Bab 7. Adzab Tukang Ngadu

1405 Words
Setelah berkeliling mall bersama Aria hampir dua jam penuh, Kaia sudah menenteng tiga paper bag besar berisi pakaian. Ia berbelanja pakaian rumahan karena pakaian yang ia bawa dari rumah terlihat tidak pantas dipakai di rumah mewah Ben. “Makan, yuk?” ajak Kaia saat merasa perutnya mulai keroncongan. “Tentu dong.” Aria menaikkan-turunkan alisnya. “Lo yang traktir ya, Nyonya Abraham?” Tawa renyah Kaia mengudara. “Iya, iya, gue yang traktir.” Mereka segera memasuki sebuah restoran sushi terkenal, Kaia ingin makan sushi. Salah satu menu makanan favorit Kaia yang tidak bisa ia makan sering-sering karena harganya mahal. Dulu Kaia hanya bisa makan sushi saat kencan dengan Farel. Siapa sangka hari ini ia akan makan sushi menggunakan kartu kredit milik ayah mantannya itu. Mengingat masa lalu mereka, Kaia baru menyadari ternyata beberapa bulan sebelum ia memergoki Farel selingkuh, hubungan mereka memang merenggang. Tidak ada lagi kencan manis, pesan-pesan romantis, yang ada adalah Farel selalu beralasan sibuk bekerja. Kaia tak terlalu mengkhawatirkan hal itu karena ia sebegitu percayanya ia pada Farel dulu. “Surga banget makan sushi tuh, ya?” kata Kaia setelah melahap sepotong nigiri. “Hm.” Aria mengangguk setuju dengan mulut penuh dengan makanan. Namun sayang, surga dunia yang dirasakan Kaia harus berakhir ketika seorang wanita tiba-tiba menghampiri mejanya. “Pake duit siapa lo belanja sama makan-makan gini?” tanya Freya dengan nada tajam. Kakinya menendang paper bag milik Kaia yang diletakkan di bawah meja. “Kalau pake duit papa, gue bilangin papa lo boros-boros gini. Maklum sih, lo kan miskin dari lahir, jadi sekalinya punya duit langsung hura-hura.” Kaia mendongak, mendapati Freya sudah menghunjamkan tatapan merendahkan padanya. Ia tak menggubris dan kembali melahap sepotong nigiri. “Gue ngomong sama lo, lo budek?!” Freya menggebrak meja, membuat beberapa pengunjung restoran menoleh ke meja mereka. Kaia mendongak lagi. “Penting banget ya buat lo datang ke meja gue cuma buat marah-marah kayak gini? Lo mengganggu kenyamanan pengunjung lain, tahu nggak?” “Lo yang menganggu kenyamanan pengunjung lain. Orang miskin kayak lo tuh nggak pantes di sini!” “Buktinya gue tetep dilayani sampe bisa makan kayak gini.” Kaia menyahut santai. Dan rupanya sahutan santai itu membuat Freya naik pitam. Ia segera menyambar gelas teh hijau di atas meja dan menuangkannya ke kepala Kaia. “Ini balasan buat lo yang nyiram gue di club waktu itu,” desis Freya dengan seringai penuh kemenangan. Kaia hanya bisa mematung saat rambut, wajah, dan bajunya basah. Ia ternganga tak percaya dengan tindakan Freya. Aria berdiri, segera membantu Kaia membersihkan diri. Namun Kaia menepis tangan Aria dan berdiri menghadap Freya. Tanpa aba-aba, ia melayangkan tamparan keras ke pipi Freya. “Dan ini balasan buat lo yang udah nampar gue waktu itu.” *** “Ini daftar undangan di pesta amal minggu depan.” Angga memberikan beberapa lembar kertas berisi foto, nama, dan keterangan singkat puluhan orang yang akan datang di pesta amal. “Iya, terus?” tanya Kaia bingung sambil menerima kertas itu. “Pak Ben minta kamu buat menghafal wajah, nama, dan keterangan singkat orang-orang itu. Pak Ben mau kamu bisa berinteraksi dengan mereka di pesta minggu depan.” Kaia mengangguk-angguk paham. Ia membaca sekilas nama dan keterangan di samping foto-foto yang tidak ia kenal itu. “Harus semuanya?” tanya Kaia. “Aku sudah buat prioritasnya.” Angga maju selangkah, menunjuk kertas di tangan Kaia. Rupanya penyusunan nama orang-orang itu sudah diatur oleh Angga berdasarkan prioritas. Semakin besar nomornya, semakin tidak diprioritaskan. Artinya hubungan Ben dan orang itu tidak terlalu dekat. “Tapi pak Ben berharap kamu bisa menghafal semuanya.” “Oke, aku usahakan.” Kaia mulai membaca nama-nama itu. Ia mengenal beberapa, tapi sebagian besarnya ia tak tahu sama sekali. “Kalau butuh bantuan, bilang aja.” Angga menambahkan. “Oke, oke, makasih, Ga.” Aria tersenyum. Sejak tahu bahwa Angga hanya lima tahun lebih tua darinya, ia meminta Angga untuk bersikap santai dengannya. “Sama-sama. Ada yang mau ditanyain nggak sebelum aku pergi?” “Aku minta nomermu aja, nanti aku hubungi kalau ada yang mau aku tanyain.” Aria menyodorkan ponselnya. “Oke.” Angga menerima ponsel Kaia dan mengetikkan nomornya di sana, kemudian segera mengembalikannya pada si empunya. “Kaia!” Ben tiba-tiba datang dengan langkah lebar. Seruan Ben membuat ponsel yang baru Kaia terima dari Angga nyaris tergelincir jatuh. “Ada apa ya, Pak?” tanyanya bingung sambil menatap wajah Ben yang tampak mengeras. “Kamu menampar Freya di mall tadi?” Ben bertanya dengan nada tajam dan menuduh. Kaia terkesiap. Freya melapor? “Jawab, Kaia!” “Iya, Pak.” Kaia menghembuskan nafas pelan. “Tapi itu Freya duluan yang mulai.” “Freya bilang kamu yang menamparnya, dia bahkan nggak membalas kamu. Gimana ceritanya dia yang memulai?” Ben mengerutkan kening, menatap Kaia tajam. “Dia nuangin teh ke kepala saya, memangnya saya harus diem aja?” Suara Kaia naik satu oktaf, ia kesal dituduh bersalah sepihak begini. “Tapi kamu nggak harus nampar dia kan?” “Oh, harusnya saya tuangin teh juga ke kepalanya?” balas Kaia sarkas. Ben memicingkan mata, rahangnya mengetat. “Perbaiki kelakuanmu, Kaia. Aku tidak mau kamu bertindak bodoh begini di pesta amal minggu depan. Jaga nama baikku, karena kamu istriku sekarang. Kamu mengerti?” Sama sekali tak ada kehangatan dalam tatapan dan nada bicara Ben. Kaia tak menjawab untuk beberapa saat, hanya membalas tatapan Ben sama tajamnya. “Jangan menatapku seperti itu,” tegur Ben sambil memicingkan matanya ke arah Kaia. Ada sesuatu dari cara Kaia menatapnya yang membuat Ben sedikit merasa gelisah. “Meski di luar kesepakatan, kamu harus siap memainkan peran sebagai istri yang baik di depan kolegaku kalau dibutuhkan. Paham?” Kaia menghela nafas pelan, kemudian mengangguk. “Paham, Pak.” “Bagus.” Ben menoleh pada Angga yang masih ada di sana. “Angga, ajarkan dia bersikap layaknya wanita terhormat. Dia tidak boleh mempermalukanku di pesta amal minggu depan.” “Baik, Pak.” Angga mengangguk sopan dan menggeser posisi berdirinya saat Ben berlalu meninggalkan mereka berdua. Kaia mendengus kasar setelah Ben pergi. “Freya yang mulai malah aku yang dimarahin,” gerutunya kesal. Angga tersenyum, menepuk pundak Kaia lembut. “Kamu ada waktu sekarang? Aku ajarin bersikap saat di pesta orang kaya.” “Emang ada sikap khusus?” “Ada. Kayak table manner, sopan santun saat mengobrol dengan orang yang lebih tua atau posisinya lebih tinggi, dan basa-basi apa yang boleh dan tidak boleh. Mau belajar sekarang?” tawar Angga ramah. Di dalam rumah yang begitu asing dan dingin ini, Kaia senang ada Angga yang ramah. Maka ia mengangguk riang. “Oke!” *** “Pasti dimarahin ya tadi?” ledek Freya saat melihat Kaia sedang sibuk di dapur. “Mulut lo ember banget, ya? Gitu aja ngadu?” balas Kaia sinis. Freya terbahak, mendekati Kaia yang sibuk mengaduk sesuatu di atas kompor. “Dunia ini keras, Kai. Siapa yang paling berkuasa, dia yang menang. Dan siapa yang paling bisa menjilat orang yang berkuasa, dia juga yang menang.” “Oh ya?” Kaia menyahut malas. Tangannya sibuk membalut bola-bola kukis dengan coklat leleh. “Makanya lo nggak akan bisa menang dari gue,” kata Freya sombong. Kaia melirik Freya yang berdiri di belakangnya. Ia bergeser ke kiri sedikit, mengambil sesuatu dengan cepat, kemudian melanjutkan pekerjaannya. “Gue nggak berharap menang dari siapapun.” Kaia menyahut datar. “Lo iri kan sama gue karena bisa dapetin Farel?” Kaia ingin terbahak, tapi ia tahan sekuat tenaga. “Iya, kali.” Jawaban Kaia membuat Freya tertawa senang. Ia mendekati Kaia, bersandar di counter dapur sambil menatap Kaia dengan sorot merendahkan. “Lo emag pantesnya jadi mbak-mbak, masak di dapur kayak gini lebih cocok buat lo.” Kaia tak menggubris, tangannya terus melakukan pekerjaan. “Lo mau coba nggak?” Sebelah alis Freya terangkat. “Tumben nih? Ada racunnya ya di dalem?” “Gue bikin sebanyak ini mau ngeracunin orang serumah? Yang bener aja lo!” Freya terkekeh. “Gue sih nggak yakin rasanya enak, tapi bolehlah gue coba.” Ia menyomot sebuah bola-bola cokelat yang paling dekat dengannya. Kaia menghentikan gerakannya, menatap Freya yang mulai menggigit kue itu. Begitu kue itu berpindah ke dalam mulut Freya, ekspresi mengejek di wajah wanita itu langsung berubah panik. Sedetik berikutnya, ia sudah memuntahkan isi mulutnya. “Hoek, lo bikin apaan sih?!” Kaia tertawa terbahak-bahak, puas karena berhasil mengerjai Freya. “Enak nggak bawang merah lapis cokelatnya? Rasain tuh adzab tukang ngadu!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD