deva Putri Adiwilaga Mending jangan deh, Ran. Kalau kamu masih mau hidup. Ketahuan Pak Rizki bisa ditelan bulat-bulat deh kita. Maharani Serem amat. Cepet sembuh ya, Deva. Erna Mawarni Cepat sembuh, Sayangku Lena Marlina Devaaaaaa, get well soon Deva tersenyum membaca chat dari teman-temannya. Walaupun memang Rizki selalu membuatnya kesal. Dia tidak terlalu bersedih karena ada teman-temannya yang selalu mendukung dan memberikan semangat. Rizka kembali saat Deva menyimpan ponselnya ke dalam tas. Tiba-tiba pria itu sudah berdiri di sampingnya. “Ayo balik ke kampus!” “Enggak antar sisa proposal yang lain, Pak?” tanya Deva heran. “Kaki kamu sakit, kita balik ke kampus aja. Bisa berdiri sendiri?” Tanpa aba-aba pria itu meraih tangan Deva lalu dia lingkarkan di bahunya. Dia bantu perempuan itu berdiri. “Biar saya bantu.” Deva terkejut. Untung saja dia tidak terjatuh. Dia pun berjalan perlahan dibantu oleh Rizki karena kakinya memang masih terasa sakit. Tiba di mobil, Rizki membantu Deva masuk mobil lebih dulu. Lalu dia berjalan memutar dan masuk mobil di bagian pengemudi. Pria itu pun melajukan mobilnya. “Nanti pas kamu pulang, kakinya dikompres aja biar enggak bengkak.” Deva memandangi kakinya yang tertutup sepatu. Dia belum mengucap terima kasih pada sang dosen. “Makasih ya, Pak tadi sudah bantu saya. Kira-kira besok kaki saya bakalan bengkak enggak ya?” “Mudah-mudahan saja enggak ya.” Pria itu melajukan mobilnya ke sebuah rumah sakit tanpa sepengetahuan Deva. Dia membelokkan mobilnya menuju rumah sakit dan berhenti di depan ruangan UGD. “Kok ke rumah sakit, Pak?” tanya Deva bingung. “Iya, saya cuma mau memastikan kaki kamu enggak apa-apa.” Rizki keluar dari mobil lebih dulu lalu membantu Deva keluar dari mobil dengan menggendong tubuh perempuan itu masuk ke ruangan UGD. Deva merasa malu lalu menundukkan wajahnya karena tidak bisa menutupi rasa malunya. Dia diturunkan di atas brankar. Rizki minta Deva diperiksa lalu dia kembali ke depan untuk memarkirkan mobilnya. Deva sedang diperiksa di bagian kaki. Dia hanya diam dan membiarkan perawat memeriksa kondisi kakinya. Lima menit kemudian, Rizki pun kembali. “Jadi, gimana?” “Dirontgen aja ya, Pak. Biar pasti hasilnya gimana.” “Ok.” Rizki mengurus pendaftaran dan administrasi agar Deva bisa segera dirontgen. Dia menemani perempuan itu terus sampai selesai dan mendapatkan hasil pemeriksaannya. Kemudian perawat mengantar mereka ke dokter orthopedi. “Keliatannya sih enggak ada masalah ya, tapi kalau ada apa-apa Mbak bisa datang ke sini lagi.” “Kaki saya bakalan bengkak lama enggak, Dok?” “Enggak sih. Kamu kompres aja di rumah ya.” Dokter memberikan resep obat pereda rasa nyeri. “Jangan banyak aktivitas dulu ya.” “Iya, Dok, terima kasih.” Setelah keluar dari ruangan pemeriksaan, Rizki menebus resep obat untuk Deva lalu dia berikan obat itu pada Deva. “Jangan lupa diminum.” Rizki mengingatkan Deva. “Iya, Pak, terima kasih sekali lagi sudah membantu saya. Padahal enggak perlu sampai ke dokter begini.” “Ya, saya cuma ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja. Ayo saya antar pulang.” “Pak, boleh enggak saya pulang sendiri kali ini aja.” “Enggak bisa, Deva, kalau kamu enggak terkilir seperti ini kamu bisa pulang sendiri.” Namun, meskipun Deva tidak terkilir sekalipun, Rizki selalu punya cara untuk mengantarkan Deva pulang ke rumahnya. Pria itu membantu Deva berjalan menuju parkiran dan masuk ke mobil. Dia harus mengurus Deva dengan baik agar kaki perempuan itu tidak semakin membengkak. Di perjalanan pulang Deva terus berpikir kapan proposal itu akan selesai diantar semua. Sampai kapan dia harus menemani sang dosen mengantar proposal-proposal itu. Sampai kapan dia harus terjebak terus dengan dosennya. “Deva, besok kamu libur dulu aja. Enggak usah ke kampus dan kita libur dulu antar proposalnya.” “Misalnya, besok kalau kaki saya enggak bengkak, saya bakalan ke kampus, Pak.” Deva tetap memaksa. “Jangan bandel, Deva. Ingat kata dokter tadi.” Perempuan itu hanya bisa menghembuskan napas dengan kasar. Dia malas menjawab ucapan sang dosen. Ingin rasanya dia berkata pada Rizki, “Bapak jangan ngatur-ngatur hidup saya deh. Kita bukan siapa-siapa.” Perempuan itu pun mengusap wajahnya. Sampai di rumah Deva, pria itu tetap membantunya keluar dari mobil, tetapi Deva menolak. “Pak, saya bisa sendiri kok.” “Jangan, nanti kaki kamu tambah sakit. Sekali ini saja nurut saja apa kata saya.” Rizki terdengar memohon pada Deva. Perempuan itu pun menyerah. Ya, satu kali ini aja dia akan membiarkan Rizki membantunya. Ketika mereka berjalan masuk menuju teras rumah, Safina keluar dari rumah. “Kamu kenapa, Deva?” Safina bingung melihat Deva yang berjalan dibantu oleh Rizki.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD