Bab 5. Diintrogasi Iqbal

1124 Words
Saat ini, mereka sudah berada di meja makan untuk makan malam bersama. Deva duduk di sebelah Rizki. Di hadapan Deva ada Safina, lalu Iqbal duduk di hadapan Rizki. Deva merasa suasana di meja makan itu terasa seperti introgasi sang papa dengan pacarnya. Padahal antara dia dan Rizki tidak ada hubungan lain selain hubungan antara dosen dan mahasiswi saja. Namun, suasananya tetap terasa lain. “Sudah berapa lama jadi dosen?” Pertanyaan Iqbal memecahkan suasana yang hening sebelumnya. “Baru kok, Pak. Sekitar lima tahun. Setelah lulus kuliah saya langsung melamar kerja jadi dosen sambil kuliah S2 di kampus yang sama. Sekarang kuliah S2 saya sudah selesai.” Rizki menjawab dengan santai. Tidak ada perasaan takut sedikit pun apalagi perasaan terintimidasi duduk di hadapan Iqbal. “Oh, bagus. Umur berapa sekarang? Terus orang tua tinggal di mana?” tanya Iqbal lagi. Deva pikir papanya seperti mengintrogasi calon pacar atau pacarnya dengan pertanyaan-pertanyaan itu. “Saya sekarang 28 tahun. Orang tua tinggal di Jakarta, Pak.” Rizki tersenyum ramah. “Di sini tinggal sendirian?” “Iya, Pak. Saya tinggal sendiri.” Iqbal menoleh pada Safina lalu tersenyum penuh arti. “Umurnya sama dengan Papa waktu kita nikah dulu ya, Ma. Cuma Mama waktu itu sudah lulus S1. Kalau Deva kan sekarang baru 20 tahun terus belum lulus kuliah.” Safina menganggukkan kepala dan tersenyum pada suaminya. Pria itu pun mengalihkan pandangannya pada Rizki lagi. “Sudah punya pacar?” Deva sudah tidak tahan lagi untuk bicara. Dia pun memprotes sang papa. “Papa kenapa pertanyaannya gitu sih? Bikin Pak Rizki merasa enggak nyaman nanti.” Lalu Deva menoleh pada Rizki. “Pak enggak usah dijawab ya pertanyaan orang tua saya. Bapak kalau sudah selesai makannya, boleh pulang kok, sudah malam.” Namun, Rizki tidak merasa terganggu sama sekali dengan pertanyaan dari Iqbal. Dia pun menjawab dengan santai. “Saya belum punya pacar, Pak.” Lalu Deva ikut bicara. “Lebih tepatnya baru putus dengan pacarnya. Iya kan, Pak?” Deva menambahkan lalu menoleh pada Rizki. Deva mengatakan apa yang dia tahu saja dari teman-temannya. “Iya, putusnya karena merasa enggak cocok, Pak. Sampai sekarang masih mencari yang cocok, satu pemikiran dan mau diajak serius ke jenjang pernikahan.” Deva merasa salut dengan pengendalian diri Rizki. Pria itu terlihat sangat tenang dan perempuan itu merasa kesal melihatnya. “Iya, masih cari yang cocok ya? Tapi, kalau sudah ketemu yang pas jangan dilepaskan. Kejar terus sampai dapat.” Lalu ketiganya menoleh menatap Deva yang terlihat bingung. “Gini ya, Pa, Ma, Pak Rizki ini kan kabag kemahasiswaan, aku sama Bapak ini akan sering berinteraksi selama aku masih menjadi pengurus BEM. Tidak lebih hanya itu saja.” Deva bicara untuk membela diri, tetapi dia terlihat sedang menjelaskan hubungannya dengan Rizki jika mereka tidak pacaran. “Iya, betul itu, Pak. Saya masih mencari yang pas dan kalau sudah ketemu pasti saya kejar. Kayaknya apa yang kita pikirkan sama ya, Pak. Oh ya, saya sudah selesai makan. Terima kasih untuk ajakan makan malamnya hari ini.” Rizki bicara dengan sopan dahi ramah. Justru itu yang membuat Safina menjadi jatuh cinta pada Rizki. “Lain kali makan di sini lagi aja kalau enggak ada teman makan. Lagi pula rumah ini kerasa sepi setelah saudara kembar Deva yang lain memilih sekolah di luar kota dan luar negeri.” Deva sudah muak dengan sikap ramah Rizki di hadapan orang tuanya. Pria itu tidak pernah bersikap ramah seperti itu padanya. Dia pun sudah tidak tahan lagi lalu menarik lengan Rizki agar bangkit dari kursi. “Ayo, Pak, saya antar ke depan. Ma, Pa, Pak Rizki pulang dulu, ya. Sudah malam. Kan masih harus nyetir pulang ke rumahnya.” “Deva kayaknya perhatian banget sama Rizki, ya?” Iqbal menggoda anaknya sendiri. Jujur, pria itu tidak masalah jika suatu hari nanti Deva menikah dengan Rizki kerena dosen Deva itu terlihat ramah dan enak diajak bicara. “Ok, kalau begitu hati-hati ya, Rizki. Kapan-kapan main ke sini lagi kalau ada waktu luang. Temani saya ngobrol. Kayaknya kita bisa cocok satu sama lain.” “Iya, Pak. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih. Kapan-kapan saya akan datang ke sini lagi.” Deva menarik lengan Rizki dan mengajaknya berjalan cepat ke depan rumah. Mereka pun sampai ke mobilnya pria itu. “Enggak ada lain kali atau kapan-kapan ya, Pak. Cukup ini yang terakhir Bapak masuk ke rumah saya. Saya harap besok-besok Bapak enggak antar saya pulang, apa pun alasannya.” Deva benar-benar menyesal membiarkan pria itu mengantarnya pulang. “Saya masih punya hati dan tidak akan membiarkan kamu sendirian kayak tadi di kampus. Saya pamit pulang. Besok jangan terlambat.” Rizki pun masuk ke mobil lalu melangkah mobilnya menjauh dari rumah Deva. Deva baru bisa bernapas lega setelah melihatku mobil Rizki menjauh. Mulai saat ini dia harus siap jika papa dan mamanya akan terus bertanya tentang Rizki padanya. “Dosen kamu sudah pulang, Dev?” tanya Iqbal saat melihat anaknya masuk rumah. “Iya, Pa. Aku ke kamar dulu ya, Pa. Banyak tugas.” Deva berlindung di balik tugas kuliah agar bisa menghindar dari papa dan mamanya. Di kamar, Deva merebahkan dirinya. Dia pun langsung tertidur karena sudah lelah hari ini di kampusnya. Besoknya, sejak pagi Deva sudah mandi dan memakai pakaian rapi. Perempuan itu memakai kemeja dan celana panjang bahan. Terlihat sangat rapi. “Mau ke mana, Dev?” tanya Safina pada anaknya. “Ke kampus, Ma. Ada rapat pengurus BEM.” Dia tidak akan jujur pada orang tuanya jika hanya akan rapat berdua saja dengan Rizki. Pasti orang tuanya akan heboh jika tahu soal ini. Dosen Deva itu memang pintar mencari kesempatan dan memanfaatkan Deva sebagai ketua BEM. “Oh gitu. Biar Papa antar ya, Dev. Kamu enggak usah pesen ojek. Lumayan kan uang kamu jadi irit.” Iqbal tersenyum. “Iya, Pa.” Deva tidak menolak. Dia hanya berharap papanya tidak bertemu dengan Rizki saat mengantarkannya nanti. Selesai sarapan, Deva bersiap menuju kampus. Sesuai janjinya tadi, Iqbal akan mengantar Deva ke kampus. Di mobil, Deva memilih untuk diam. Dia tidak mau jika tiba-tiba sang papa membahas soal Rizki. Akhirnya mobil itu pun tiba di kampus Deva. “Mau dijemput jam berapa?” tanya Iqbal sebelum Deva keluar dari mobil. “Belum yang, Pa. Nanti aku telepon ya.” Deva keluar dari mobil setelah mencium tangan papanya. Dia bergegas menuju ruangan Fakultas dan mencari Rizki. Dari luar ruangan, dia lihat Rizki belum tiba di ruangannya. Deva melirik jam di tangannya. Masih kurang 15 menit menuju jam 9. Perempuan itu duduk di lantai menunggu sang dosen. Dia pun mengeluarkan ponsel dari tas. “Enggak usah telepon, Dev. Saya sudah datang.” Suara serak Rizki terdengar. Pria itu berdiri di hadapan Deva yang baru mendongak. “Siapa juga yang mau telepon Pak Rizki!” Deva berteriak dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD