Bab 10. Hati Yang Penuh Luka

1469 Words
Ben melirik Kaia yang tidur memunggunginya. Ia ingin menaikkan selimut yang menutup tubuh Kaia karena selimutnya turun hingga ke kaki. “Nanti dikira sok perhatian,” gumamnya pelan, teringat ucapan Kaia di lapangan golf tadi. Akhirnya Ben merebahkan tubuhnya dan menaikkan suhu pendingin ruangan agar Kaia tidak kedinginan meski tidur tanpa selimut. Sebenarnya Ben lebih suka mengatur pendingin ruangan di angka 18 derajat. Tapi sejak pertama Kaia pindah ke sini dan kedinginan di suhu seperti itu, Ben menaikkan suhu pendingin ruangan hingga di angka 20 derajat. Namun malam ini, sepertinya ia harus rela menaikkan suhu pendingin ruangan hingga 24 atau 25 derajat karena selimut Kaia hanya menutupi sebatas kaki. Ben menghela nafas pendek, berbalik memunggungi Kaia. “Nggak apa-apa deh, semalam doang.” Namun baru saja Ben hendak memejamkan mata, ponsel Kaia berdering panjang. Ben sedikit tersentak, menoleh pada Kaia yang tak terganggu dengan suara keras dering teleponnya. Akhirnya Ben memutuskan untuk mengintip siapa yang menelepon Kaia jam segini. Ia mengernyit saat mendapati nama Farel di sana. “Halo?” sapa Ben, memutuskan untuk mengangkat telepon itu. “Mana Kaia, Pa?” Suara Farel terdengar panik bercampur marah. “Dia sudah tidur. Kenapa?” “Bangunin, Pa. Suruh dia ke rumah sakit Bunda Asih sekarang!” Ben mengernyit mendengar nada bicara Farel yang kental oleh amarah. “Memangnya ada apa? Kaia masih tidur sekarang. Nggak bisa nunggu sampe pagi?” “Bapaknya nabrak Freya, Pa! Dia harus bertanggung jawab!” Jantung Ben rasanya langsung merosot hingga ke perut. Wajahnya langsung mengeras, tangannya terkepal erat. “Ya, sebentar lagi Papa sama Kaia ke sana. Kondisi Freya gimana?” sahutnya dingin. “Freya lagi ditangani di UGD. Ini aku lagi nahan bapaknya Kaia supaya nggak kabur. Aku takut kehamilan Freya kenapa-kenapa, Pa.” Suara marah Farel kini bercampur dengan gelisah. Ben mengumpat dalam hati. Ia baru ingat Freya sedang hamil. Ini jelas masalah serius. “Ya sudah, Papa berangkat ke sana sekarang.” “Ajak Kaia, Pa. Dia harus tanggung jawab!” “Iya, iya.” *** Jantung Kaia berdebar cepat saat ia mengekor Ben berlari kecil masuk ke UGD. Wajahnya pucat membayangkan masalah besar yang ayahnya sebabkan. Bagaimana kalau kehamilan Freya terkena imbasnya? Apa yang harus aku lakukan? Pikiran-pikiran buruk menghantui kepala Kaia. Ia menggelengkan kepalanya cepat, mengenyahkan semua pikiran buruk itu dan fokus mengatur nafas, mencoba tetap tenang. Begitu tiba di depan pintu masuk, Farel dan Suhendar yang tertunduk sudah menunggu. Wajah Kaia mengeras saat tatapannya jatuh pada Suhendar yang tampaknya setengah mabuk. Penampilannya acak-acakan, tangannya terlihat berdarah dan tergores. “Gara-gara lo!” Farel menerjang Kaia, mencengkram kerah lehernya. Tinju Farel nyaris saja mengenai wajah Kaia jika Ben tidak menahannya. “Mundur!” desis Ben penuh ancaman. “Jangan lindungi dia, Pa! Gara-gara dia Freya sekarang sekarat di dalam!” “Mundur, Farel!” Ben balas berseru, suaranya bergetar menahan emosi. “Lepaskan Kaia sekarang!” Melihat tatapan Ben yang menggelap, Farel akhirnya gentar dan melepaskan cengkramannya di kerah baju Kaia. “Jangan harap lo bisa lepas tanggung jawab!” Ia menunjuk Kaia tepat di depan wajahnya. “Gara-gara bapak lo, anak gue sekarat di dalam sana!” Jarinya menunjuk pintu UGD sambil menatap Kaia nyalang, urat di dahinya mencuat, matanya memerah karena marah. Rahang Kaia mengetat. “Bukan salah gu–” “Tapi dia bapak lo, Kaia!” potong Farel cepat. “Sudah, sudah.” Ben berusaha melerai. “Kaia, kamu di sini temani ayahmu. Aku dan Farel akan masuk ke dalam untuk memantau kondisi Freya dan bayinya.” “Iya, Pak.” Kaia mengangguk, bersyukur karena Ben bisa menangani situasi. “Kalau sampe anak gue kenapa-kenapa, lo bakal terima akibatnya!” sembur Farel masih penuh emosi. “Kalau perlu, gue bakal laporan bapak lo ke polisi!” Kaia memejamkan matanya rapat-rapat, kepalanya pening luar biasa sekarang. “Sudah, Farel. Ayo masuk ke dalam. Biar Kaia mengurus ayahnya.” Ben kembali menengahi. “Awas lo jangan sampe lo biarin bapak lo kabur!” Farel masih bisa mengancam meski Ben mendorongnya untuk segera meninggalkan teras UGD itu. Helaan nafas berat lolos dari bibir Kaia setelah Ben dan Farel menghilang di balik pintu. Ia segera mengalihkan tatapannya pada Suhendar yang masih tertunduk. Kaia mengepalkan tangannya kuat-kuat, emosinya mulai tersulut. “Bapak tuh kenapa sih nggak bisa sehari aja nggak bikin masalah?” Ia berusaha terdengar tenang, tidak menggebu-gebu. Suhendar berdecak kesal. “Dia yang salah. Dia tiba-tiba nyebrang padahal aku lagi nyetir motor kenceng.” “Bapak tuh salah! Jangan malah membantah!” Kaia mulai kehabisan kesabaran. Suhendar mendongak, menatap Kaia tajam. “Sekarang kamu berani membentak bapakmu?” Ia berdiri, mendekati Kaia. Aroma alkohol segera menguar dari arah pria itu. “Aku sudah bilang, dia yang salah! Memangnya dia nggak punya mata? Nyebrang seenaknya padahal ada motor jalan kenceng? Kenapa orang kaya suka menyalahkan orang miskin padahal mereka yang salah?!” Suhendar meledak-ledak, air liurnya sampai muncrat saat ia berseru-seru. “Ini kenapa aku benci jadi miskin!” Habis sudah, kesabaran Kaia menguap sempurna. “Bapak yang bikin kita jadi miskin!” Ia berteriak parau. “Seandainya Bapak nggak hobi minum dan judi, kita nggak akan semiskin ini, Pak!” Suhendar mendengkus. “Sekarang kamu kan jadi istri konglomerat. Harusnya kamu bisa bikin kita jadi kaya,” sahutnya santai. Kaia tak habis pikir, apa yang salah dengan isi kepala bapaknya itu? Seolah tak ada kalimat yang bisa masuk ke dalam sana dan membuatnya sadar. “Kita nggak akan pernah bisa jadi kaya kalau Bapak masih terus mabuk dan berjudi!” Kaia memekik marah. Mendengar putrinya menumpahkan kemarahan padanya, Suhendar justru semakin murka. “Ini semua gara-gara kamu! Gara-gara kamu ibumu meninggal! Gara-gara kamu aku hidup kesepian! Gara-gara kamu aku harus mabuk dan berjudi untuk membunuh rasa kesepian itu! Semuanya karena kamu! Cuma kamu yang pantas disalahkan, Kaia!” Suara Suhendar menggelegar, membuat beberapa pengunjung UGD menoleh ke arah mereka. Air mata Kaia menggenangi pelupuk. Meski ia sudah mendengar tuduhan itu puluhan, bahkan mungkin ratusan kali, ternyata rasanya tetap menyakitkan. Luka itu kembali menganga di d**a Kaia. Tapi ia menghapus air mata yang mengancam jatuh dengan cepat. “Kaia nggak pernah minta dilahirkan.” Ia berbisik lirih dengan suara bergetar. Ia juga sudah mengatakan ini ratusan kali, tapi ayahnya sama sekali tak pernah mau memaafkannya. Seolah semua derita mereka, penyebabnya adalah Kaia seorang. Kaia berdehem dan memperbaiki ekspresi ketika Ben dan Farel menghampiri mereka dengan langkah cepat. Dan sebelum Kaia sempat bertanya bagaimana kondisi Freya, Farel sudah melayangkan tinju mentah ke wajah Kaia. “Farel!” hardik Ben lantang, berdiri di antara Kaia dan Farel. “Jangan main hakim sendiri!” Kaia memegangi rahangnya yang berdenyut, tinju Farel keras sekali. “Gara-gara lo gue hampir kehilangan anak gue!” Farel berseru marah, merangsek maju, namun Ben segera menghentikannya. “Berhenti memukul Kaia.” Ben memperingatkan dengan tegas. “Biar Papa yang bicara sama Kaia. Kamu temani Freya di dalam. Dia butuh kamu.” “Papa harus pastikan dia ngerti sebesar apa masalah yang dia buat sekarang!” Farel menatap Kaia yang bersembunyi di balik punggung Ben nyalang. “Iya, biar Papa yang bicara. Sekarang kamu kembali masuk, temanin istrimu.” Suara Ben melunak, mencoba menenangkan putranya. Farel mendengkus kasar, masih menatap Kaia tajam. Sebelum akhirnya ia berbalik dan meninggalkan teras UGD dengan langkah lebar dan tergesa. Kini giliran Ben yang berbalik dan menatap Kaia tajam. “Kamu tahu seserius apa situasi ini? Suaranya sedingin kutub utara. Kaia menegakkan punggung, membalas tatapan Ben. “Freya keguguran?” tebaknya hati-hati. “Hampir.” Ben maju selangkah, tatapannya menggelap. “Aku tidak mau ada kesalahan seperti ini lagi. Farel bisa saja melaporkan ayahmu ke polisi atas tuduhan kelalaian berkendara. Tapi aku sudah membujuknya untuk tidak melakukannya karena aku memikirkanmu.” “Harusnya Bapak nggak usah memikirkan saya,” balas Kaia tak kalah dingin. “Kaia.” Ben mengetatkan rahangnya. “Apa?” tantang Kaia. “Bapak juga mau nyalahin saya? Ya, semuanya salah saya! Bagus, mending Bapak menatap saya dingin dan tajam kayak gini daripada Bapak sok perhatian sama saya!” Ia meledak, lelah dengan semua ini. Tanpa menunggu respons dari Ben yang tampak mematung karena ucapan Kaia, Kaia segera menarik tangan Suhendar. “Ayo pulang, Pak. Kaia yang nyetir,” katanya ketus. “Tunggu!” Ben meraih tangan Kaia. “Biar aku antar.” Kaia menghempaskan tangan Ben. “Sudah saya bilang, nggak usah sok perhatian!” cetusnya tajam kemudian berlalu meninggalkan Ben dengan langkah cepat. Tidak, bukan Kaia tidak menikmati perhatian Ben. Ia suka, bahkan menginginkan itu. Tapi ia takut hatinya menjadi lemah dan jatuh cinta pada Ben. Ia tak mau lagi kecewa dan hancur. Ia pernah mencintai Farel dan Farel mengkhianatinya. Ia pernah berharap ayahnya akan bersikap baik padanya seperti ayah lainnya, tapi Suhendar hanya terus memukul, membentak, dan mengambil uang yang ia hasilkan susah payah. Kaia hanya takut hatinya yang penuh luka akhirnya benar-benar hancur tak bersisa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD