Hari ini Deva marah besar. Bagaimana dia tidak marah, setelah hari Sabtu bertemu Rizki membahas konsep acara ulang tahun Fakultas Psikologi dan menemani pria itu makan siang serta pergi ke toko buku. Semua konsep yang mereka susun hari Sabtu itu satu pun tidak ada yang dipakai.
Pihak fakultas melalui panitianya mengajak pengurus BEM bertemu pada hari Senin untuk menyampaikan konsep acara ulang tahun fakultas. Deva kesal karena semua yang dia kerjakan menjadi sia-sia saja. Selain itu, dia juga merasa dijebak oleh dosennya.
“Pak Rizki kurang ajar! b******k!” Deva berteriak di sebuah ruangan salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang ada di kampusnya yakni di ruangan tinju. Dia membutuhkan samsak untuk melampiaskan rasa marahnya pada dosennya itu.
“Deva, teriaknya jangan keras-keras. Nanti kalau didengar Pak Rizki gimana?” Rani mengingatkan.
“Bodo amat. Justru dia harus dengar kalau aku teh kesal, marah dan pengen nonjok muka dia saking kesalnya. Habis sudah kesabaranku menghadapi Pak Rizki.” Napas Deva memburu karena dia sangat emosi saat ini. “Kalian tuh enggak ngerasain apa yang aku alami. Cuma bisa lihat dan dengar doang. Enggak ngerasain gimana aku harus pulang malam cuma untuk menemani Pak Rizki makan terus udahannya diomeli. Kalau memang kosnep acaranya sudah ada, kenapa dia harus bikin kita mikir buat bikin acara itu. Duh, enggak bisa ngomong apa-apa lagi deh aku.” Deva menghembuskan napas kasar.
“Kami semua tahu kok, Deva. Dari awal kita jadi pengurus juga kan kita selalu ribut sama Pak Rizki. Yang dia enggak setuju dengan program kerja kitalah, yang dia selalu minta revisi dengan alasan acara kita enggak mutu dan semua diganti dengan idenya dialah. Kalau enggak salah pengurus BEM sebelum kita aman-aman aja sama Pak Rizki, entah kenapa pas kita jadi pengurus beliau selalu bikin naek darah.” Erna mulai menunjukkan rasa kesalnya.
“Apa jangan-jangan karena putus dari pacarnya itu ya Pak Rizki jadi makin labil dan enggak jelas. Emosinya lagi bermasalah kan. Namanya juga orang patah hati.” Rani menimpali Erna.
“Nah, bisa jadi. Deva sekarang lagi tempat pelampiasan perasaan kesal dan marahnya Pak Rizki tuh.”
“Bisa mundur enggak sih dari posisi ketua BEM sekarang? Atau kamu aja Er yang gantiin aku. Bisa mati mendadak nih aku kalau kita masih berurusan sama Pak Rizki.” Deva mengeluh.
“Maaf ya, Deva aku enggak bisa jadi ban serep. Capek memang menghadapi Pak Rizki yang selalu PMS. Kalau cewek-cewek biasanya PMS sebulan satu kali, nah ini PMS tiap hari. Ampun deh nyerah aku. Paling mending sama kamu memang Pak Rizki, masih mau diajak ngomong, lah kalau sama kita, yang ada cuma marah-marah enggak jelas sama perintah enggak jelas.” Erna menolak menjadi ketua BEM. “Eh ya, Dev, tadi bukannya habis rapat sama panita dari fakultas, Pak Rizki manggil kamu, kenapa?” tanya Erna penasaran.
“Oh, yang tadi? Pak Rizki minta maaf. Halah minta maaf juga enggak tulus, pake modus musang berburu domba. Sok-sokan enggak bisa memperjuangkan konsep yang kita bikin, padahal dia memang senagaja ngerjain kita sebagai pengurus inti BEM terutama aku. Punya dendam apa sih, Pak Rizki sama aku?” Deva bertanya-tanya. Tiba-tiba dia ingat kemarin sempat menolak perasaan sang dosen. “Apa karena kemarin ya? Dia sakit hati? Ah, peduli amat,” batin Deva sambil memikirkan penyebab dendam sang dosen padanya.
“Aku penasaran Pak Rizki ngomongnya gimana pas minta maaf ke kamu?”
“Maaf ya, Deva, saya tuh sudah memperjuangkan konsep kamu ke panitia fakultas, tapi enggak ada yang setuju. Dih, kesel banget deh. Terus Pak Rizki bilang lagi, jangan marah ya, Deva. Kamu tetap mau bantuin panitia dari fakultas kan walaupun konsep acara kamu enggak dipake? Pengen deh rasanya masukin Pak Rizki ke inti bumi. Kesel banget.” Wajah Deva memerah lagi karena marah.
“Terus kita gimana sekarang?” tanya Erna dan Rani bersamaan.
“Ya bantuin panitia, kan tadi Pak Rizki bilang acara ulang tahun fakultas masuk program kerja kita. Jadi, kita sekalian kerja sebagai pengurus BEM. Rapat selanjutnya kan langsung sama panitia, kita enggak perlu rapat ama Pak Rizki lagi karena semua sudah jadi satu kepanitiaan besar.”
“Tapi, Deva, Pak Rizki kabag kemahasiswaan, dia tetap punya andil buat terus ngerjain kita.” Erna nyeletuk.
“Halah, enggak mungkin. Awas aja kalau Pak Rizki berani ganggu kita.”
Apa yang dikatakan Deva itu jelas salah besar. Rizki tetap punya kuasa untuk mengatur mereka sebagai pengurus BEM dan dia sebagai kabag kemahasiswaan tentu tidak akan membuat pengurus BEM hanya bekerja sebagai pengurus acara saja. Seperti saat ini, dia sudah berhadapan dengan pengurus inti BEM dengan setumpuk proposal di hadapannya dan daftar perusahaan tujuan mereka.
“Kalian bertiga sebar sebagian dari proposal ini. Minta anak BEM lain buat bantu. Daftarnya sudah ada di sini. Terus sisanya biar saya sama Deva yang antar. Kamu ikut saya, Deva. Kamu kan ketua BEM.” Rizki memberikan perintah. Dia memberikan 40 proposal itu pada pengurus BEM lain dan menyisakan 10 proposal untuk dia antar bersama Deva.
Dahi Deva berkerut. Dia pun dengan berani memprotes dosennya. “Pak, kenapa saya harus jalan sama Bapak? Saya bisa jalan dengan pengurus BEM yang lain. Atau saya bawa semua proposal ini. Biar kami aja yang antar.” Pokoknya Deva tidak mau jalan dengan dosennya itu.
“Oh, tidak bisa, kamu kan panitia acara juga, terus saya sudah pilih perusahaan yang akan kita datangi itu yang berpotensi buat ngasih sponsor. Kamu bisa back up saya buat penjelasan acara nanti ke pihak perusahaan.” Rizki pun tetap dengan rencananya dan Deva tidak akan pernah bisa menolak. “Sekarang tulis jam kosong kamu di kertas ini, Deva karena saya akan mengatur jadwal kita mengantar proposal!”
Deva menuruti perintah Rizki. Dia menulis semua jam kosong di mana tidak ada jadwal kuliah pada jam itu. Setelah selesai dia berikan kertas itu pada Rizki.
“Ok, makasih, Deva. Jam lima sore nanti temui saya di ruangan! Kalian boleh kembali ke sekretariat BEM buat bagi-bagi proposal itu. Ingat waktu pengantaran hanya satu minggu saja.”
Mereka pun pamit dengan sopan para Rizki dan membawa setumpuk proposal menuju sekretariat BEM. Deva sibuk dengan pikirannya sendiri. Alasan apa yang bisa dia katakan untuk menghindari pertemuannya dengan Rizki sore ini.
Sampai tiba jam lima sore, Deva menghubungi Rizki untuk meminta izin. “Halo, Pak Rizki.”
“Iya, Deva kamu di mana? Kenapa kamu telepon bukannya datang ke ruangan saya?”
“Saya mendadak sakit perut, Pak. Enggak bisa ke ruangan Bapak.”
“Memangnya kamu di mana?”
“Di toilet.” Deva tiba-tiba mendapat haid di hari pertama dan langsung deras dan tembus ke celana panjangnya. Dia sudah mengirim pesan pada temannya, tetapi tidak ada yang menjawab karena memang hari itu mereka beda jadwal kuliah.
“Kenapa enggak pulang. Sekarang kamu ada di toilet mana?”
“Maaf ya, Pak, untuk urusan yang satu ini saya enggak bisa cerita ke Bapak. Nunggu teman saya aja datang ke sini.”
“Kasih tahu saya kamu ada di toilet mana?” Rizki mendesak Deva agar mau menjawab.
“Toilet perempuan di lantai dua.”
“Ok, saya ke sana sekarang!”
“Bentar, Pak, eh, Pak, Bapak mau ngapain ke sini?” Panggilan telepon sudah diputus lebih dulu oleh Rizki. Deva mendadak panik.