(++) Jerat Hasrat.

1200 Words
Malam itu, langit kota telah tenggelam dalam kilau lampu neon dan deru mesin kendaraan. Luna pulang dengan langkah gontai. Apartemen kecil itu sunyi. Hanya suara jarum jam berdetak dan dengung samar dari kulkas yang menemani Luna. Luna menutup pintu apartemen kecilnya, meletakkan tas di sofa, lalu merosot duduk. Tangannya menutupi wajah, mencoba meredam degup jantung yang seakan belum reda. Di kepalanya, momen tadi di ruang kerja Hayes terus berulang seperti kaset rusak: tatapan mata pria itu, suara rendahnya yang menggoda, dan sentuhan singkat ketika jemarinya bersentuhan dengan tangan Luna. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk mengacaukan seluruh sistem sarafnya. Bayangan itu menolak pergi. Cara tatapannya menelanjangi, suara beratnya saat berbisik, bahkan sentuhan ringan di jemari tadi siang—semuanya membakar kulit Luna. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, frustrasi sekaligus takut dengan dirinya sendiri. “Kenapa aku begini…?” gumamnya lirih, hampir putus asa. Ia tahu jelas siapa Hayes: pria dingin, CEO sukses, ayah dari Axel—dan jelas bukan seseorang yang bisa ia dekati dengan mudah. Terlalu jauh. Terlalu berbahaya. Tapi tubuhnya bereaksi berbeda dari logikanya. Ia tidak bisa mengontrolnya. Dengan langkah malas, Luna menuju dapur, menuangkan segelas air putih. Dingin air itu sedikit meredakan panas di tubuhnya, tapi tidak menghapus bayangan Hayes. Begitu masuk kamar, Luna menjatuhkan tubuh ke kasur. Kemeja tidur tipis berwarna putih menempel lembut di kulitnya. Ia menatap langit-langit, mencoba mengosongkan kepala, namun justru semakin jelas terbayang ruang kerja Hayes: rak buku tinggi, aroma kayu dan parfum maskulin, serta cahaya redup yang jatuh di wajah pria itu. Ia mencoba memejamkan mata, berharap kantuk segera menyeretnya pergi. Tapi justru dalam kegelapan, bayangan Hayes makin jelas. Hingga akhirnya, Luna pun jatuh ke dalam tidur yang gelisah—dan mimpi itu datang. Ia berdiri lagi di ruang kerja Hayes. Lampu gantung kristal redup, menebar cahaya kuning hangat. Di meja besar, pulpen yang tadi berpindah tangan kini tergeletak, tapi tak seorang pun peduli pada benda kecil itu. Hayes berdiri di hadapannya, tinggi menjulang, kemeja Navy sedikit terbuka menyingkap kulit d**a yang keras berotot. Aroma parfumnya menguar, pekat dan maskulin, menyesak d**a Luna seperti racun candu. “Kenapa kamu masih di sini?” suaranya rendah, serak, nyaris seperti erangan. Luna ingin menjawab, tapi bibirnya kelu. Tubuhnya seolah terkunci oleh tatapan itu. Hayes maju selangkah, lalu satu langkah lagi, hingga jarak mereka nyaris tanpa udara. Tangan besarnya terulur, mencengkeram dagu Luna, mengangkat wajahnya agar menatap lurus ke mata hitamnya. “Jawab aku.” “A-aku …,” suara Luna pecah, bergetar. “Aku tidak tahu ….” Senyum Hayes tipis, sinis sekaligus mematikan. “Kalau begitu, biarkan tubuhmu yang menjawab.” Seketika ia menarik pinggang Luna, merapatkan tubuh mungil itu ke dadanya yang hangat. Napas mereka beradu, terlalu dekat, terlalu panas. Luna ingin menolak, tapi tubuhnya gemetar, bukan karena takut semata—tapi karena sesuatu yang lebih dalam, lebih liar. Ciuman itu datang begitu saja. Brutal, rakus, tanpa memberi waktu berpikir. Bibir Hayes menekan bibir Luna, menghancurkan semua pertahanan yang masih tersisa. Ia menelan setiap desah yang lolos, menguasai mulutnya dengan paksa. Luna mendorong d**a pria itu, tapi tangannya lemah, tak bertenaga. Justru sebaliknya, jemari Hayes mencengkeram pinggulnya lebih keras, menahannya agar tak kabur. “Tuan Hayes … jangan …,” bisiknya di sela ciuman. “Diam,” jawab Hayes, suaranya dalam, penuh kuasa. “Kamu menginginkannya.” Dan benar—tubuh Luna berkhianat. Dadanya naik turun, jantungnya berdegup kencang, rasa panas menjalar ke perut bawah. Ia ingin berlari, tapi kakinya seakan terpasung. Ia ingin menolak, tapi bibirnya justru membuka, memberi ruang pada lidah Hayes yang masuk lebih dalam. Ciuman itu bukan sekadar sentuhan bibir. Itu invasi. Hayes menuntut, menekan, menggali, seolah ingin menguasai seluruh oksigen di paru-paru Luna. Dan ia—meski berusaha menolak—justru larut, membuka diri, membiarkan lidah pria itu masuk, bermain, menjeratnya dalam kenikmatan liar. Luna hampir kehilangan pijakan ketika Hayes mengangkat tubuhnya dengan mudah, mendudukkannya di meja kerja. Kertas-kertas berhamburan, pena jatuh, tapi tidak ada yang lebih nyata dari tubuh hangat pria itu di antara kakinya. Tangannya gemetar, mencoba menahan, tapi Hayes menggenggam pergelangan tangannya, menahannya di atas meja. “Jangan lawan, Luna …,” bisiknya. “Kamu menginginkannya.” Dan benar. Tubuh Luna berkhianat. Panas merambat di kulitnya, darahnya mendidih, napasnya tersengal. Saat Hayes menelusuri lehernya lagi, kali ini lebih liar, Luna melenguh tanpa bisa mengendalikan diri. Bajunya terasa sempit, dadanya naik-turun, ingin bebas dari segala batas. Luna terengah, matanya berkaca-kaca. “Tolong … jangan begini ….” “Tapi tubuhmu berkata lain,” Hayes berbisik di telinganya, suara rendahnya menimbulkan getaran di kulit. Ia menurunkan ciumannya ke leher Luna, menggigit ringan hingga gadis itu meringis bercampur erangan. Pakaian jadi korban berikutnya. Kemeja tipis Luna ditarik kasar, kancing-kancing beterbangan. Hayes menatap d**a yang terekspos sebagian, tatapannya liar, lapar, seolah menemukan mangsa paling memikat. Jari-jarinya menyusuri kulit Luna, kasar sekaligus teliti. Gadis itu menggeliat, tubuhnya tak bisa mengelak dari serangan rasa. Setiap sentuhan menyalakan api baru yang merambat tanpa henti. “Lihat bagaimana kamu bereaksi,” gumam Hayes, matanya gelap penuh nafsu. “Kamu ingin aku, meski mulutmu menyangkal.” Luna menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan desahan, tapi gagal. Suara itu lolos, lirih tapi jelas. Hayes menyeringai, puas. Hayes tersenyum puas, menatapnya dengan mata yang membara. “Katakan padaku …,” gumamnya, “siapa yang kamu pikirkan setiap malam?” Luna membuka mulut, ingin menyangkal, tapi kata itu keluar sendiri. “Kamu ….” Sejenak sunyi. Lalu Hayes menunduk, mencium lagi dengan lebih dalam, tangannya mulai menelusuri sisi tubuh Luna dengan cara yang membuatnya meledak oleh sensasi. Meja kerja berderit ketika Hayes menekan tubuhnya lebih kuat. Bibirnya kembali melumat bibir Luna, tangan lain sibuk menyingkap sisa pakaian yang menghalangi. Luna merasa terjebak, tapi juga tenggelam. “Aku … aku tidak bisa …,” ia berbisik di sela napas, hampir menangis. “Kamu tidak perlu bisa apa pun,” jawab Hayes, nadanya seperti cambuk, “biarkan aku yang memimpin.” Dan Hayes benar-benar memimpin. Setiap gerakan penuh kuasa, setiap sentuhan membuat tubuh Luna meledak. Rasa takut bercampur nikmat, menciptakan badai yang tak pernah ia bayangkan. Hingga akhirnya, Luna kehilangan kendali. Desahannya memenuhi ruang kerja, tubuhnya bergetar, terperangkap dalam jeratan hasrat Hayes. “Hayes …!” teriak Luna, tubuhnya melengkung hebat di meja itu. “Ah—!” Luna terlonjak bangun, tubuhnya basah oleh keringat. Napasnya tersengal-sengal, d**a naik-turun liar. Lampu kamar redup, jam di dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Ia butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa ia berada di apartemennya sendiri, bukan di ruang kerja Hayes. Tangannya menutup wajah, jari-jarinya gemetar. “Tuhan …,” desisnya. “Aku bahkan memimpikannya.” Luna duduk, memegang d**a yang berdegup gila. “M-mimpi … hanya mimpi,” katanya, mencoba meyakinkan diri. Tapi tubuhnya tidak bohong. Celana dalamnya lembap, kulitnya masih panas, dan detak jantungnya terlalu cepat untuk sekadar mimpi biasa. Ia bisa merasakan denyut di seluruh uratnya, terutama di bagian yang paling sensitif. Ia berdiri, berjalan gontai ke dapur, menuang segelas air lagi. Setiap kali menutup mata, potongan mimpi itu kembali: tatapan Hayes, ciumannya, genggaman tangannya. Terlalu nyata. Air dingin tak cukup memadamkan api di tubuhnya. Ia kembali ke kasur, menarik selimut sampai ke dagu, mencoba mengatur napas. Namun, bukannya reda, rasa itu justru semakin menjadi. “Apa aku sudah gila …?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD