Deva yang sudah membohongi sang mama tadi, merasa sangat berdosa jika terlalu sering membohongi sang mama. Dia pun terpaksa mengaku. “Ma, aku ganti baju dulu ya. Nanti aku ceritain semuanya ke Mama.”
Karena rasa penasarannya begitu besar, Safina sampai mengikuti Deva ke kamarnya. Perempuan itu menunggu anaknya yang sedang mandi lalu berganti pakaian. Deva menarik kursi lalu duduk di sana.
“Aku kan lupa kalau mau dapet. Aku kira enggak akan dapet hari ini, besok atau masih lusa gitu ya, Ma. Terus, aku lupa bawa stok pembalut di tas. Pas kuliah terakhir, ternyata aku dapet dan udah deras banget. Aku tunggu sampai semua keluar dari kelas pas materi kuliah udah selesai. Aku ke toilet, teleponin Erna sama Rani, tapi enggak ada yang angkat telepon. Pak Rizki juga kan minta aku ke ruangannya. Aku telepon bilang sakit perut, dia malah khawatir terus maksa-maksa aku buat cerita aku ada di mana. Jadi, jaket itu punya Pak Rizki.” Deva sengaja tidak menceritakan semuanya dengan detail pada sang mama. Namun, membuat Safina semakin penasaran.
“Dosen kamu tiba-tiba pinjemin jaket ke kamu?”
Deva menganggukkan kepala.
“Enggak percaya Mama. Kamu pasti bilang sesuatu yang bikin dia mau pinjemin jaket, kan?”
Deva diam sejenak lalu menjawab pertanyaan sang mama. “Ya, bilang aja mau pinjem jaket buat nutupin bagian belakang. Ya habis gimana, Ma. Papa juga ditelepon enggak bisa jemput. Terpaksa aku minta bantuan Pak Rizki.”
Safina tersenyum senang. “Bagus, Sayang. Kamu terusin aja ngerepotin dosen kamu. Selama dia enggak keberatan. Cuma dengan bilang kalau kamu mau pinjem jaket buat menutupi sesuatu dia kasih dengan mudahnya.”
“Yey, Mama malah ngajarin enggak bener. Jadi, udah clear ya? Pertanyaan Mama sudah terjawab.”
“Sini jaketnya biar Mama yang cuci. Nanti kalau kamu yang cuci malah besok-besok lagi dengan alasan kuliah. Terus noda yang nempel di sana enggak bisa hilang-hilang.”
Deva mengambil jaket milik Rizki lalu dia serahkan pada mamanya. “Makasih ya, Ma.”
“Sama-sama, Sayang. Nanti Mama cuci sampai bersih terus Mama bikin jadi harum banget sampai Pak Rizki terbayang terus sama kamu.” Safina menggoda anaknya.
“Ma, jangan mulai deh. Kenapa jadi bahas Pak Rizki sih?”
“Enggak apa-apa. Mama seneng kok, artinya anak Mama sudah dewasa. Bentar lagi mau ….” Safina mendapat lemparan bantal dari Deva saat menutup pintu kamar anak gadisnya itu.
Entah kenapa, Deva selalu merasa kesal mendengar apa pun itu yang berhubungan dengan Rizki. Bahkan dengan mendengar namanya disebut pun dia sudah merasa kesal.
Perempuan itu berbaring di ranjang lalu memeriksa ponselnya. Dia lihat di grup chat-nya bersama pengurus inti BEM sudah ada Erna dan Rani yang mengirim pesan.
Erna Mawarni
Ada apa Dev? Aku sampai kaget lihat 20 panggilan tak terjawab. Sorry tadi lagi bareng mama jadi enggak tahu kalau kamu telepon.
Maharani
Loh, Deva telepon kamu juga, Na? Ke aku juga loh. Maaf ya, Deva, tadi lagi di jalan pulang. Enggak kedengaran telepon kamu.
Deva Putri Adiwilaga
Eh, kalian semua jahat. Gara-gara kalian aku terpaksa pulang diantar Pak Rizki karena udah malam. Kampus udah sepi.
Erna Mawarni
Ceritain kenapa sampai diantar pulang sama Pak Rizki? Kepo banget
Deva Putri Adiwilaga
Aku mau minta tolong kalian beli pembalut. Jam kuliah terakhir tiba-tiba dapet, tembus pula.
Maharani
Terus gimana, Dev?
Deva Putri Adiwilaga
Ya, terpaksa izin ga bisa ketemu sama Pak Rizki sampai bapaknya maksa nyariin aku ke toilet. Jaketnya pun aku pinjam
Satu hal yang dirahasiakan Deva dari sang mama dan teman-temannya adalah saat dia minta pria itu membelikannya pembalut. Mau bagiamana lagi jika dia tidak memakai pembalut maka darah haid itu bisa menempel di mana-mana. Tidak hanya di celana yang dia pakai saja.
Maharani
Tapi enggak ada kejadian kamu sampai minta Pak Rizki beliin pembalut kan, Dev?
Erna Mawarni
Eh, enggak mungkinlah Deva sampai nitip pembalut sama Pak Rizki kan?
Maharani
Ya kalau Deva berani artinya dia sudah membuang rasa malunya di depan Pak Rizki. Lagian enggak akan mau pula Bapak dosen beliin Deva pembalut. Pacar bukan, istri juga bukan. Jelas enggak akan mau.
Namun, kenyataannya pria itu tidak merasa keberatan sama sekali membelikan Deva pembalut. Tiba-tiba Deva berpikir apa yang dikatakan sang dosen pada penjual di warung. Dan, mengapa pria itu tidak terlihat malu sedikit pun ketika membelikannya pembalut. Deva harus mengingat kebaikan sang dosen ini, tetapi pria itu tetap saja membuatnya merasa kesal.
Erna Mawarni
Deva? Kamu belum tidur kan? Pertanyaan kita belum dijawab nih.
Deva Putri Adiwilaga
Enggak mungkinlah
Erna Mawarni
Nah, kan enggak mungkin Deva berani minta dibelikan pembalut sama Pak Rizki
Maharani
Iya jelas. Musuh itu tidak akan pernah saling membantu
Setelah membaca chat terakhir dari Rani, Deva melemparkan ponselnya asal ke kasur. Lalu dia keluar dari kamar menuju meja makan. Perempuan itu harus makan sebelum mengerjakan tugas kuliahnya malam ini.
Dua hari kemudian, Rizki menunggu Deva di parkiran kampus. Rencananya dia akan mengajak Deva mengantar proposal dengan mobilnya. Tak lama kemudian sosok perempuan itu muncul dan menghampirinya.
“Pake mobil saya aja ya, Dev perginya.”
Deva mengerutkan dahi. “Saya naik ojek aja ya, Pak. Enggak enaklah masa naik mobil Bapak.”
“Loh kenapa naik ojek? Nanti kalau saya yang sampai duluan gimana? Masa saya harus nungguin kamu?”
“Ya, saya pastikan akan sampai lebih cepat daripada Bapak. Naik ojek mestinya sampai lebih cepat daripada mobil. Ojeknya udah nunggu di depan, Pak. Saya duluan, ya.” Deva memutar badan dan memilih berlari menuju gerbang kampus. Dia harus menyiapkan berbagai alasan untuk menghindari sang dosen.
Rizki pun dibuat bengong karena ditinggalkan begitu saja oleh Deva.
Dan, benar saja, Deva tiba di tempat tujuan lebih cepat 15 menit daripada Rizki. Pria itu memarkirkan mobilnya lalu keluar dari sana dan berjalan mendekati Deva dengan wajah kesal.
“Sudah lama nunggu di sini?”
“Ada kayaknya 15 menit, Pak.”
“Ya sudah. Ayo masuk!”
Deva menganggukkan kepala. Dia pun berjalan lebih dulu menaiki tangga agar sampai di pintu masuk. Karena Deva berjalan sambil menoleh ke belakang sesekali, dia pun tidak memperhatikan langkah kakinya. Tiba-tiba kaki perempuan itu terpeleset dan terjatuh. Untungnya Rizki yang ada di belakangnya dengan sigap menangkap tubuh Deva sebelum terjatuh.
“Kamu enggak apa-apa? Ada yang kerasa sakit enggak?” Rizki tahu Deva terpeleset.
Saat itu Deva hanya bisa diam sambil mendengarkan debaran jantungnya yang semakin cepat. Wajahnya memerah karena malu.
“Deva, kaki kamu sakit enggak?” tanya Rizki khawatir.
Deva pun menggelengkan kepala. Pria itu membantunya berdiri tegak. Saat perempuan itu melangkah lagi, dia baru merasakan sakit di kakinya. Rizki yang memperhatikan langkah Deva dengan sigap memegangi tubuh perempuan itu dari samping.
“Kayaknya kaki kamu terkilir deh. Biar saya periksa dulu.”