Bab 7. Penolakan Deva

1175 Words
Deva mengerutkan dahi, dia mulai kehilangan nafsu makan karena pertanyaan Rizki yang barusan. “Pak, saya menemani Bapak makan bukan buat mendengarkan pertanyaan kayak gitu. Lagian Bapak ini aneh, tiba-tiba tanya perasaan saya. Saya enggak ada perasaan apa-apa sama Bapak.” Seandainya dia bisa mengatakan ini, sudah pasti akan dia katakan pada dosennya itu. “Perasaan saya ke Bapak setiap kali kita bertemu adalah kesal, sebal dan marah. Jadi, boro-boro mau ada perasaan suka sama Bapak. Bapak ngerti enggak sih? Kalau mau PDKT itu caranya harus manislah ya.” “Oh gitu? Jadi, kamu enggak suka sama saya. Baiklah.” Rizki pun bicara dalam hati. “Artinya saya harus usaha lebih keras buat mendapatkan hati kamu ya, Deva?” Pria itu meneruskan makannya seolah tidak ada yang pertanyaan yang membuat Deva merasa kesal lagi, sementara Deva sudah malas-malasan untuk makan. “Kok makannya cuma sedikit, kenapa? Apa kamu sakit?” tanya Rizki dengan khawatir. “Saya enggak sakit kok, Pak. Cuma udah kenyang aja. Saya makannya memang sedikit kok, biasalah lagi diet.” “Oh ….” Rizki mengangguk-anggukkan kepalanya. Selesai makan Deva merasa harus menghindar agar Rizki tidak mengantarkannya pulang ke rumah. Bisa-bisa orang tuanya nanti berpikir jika mereka memiliki hubungan khusus karena pria itu mengantarnya lagi pulang ke rumah. “Kamu mau pulang? Saya antar ya.” Rizki menawarkan tumpangan. “Oh, saya belum mau pulang, Pak. Mau ke toko buku dulu. Ada yang mau saya cari di sana.” “Ya sudah bareng aja, saya juga mau beli buku. Ayo saya antar!” “Saya bisa naik ojek atau angkutan umum kok, Pak. Tugas saya sudah selesai cuma menemani Bapak makan aja, kan?” “Kata siapa cuma makan aja? Kamu harus ikut saya sampai kamu pulang selamat sampai di rumah yang artinya saya harus mengantarkan kamu sampai di rumah.” “Hah? Kenapa urusannya jadi panjang begini sih, Pak Rizki?” Deva merasa geram dalam hati. “Ok, Bapak boleh antar saya ke toko buku, tapi jangan antar saya pulang ke rumah karena saya bisa pulang sendiri.” “Yah, kita lihat saja nanti, yang penting sekarang kita ke toko buku dulu.” Setelah membayar makanan, Rizki mengajak Deva ke parkiran. Mobilnya melaju ke toko buku setelah mereka masuk. Di perjalanan menuju toko buku, Deva banyak diam dan memilih untuk melihat ke arah luar jendela. “Kamu mau cari buku apa, Deva?” tanya Rizki untuk memecahkan kesunyian di antara mereka berdua. “Macem-macem, Pak, mau beli alat tulis juga.” “Ok.” Tak lama kemudian, mereka pun sampai di toko buku. Sebelum keluar dari mobil Rizki, Deva pamit lebih dulu. “Pak, kita pisah di sini aja, ya. Saya kayaknya lama deh di sini. Banyak yang harus dicari.” “Kenapa? Saya bisa kok menemani kamu belanja sampai malam juga. Enggak masalah buat saya.” “Enggak usah, Pak. Nanti Bapak bosen. Mending kita jalan masing-masing aja.” “Saya pengen kenal kamu lebih dalam. Pengen tahu apa yang jadi kesukaan kamu.” Deva menatap dosennya itu dengan perasaan bingung. “Pak Rizki kena sambet setan apaan ya hari ini? Kok keliatan aneh dan bikin mual.” “Saya keluar duluan ya, Pak. Terima kasih untuk makan siangnya dan sudah mengantar sampai ke sini.” Deva pun keluar dari mobil lebih dulu. Rizki membiarkan Deva agar terlihat seolah dia sedang membiarkan perempuan itu merasa dia sedang jalan-jalan sendiri padahal dia ingin mengikutinya ke mana pun di toko buku itu. Deva masuk toko buku ke area alat tulis. Di sana dia merasa senang melihat pulpen warna warni. Kebetulan memang dia diharuskan memiliki pulpen hitam, biru dan merah. Dia pun mengambil yang dia sukai. Saat sedang asyik memilih, Deva tidak menyadari jika Rizki ada di sebelahnya. “Emang kalau beli banyak kepake semuanya, Dev?” Saking asyiknya Deva memilih pulpen dia tidak menyadari jika yang bertanya itu adalah dosennya. “Ya kepake aja. Suka ada aja yang minjam. Nah, pulpen yang dipinjam itu kadang enggak kembali. Suka sedih kan jadinya.” Perempuan itu menoleh pada orang yang dia ajak bicara. “Bapak ngapain di sini?” “Kamu baru sadar kalau saya sudah berdiri di sebelah kamu sejak tadi?” “Iya, saya baru sadar, terus Bapak ngapain ngikutin saya?” “Kan, saya sudah bilang pengen tahu semua tentang kamu.” Deva hanya bisa menghela napas karena tidak sopan jika dia mengusir dosennya. “Saya jalan lagi ya, Pak.” Deva merasa sudah meninggalkan Rizki. Namun, saat dia menoleh ke belakang, pria itu masih berjalan mengikutinya. Perempuan itu masih berjalan menuju rak buku novel. Dia juga merasa senang berada di sana. Deva suka membaca novel dan memiliki beberapa koleksi novel di kamarnya. Dia mengambil satu yang menarik perhatiannya. “Kamu suka baca buku beginian juga?” Deva merasa terhina mendengar pertanyaan dari Rizki. “Salah ya, Pak kalau saya suka baca novel?” “Enggak sih. Nanti kamu kebanyakan halu, di zaman sekarang mana ada pangeran berkuda putih yang tiba-tiba jatuh cinta sama kamu. Aneh banget.” Deva menatap tajam pada dosennya. Rasa kesalnya pada dosen itu semakin bertambah. “Bapak kenapa enggak cari buku buat sendiri? Tadi katanya mau beli buku juga, terus kenapa jadi ngikutin saya ke mana-mana?” “Ya nanti saya cari sekalian lewat. Kalau kamu kelilingi toko ini kan nanti sampai juga ke rak buku yang saya cari.” “Emang Bapak cari buku apa? Psikologi? Di sana tuh, Pak.” Deva menunjuk ke arah buku-buku psikologi. “Ah, enggak juga. Nanti juga ketemu bukunya. Kamu kenapa suka baca novel begitu? Bukannya tokoh-tokoh dalam novel itu halu semua. Enggak ada di dunia nyata.” “Buat hiburan aja, Pak. Biar tahu kalau ada cowok yang PDKT pake cara yang manis gitu. Bukan yang enggak ada perasaan apa-apa terus tiba-tiba bilang suka. Aneh enggak, Pak?” Deva membicarakan dosennya sendiri. “Ada enggak yang PDKT dengan cara ngomel-ngomel atau marah-marah?” “Ada sih, tapi kan tetap aja kalau di novel itu semua jadi manis. Misalnya ngomel-ngomel kan udahannya perhatian. Walaupun cuma perhatian kecil aja, tapi tetap manis.” Deva membayangkan ada pria yang memberikan perhatian sekecil apa pun padanya. “Bukannya saya juga kayak gitu? Ngasih perhatian ke kamu. Itu sih kamunya aja yang enggak sadar.” Deva mengusap wajah dengan kasar. “Pak, saya mau pulang aja. Enggak jadi beli novelnya.” Nafsu belanja Deva pun lenyap seketika. Semakin banyak bicara dengan dosennya kenapa dia menjadi semakin kesal. “Ok, saya antar pulang.” “Pak, kalau Bapak butuh pelampiasan untuk senang-senang karena baru putus dari pacar Bapak, tolong jangan ke saya. Cari aja perempuan lain yang mungkin bisa Bapak ajak jalan dengan sukarela bahkan mau diajak makan setiap saat. Saya masih fokus sama kuliah dan enggak kepikiran sama sekali buat cari pacar, pacaran atau menikah sebelum lulus kuliah. Saya pulang duluan.” Deva berjalan meninggalkan Rizki menuju kasir. Setelah itu dia pulang ke rumah dengan kendaraan umum. Sementara itu, Rizki masih bengong setelah mendengar ucapan Deva. “Siapa yang cari kesenangan doang sih? Saya kan serius sama kamu, Deva.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD