Bab 9. Jangan Sok Perhatian

1226 Words
Kaia masih mengenakan jas milik Ben hingga acara sampai di acara hiburan. Seorang penyanyi ibukota sedang menghibur para tamu undangan di depan sana. Kaia tak menikmatinya, maka ia berpamitan pada Ben untuk keluar ruangan sebentar, menghirup udara segar. Kaia duduk di sebuah bangku di luar ruangan, melepas high heels sembilan senti yang membalut kakinya sejak tadi. “Pegel banget, nggak pernah pake high heels sih.” Kaia memijit pergelangan kakinya. Setelah dirasa lumayan nyaman, akhirnya Kaia duduk bersandar sambil menghela nafas panjang. “Ternyata acara kayak gini bikin capek juga,” lirihnya sambil menatap kedua kakinya yang telanjang dan sedikit memerah di bagian tumit dan ujung-ujung jari-jarinya. “Padahal maksudnya sama-sama ngumpulin duit buat amal, kenapa harus bikin acara kayak gini? Kumpulin aja duitnya, repot amat?” Ia menggerutu. Namun dari acara ini Kaia jadi bertemu dengan teman dan kolega Ben. Daftar nama dan keterangan yang dibuat oleh Angga sangat membantu Kaia dalam berinteraksi dengan mereka. Ia juga melakukan riset kecil-kecilan untuk orang-orang yang berada di prioritas tertinggi. Beruntung, semuanya berjalan lancar. Ben juga terlihat puas dengan kemampuan Kaia bergabung dalam obrolan. Ia tersenyum kecil, bangga dengan dirinya sendiri sambil masih menatap kakinya. Pintu ruangan pesta tiba-tiba terbuka. Ben dan Angga keluar dari sana. “Ayo pulang,” ajak Ben, sudah berdiri di depan Kaia. Kaia mendongak kaget. “Loh, memangnya acaranya sudah selesai?” “Sudah.” Ben menjawab pendek dan menunduk, mengambil high heels milik Kaia dan menyerahkannya pada Angga. “Eh, ngapain dikasih ke Angga? Terus saya pakai apa?” Kaia protes. Bukannya menjawab, Ben justru kembali menunduk dan menyelipkan lengannya ke bawah punggung dan lutut Kaia, menggedongnya ala bridal. “Pak?!” Kaia memekik kaget, lengannya segera mengalung di leher Ben. “Jangan banyak gerak,” cetus Ben sambil menatap lurus ke depan dan mulai melangkah. Tak memedulikan tanda tanya besar yang tergambar jelas di wajah Kaia. Kaia masih sedikit melongo kebingungan. Ia melirik ke belakang Ben, menatap Angga yang berjalan mengekor mereka dengan tatapan penuh tanda tanya. Angga menggeleng, kemudian mengangkat bahu. Seolah mengatakan, ‘aku juga tidak tahu’. Sayup-sayup Kaia bisa mendengar tepuk tangan dan seruan heboh tamu undangan. “Itu acaranya belum selesai, kan? Kok pak Ben bilang udah?” “Pak, turunin saya. Saya masih bisa jalan,” lirih Kaia saat mereka masuk ke dalam lift. Ben menurut, menurunkan Kaia. Namun begitu pintu lift berdenting terbuka, Ben kembali menggendongnya. “Pak?! Ngapain? Saya kan sudah bilang saya masih bisa jalan?” Kaia protes. Lagi-lagi Ben tak menjawab, Ben justru terus berjalan ke meja resepsionis. Barulah ia menurunkan Kaia di sana. Ben berbicara dengan resepsionis sebentar. Mbak-mbak resepsionis memberikan sebuah paper bag pada Ben, lantas ia berbalik kembali menghadap Kaia. “Pakai ini,” katanya datar. “Apa ini?” Kaia menerima paper bag itu masih dengan tampang kebingungan. “Biar kamu bisa jalan.” Kaia membuka paper bag itu dan mendapati sebuah flat shoes di dalamnya. Ia sudah hampir melayangkan pertanyaan lagi, namun Ben sudah lebih dulu berlalu. “Cepat, Kaia! Kamu bilang kamu masih bisa jalan?” Kaia mengerjap-ngerjapkan matanya bingung. Namun saat ia melihat punggung Ben semakin menjauh, Kaia buru-buru mengenakan flat shoes itu dan segera berlari menyusul Ben. Ah, rasanya melegakan sekali saat ia bisa berjalan dan berlari dengan bebas tanpa high heels itu. Ada satu hal yang baru ia sadari saat akhirnya ia berjalan di samping Ben. Ukuran sepatu yang ia kenakan sangat pas di kakinya. *** “Om Ben, main golf, yuk!” Pagi di hari Minggu, sudah terdengar suara seseorang berseru dari lantai bawah, menghancurkan keheningan yang damai. Kaia mendengkus kesal. Ia sedang sibuk menyusun rencana apa lagi yang harus ia lakukan untuk menimbun harta sebanyak-banyaknya dan membalaskan dendamnya pada Farel, jadi hilang konsentrasi karena suara itu. “Om Ben di mana sih?” Suara itu terdengar lagi. Kaia keluar kamar, bersamaan dengan Ben yang keluar dari ruang kerjanya. Mereka bertatapan sejenak, kemudian berjalan beriringan menghampiri suara itu. Di lantai bawah, sudah ada Randi berdiri dengan senyum lebar. Ia memakai polo shirt berwarna biru muda dengan celana selutut, melambaikan tangan pada Kaia dan Ben. “Om, main golf, yuk? Om udah bilang iya semalam loh.” Ben menghela nafas pendek. “Tunggu sebentar, aku siap-siap dulu.” “Kai, ikut juga yuk?” ajak Randi. “Hah? Aku?” Kaia menunjuk dirinya sendiri. “Iya. Emang nggak bosen di rumah?” “Enggak.” Kaia menggeleng tegas. Ia punya rencana lain hari ini. “Ikut aja. Nggak seru kalau nggak ada ceweknya.” Randi menaik-turunkan alisnya, tersenyum jahil. “Ikut aja.” Ben bicara. “Ayo siap-siap.” Kalau sudah Ben yang memberi perintah, Kaia bisa apa? Maka ia mengekor Ben kembali ke kamar untuk bersiap-siap. “Tapi saya nggak main ya, Pak? Saya nggak ngerti, nggak bisa.” “Iya.” Ben mengeluarkan polo shirt berwarna putih dan celana panjang berwarna cokelat khaki. “Pak, saya pake baju apa?” “Bebas. Yang penting nyaman buat panas-panasan.” Ben menyahut datar kemudian masuk ke kamar mandi. Kaia masih berdiri di depan lemari pakaian saat Ben sudah selesai ganti baju. Pria itu menghembuskan nafas pendek melihat Kaia belum juga selesai memilih pakaian. “Aku tunggu di bawah, jangan lama-lama.” “Siap, Pak.” Akhirnya Kaia menyusul Ben turun setelah mengganti pakaiannya dengan celana panjang dan kaos. Tak pernah terpikirkan di benak Kaia ia harus menemani Ben bermain golf, jadi ia pakai baju seadanya saja. Dan satu hal lagi yang Kaia tidak sangka adalah lapangan golf panas sekali. Meski ia sudah bernaung, tetap saja rasanya panas luar biasa. Apalagi ia hanya menonton dan tak melakukan apapun, jadi rasanya semakin membosankan. “Ini kapan mau selesai sih si bapak?” Kaia mulai menggerutu. Otaknya sudah terasa mendidih sekarang. Sementara Ben masih terlihat asyik bermain dengan Randi. Beberapa kali Randi menawarkan diri untuk mengajari Kaia, tapi ia menolak. Ia tak merasa perlu belajar bermain golf. Sekarang ia justru ingin belajar soal investasi. Ia harus bisa memutar uangnya agar bisa menjadi uang lagi. Kaia menegakkan punggung saat Ben terlihat menghampirinya. Ia segera mengambil air mineral, membukakan tutupnya untuk Ben. Tadi Ben terlihat kesal saat harus membuka air mineralnya sendiri. “Dasar orang kaya! Mau minum air aja harus dilayani,” gerutu Kaia tadi. Maka kali ini ia tak mau membuat kesalahan lagi. Kaia segera menyodorkan botol air mineral yang sudah ia buka tutupnya. “Mau minum, Pak?” tawarnya manis. Namun bukannya mengambil air mineral Kaia, Ben justru melepas topinya dan memakaikan topi itu ke kepala Kaia. “Pakai ini, panas,” katanya datar. Baru kemudian ia mengambil air mineral di tangan Kaia dan meneguknya hingga tersisa separuh. Tanpa sepatah kata pun, Ben kembali ke tengah lapangan, lanjut bermain tanpa mengenakan topi. Padahal di sana lebih panas dan terik daripada di tempat Kaia bernaung. Kaia mematung di tempat, mengerjap-ngerjapkan matanya bingung. Jantungnya berdetak kencang sekarang. Ia merasa pipinya memanas, bukan karena sinar matahari yang terik, tapi karena aliran darah yang begitu kencang ke area wajahnya. Tatapan Kaia terkunci pada Ben yang terlihat tak nyaman bermain tanpa topi. Ia menelan ludah, jantungnya sudah jumpalitan. “Nggak bisa gini,” gumamnya kemudian berdiri, menghampiri Ben yang berkacak pinggang sambil memperhatikan Randi hendak memukul bola. “Pak!” Kaia berlari kecil menghampiri Ben. Ben menoleh. “Ada apa?” Kaia segera melepas topinya, memakaikannya kembali ke kepala Ben. “Jangan sok perhatian, Pak,” ucapnya berusaha terdengar tegas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD