“Ngapain di sini?” tanya Kaia saat mendapati Angga sudah menunggunya di depan kantor.
“Kamu nggak baca chat-ku?” Angga balas bertanya.
“Oh, belum buka hp.” Kaia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Saat sedang mengubek-ngubek tasnya, tatapannya kembali menangkap benda berwarna jingga yang sudah ada di dalam tasnya selama beberapa hari itu. Ia mengeluarkannya bersama ponsel. “Body spa?” Kaia mengangkat alisnya saat membaca pesan dari Angga.
Angga mengangguk. “Pak Ben bilang sebaiknya kamu melakukan body spa sebelum pesta. Jadi sekarang aku akan mengantarmu ke sana. Tenang aja, aku sudah buat janji kok.”
Kaia mengernyit sambil mengekor Angga yang sudah berjalan menuju mobil lebih dulu. “Harus banget, ya? Dulu sebelum nikah juga disuruh body spa, treatment ini itu.”
“Gimana setelahnya? Kulit kamu jadi halus kan?”
“Iya, sih.”
“Apalagi besok kamu mau pakai gaun yang lebih terbuka dari gaun pengantinmu, jelas kamu harus perawatan dulu sekarang.” Angga membukakan pintu belakang untuk Kaia.
“Biar nggak buluk-buluk amat gitu maksudnya kan?” canda Kaia saat Angga masuk di sisi kemudi.
Angga tertawa pelan, duduk di belakang kemudi, mulai menyetir mobil.
“Oh ya, kamu tahu nggak ini salep buat apa?” Kaia menyodorkan salep berwarna jingga yang ia temukan di tasnya beberapa waktu lalu itu.
Angga melirik salep di tangan Kaia. “Itu salep buat lebam supaya lebamnya cepat sembuh. Kenapa? Kamu ada luka lebam?”
Kaia mengernyit, menatap salep di tangannya. “Kenapa ini bisa ada di tasku? Siapa yang memasukkannya?”
“Kai? Kamu ada luka lebam?” tanya Angga lagi.
“Eh, itu… ada sih,” jawab Kaia apa adanya. “Jadi ini dioles gitu aja?”
“Iya, tipis-tipis aja di bagian yang lebam.” Angga menjawab sambil fokus menyetir. “Waktu itu pak Ben juga minta dibeliin salep itu. Emang pak Ben juga ada luka lebam?”
Kaia sedikit terhenyak. “Kapan pak Ben minta dibeliin salepnya?”
“Pagi hari setelah pernikahan kalian. Aku inget banget soalnya pak Ben nyuruhnya pagi-pagi banget, untung aja ada apotek 24 jam.”
Kaia mengernyit, kemudian kembali menatap salep di tangannya. “Masa pak Ben yang masukin ke tasku? Tapi ngapain? Kenapa nggak ngasih langsung?”
***
“Dia masih lama?” tanya Ben pada Angga yang menemaninya di ruang tengah sejak tadi.
“Haruskah saya periksa ke atas, Pak?”
Baru saja Ben hendak menjawab, ia sudah mendengar langkah kaki. Ben melongokkan kepalanya, mendapati Kaia sudah berjalan menuruni tangga.
“Tidak perlu. Itu dia sudah datang.” Ben berdiri, merapikan jasnya dan menunggu Kaia mendekat padanya.
Entah memang gerakan Kaia yang pelan atau Ben sedang mengalami efek slow motion, tapi cara Kaia menuruni anak tangga terlihat begitu elegan. Gaun berwarna biru tua panjang membalut tubuh kurus Kaia. Belahan gaun setinggi lutut memperlihatkan kaki jenjang Kaia setiap kali ia melangkah turun. Belum lagi model off shoulder yang mengekspos bahu Kaia, make up tipis yang disesuaikan dengan kontur wajahnya, hairstyle yang menonjolkan leher jenjangnya, membuat Kaia tampak amat berbeda malam ini.
Untuk sesaat, Ben merasa jantungnya berdebar dan pipinya memanas. Namun ia cepat-cepat berdehem, mengenyahkan semua perasaan aneh itu saat Kaia tiba di hadapannya.
“Wah, kamu kayak orang lain.” Angga memuji blak-blakan. “Cantik.” Ia tersenyum.
Kaia tertawa pelan. “Makasih.” Kemudian melirik Ben yang hanya diam mematung sambil menatapnya. “Pak, kita berangkat sekarang?”
“Angga, bawakan aku jas cadangan lalu kita berangkat,” perintah Ben pada Angga dengan tatapan tetap melekat pada sosok sang istri.
“Baik, Pak.”
Angga bergegas naik kembali ke kamar Ben untuk mengambil jas cadangan. Setelah ia kembali, barulah mereka berangkat.
Kurang dari dua puluh menit, mereka sudah tiba di lokasi acara. Ben menyodorkan lengannya yang segera disambut rangkulan lembut oleh Kaia.
“Kamu sudah menghafal semua daftar undangan?” tanya Ben saat mereka memasuki lokasi acara.
“Sudah. Tapi yang terakhir-terakhir itu saya kurang hafal, nanti Bapak kasih kode aja sama saya kalau saya harus berinteraksi sama orang itu.”
Ben mengangguk. Ia senang karena Kaia mau belajar dan mengikuti kemauannya.
Begitu memasuki ruangan, Kaia menarik nafas dalam. Rangkulannya di lengan Ben mengerat saat ia merasa sedikit gugup. Kaia seperti memasuki dunia yang berbeda saat masuk ke ruangan pesta.
Ini dunia yang belum pernah Kaia lihat sebelumnya. Tapi ia ingin membiasakan diri dengan ini mulai sekarang.
Merasakan lengan Kaia merengkuh lengannya erat, Ben menarik tubuh Kaia mendekat ke arahnya dengan gerakan halus, seolah mencoba menenangkan kegugupan Kaia.
Seorang pria mengarahkan mereka untuk menuju meja yang telah disiapkan.
“Kalian baru datang?” Freya menyambut Ben dan Kaia dengan senyum lebar.
Kaia mengernyit. Bagaimana bisa ada Freya di sini?
“Aku tidak tahu kalian akan datang.” Ben yang menyahuti Freya saat melihat putranya juga ada di meja yang sama dengannya. “Farel?” tegurnya kemudian saat mendapati Farel menatap Kaia tak berkedip.
Farel terkesiap. “Oh, itu….” Ia menelan ludah, tak bisa mengalihkan tatapannya dari Kaia.
“Diajakin mama sama papaku, Pa.” Freya menyambar, menunjuk sepasang pria dan wanita paruh baya yang kini juga bergabung di meja mereka.
Ben menyalami orang tua Freya.
“Ini istrimu? Cantik sekali,” puji Sekar –mama Freya dengan senyum lebar.
“Ah, terima kasih, Tante.” Kaia mengangguk sopan, menyalami Sekar. Ia ingat pernah membaca keterangan soal dua orang itu di daftar nama undangan. Tapi ia tak mengerti mengapa nama mereka justru tidak menjadi prioritas Ben padahal mereka adalah keluarga besan.
“Aku juga kan cantik, Ma?” sela Freya sambil sedikit melirik sinis pada Kaia.
Namun tak ada yang menanggapi Freya karena bertepatan dengan kedatangan seorang pria bertubuh jangkung yang tersenyum ramah.
“Nah, ini anak kami.” Sekar menepuk pundak pria itu. “Randi baru pulang dari Amerika seminggu lalu. Dia lulus cumlaude dari sekolah bisnis Harvard,” lanjutnya bangga dengan wajah berbinar.
Pria bernama Randi itu menyalami semua orang di meja itu, termasuk Kaia. Lantas ia bergabung duduk di sebelah Ben.
“Aku baru lihat dia, Om. Siapa?” tanya Randi blak-blakan saat melihat Kaia.
“Istriku.” Ben menjawab pendek.
Kedua mata Randi membelalak. “Istri Om? Seriusan? Muda banget.” Ia benar-benar tak menyembunyikan ekspresi terkejutnya. “Kok bisa Om nikah sama dia?”
Kaia nyaris mendelik kaget mendengar pertanyaan lanjutan dari Randi. Sepertinya pria itu tipe yang ceplas-ceplos.
“Takdir,” jawab Ben singkat. “Kamu belum menikah mungkin karena calon istrimu masih SMP atau SMA sekarang,” imbuhnya sarkas.
Meja itu segera dipenuhi gelak tawa.
“Tapi Randi lagi deket sama model siapa itu namanya?” Sekar menyambar topik baru. “Pokoknya model terkenal itu deh. Kalian sudah berapa lama sih deketnya?” tanyanya pada Randi dengan wajah sumringah khas ibu-ibu yang hobi menyombongkan anaknya.
Obrolan berlanjut seputar hubungan Randi dan si model itu yang katanya hanya berteman, lalu berpindah topik seputar studi Randi dan kehidupannya setelah lulus kuliah.
Satu hal yang Kaia sadari dari obrolan ringan ini, bahwa orang tua Freya sama sekali tak membahas soal Freya. Mereka bahkan terkesan mengabaikan Freya meski mereka mengajak Farel mengobrol.
Diam-diam, Kaia melirik Freya yang tertunduk atau membuang muka.
Kaia menggeleng. “Ngapain kasihan sama dia? Seenggaknya keluarga dia kaya dan dia nggak dipukuli,” batinnya kejam.
Ben melirik Kaia saat istrinya itu bergidik pelan, memeluk lengannya sendiri.
“Angga!” Ben mengangkat tangan, memanggil Angga yang stand by di sekitar mereka.
“Ada apa, Pak?” tanya Angga sambil mendekatkan telinganya ke telinga Ben.
Ben berbisik sekilas, menepuk pundak Angga, sebelum Angga berlari kecil keluar ruangan.
Acara terus berlanjut, lelang amal sedang berlangsung. Kaia menatap barang-barang antik yang dilelang dengan antusias, penasaran. Ia baru tahu ada acara seperti ini di kalangan pesta orang kaya.
Sampai akhirnya fokus Kaia teralihkan saat ia merasakan sesuatu menyentuh pundaknya.
“Eh?” Kaia terkesiap saat Ben menyampirkan sebuah jas menutupi pundaknya. “Pak?” Ia menatap Ben bingung.
Namun Ben tak mengatakan sepatah kata pun dan kembali fokus ke depan.
Kaia menatap jas yang kini menutupi tubuhnya. “Jadi… pak Ben minta dibawain jas cadangan ini… buatku?”