Bab 6. Saya Suka Kamu

1135 Words
“Masuk ke ruangan saya!” perintah Rizki pada Deva yang masih enggan berdiri. Perempuan itu pun bangkit dari duduknya. Dia mengikuti Rizki masuk ke ruangan dosennya itu. “Duduk, Deva!” Deva duduk di kursi yang ada di depan meja Rizki. Pria itu meletakkan tas di meja lalu mengeluarkan kertas yang berisi konsep acara yang sudah disusun oleh pengurus inti BEM. “Saya sudah baca ini kemarin. Tadi malam juga saya baca ulang.” Deva menjawab dalam hati. “Enggak nanya, Pak. Yang penting hari ini konsep acara itu selesai.” “Kamu kok diem aja?” “Emang Bapak nanya?” Deva mengerutkan dahi. “Oh iya, saya enggak tanya, ya? Ok, tadi tuh cuma ngasih tahu. Jadi, setelah saya baca kemarin dan tadi malam, saya tetap enggak sreg dengan konsep acara yang kalian buat.” Rizki bersidekap. “Terus? Bapak maunya gimana?” “Kamu tanya saya maunya gimana? Ya jelas sekali, Deva, kamu harus mengganti semua konsep acara kamu. Ingat ya, semuanya.” Rizki memberikan penekanan pada setiap kata yang dia ucapkan. Deva hanya bisa menghela napas. Jika begitu terus, maka konsep acara yang mereka susun tidak akan pernah selesai karena dia sendiri pun tidak tahu apa yang diinginkan oleh Rizki. “Gini aja deh, Pak. Biar cepat selesai semuanya ya, hari ini kita berdua bikin konsep sesuai dengan apa yang Bapak mau dan pihak fakultas mintanya gimana.” Deva harap kali ini Rizki setuju dengan idenya. “Bisa aja sih, tapi ada syaratnya, gimana?” Deva merutuk dalam hati. “Kenapa harus pake syarat segala sih?” Sebagai ketua BEM kali ini Deva rela menjadi tumbal bagi dosennya itu. “Ok, saya setuju. Apa syaratnya, Pak?” tanya dengan tidak sabar. “Sabar dulu dong. Karena kamu sudah setuju, kita susun dulu saja konsep acaranya ya. Kemarin saya minta kamu bikin seminar, workshop, dan acara puncak, kan? Sekarang kamu dengarkan saya baik-baik terus kamu catat di buku atau apa pun kertas yang kamu bawa!” Deva sedikit merasa lega karena Rizki saat ini bisa diajak kerja sama. “Ok, Pak.” Perempuan itu mengeluarkan pulpen dan buku catatan dari dalam tas. Dia pun siap mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh dosennya itu. “Saya sudah siap, Pak.” “Ok. Pertama itu seminar. Ide kalian bisa diajukan dengan pengisi seminar sama dengan yang kalian ajukan. Kamu tulis di catatan kamu!” “Bentar, Pak. Judul seminar dan pematerinya sama?” “Iya. Kamu tulis sekarang!” Deva mengelus d**a. “Sabar, Deva, sabar. Pak Rizki emang gitu, suka banget bikin kesel. Tadi kan katanya enggak sreg, terus kenapa disuruh tulis ulang?” Perempuan itu mulai menulis di buku catatannya. “Sudah selesai ditulis?” Rizki mendekati Deva dari belakang. Dia memperhatikan apa yang ditulis perempuan itu dengan menunduk sampai bagian d**a pria itu mengenai kepalanya. “Eh, bentar, lihat boleh, tapi kan enggak segitunya juga Pak Rizki!” teriak Deva dalam hati. “Sudah, Pak, terus apa lagi?” Deva tidak berani memutar kepala d**a pria itu masih menempel di kepalanya. “Ok. Lanjut workshop.” Rizki memundurkan tubuhnya lalu berjalan kembali ke mejanya. Dia pun duduk di hadapan Deva. “Saya mau workshop dua hari. Temanya ini.” Pria itu mengajak Deva berdiskusi untuk membahas acara workshop yang akan mereka adakan. Hampir lima belas menit mereka gunakan untuk membahas tentang workshop yang akan diadakan. “Ada yang mau ditanyakan lagi, Deva?” “Hm … kayaknya enggak ada deh, Pak. Terus lanjutin ke acara puncak, Bapak maunya gimana?” Deva bisa tersenyum saat ini karena pembahasan mengenai workshop sudah selesai. “Ok, untuk puncak acara adakan bazar di lapangan kampus. Kamu kirim undangan ke sekolah-sekolah karena kita akan bikin beberapa lomba. Lomba pidato, debat bahasa Inggris dan lomba seperti cerdas cermat gitu. Kamu tahu kan apa itu cerdas cermat?” Rizki meragukan Deva kali ini. “Tau, Pak, itu kan yang ada tiga tim terus dikasih pertanyaan nanti mereka jawab pertanyaan itu dan dapet poin?” “Iya, yang itu, ternyata kamu sudah tahu. Ok, pokoknya ada acara itu, sama nanti di ruangan fakultas ada pemotongan tumpeng juga sore harinya, kita makan-makan bareng pengurus BEM sama dosen.” “Ok, Pak, sudah saya catat semua. Ada lagi yang mau ditambahkan?” “Kayaknya cukup itu dulu, nanti hari Senin saya diskusikan dengan dosen lain. Terima kasih ya, Deva untuk kerja samanya.” “Sama-sama, Pak.” Perempuan itu melirik jam di tangannya. Sudah jam 11 siang dan dia bisa pulang karena semua sudah selesai. “Saya boleh pulang sekarang, Pak?” “Belum boleh. Tadi saya belum bilang syaratnya apa kan ke kamu?” “Eh, iya belum. Jadi, apa syaratnya, Pak?” “Temani saya makan siang. Kali ini kamu enggak bisa menolak terus kamu juga harus makan. Kita sudah sepakat tadi di awal, kan?” Deva merasa kali ini dia sudah dijebak oleh sang dosen. “Kenapa Pak Rizki ini selalu bisa memanfaatkan situasi ya?” Deva menundukkan kepala lalu menarik napas panjang. Dia tidak bisa menolak. “Baiklah, Pak.” Rizki memberikan lembaran kertas itu pada Deva lalu dia bangkit dari kursi lebih dulu dan membawa tasnya. Deva hanya bisa memasukkan alat tulis dan buku catatannya lalu mengikuti Rizki menuju parkiran. “Selesai makan nanti aku harus cari alasan biar Pak Rizki enggak perlu mengantar pulang.” Deva bertekad dalam hatinya. “Masuk, Deva!” Rizki memerintahkan Deva masuk ke mobilnya. Setelah Deva memasang sabuk pengaman, pria itu melajukan mobilnya ke sebuah restoran masakan khas sunda. Siang itu dia ingin makan nasi dan tidak mau sendirian karena itu dia mengajak Deva ke sana. Tiba di restoran, Rizki memarkir mobilnya. Restoran itu ramai pada siang hari terutama jam makan siang. Pria itu berharap masih ada meja untuk mereka berdua. Rizki dan Deva keluar dari mobil bersamaan. Pria itu masuk dan memesan makanan untuk siang itu. Dia sendiri yang memilih menu masakannya. Lalu karyawan restoran mengantarkan mereka ke sebuah meja yang kosong. Rizki dan Deva pun duduk di sana. “Kamu enggak milih-milih makanan, kan?” Pertanyaan ini harusnya dia tanyakan sebelum mereka datang ke restoran itu. “Saya bisa makan apa aja, Pak.” Deva tidak mau banyak basa basi dengan dosennya itu. “Ok, bagus deh.” Pria itu diam sesaat lalu mengajak Deva bicara lagi. “Saya biasanya makan sendirian. Ya namanya belum punya pasangan ya, kan.” Deva menatap dosennya lurus-lurus. “Terus apa hubungannya dengan saya, Pak?” “Ya, Bapak bisa cari pacar baru atau nikah gitu, Pak. Biar ada yang menemani makan. Dari sarapan, makan siang sampai makan malam.” Obrolan ini sangat ingin Deva hindari karena dia tidak mau terlibat dengan kehidupan pribadi sang dosen. “Iya, sekarang lagi usaha sih, tapi enggak tahu perasaannya gimana ke saya. Kalau kamu gimana, Deva? Kalau misalnya saya suka sama kamu, gimana?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD