Bab 11. Satu Malam, Dua Masalah

1279 Words
Kaia menyetir sendiri motor ayahnya karena Suhendar tampak masih setengah mabuk. Mereka tiba di gang sempit itu menjelang tengah malam. Saat mendekati rumah mereka, Kaia menyadari sudah ada dua pria bertubuh tinggi besar duduk di teras. “Pak, mereka siapa?” bisik Kaia sambil menyenggol lengan Suhendar. Ia menuntun motor, sementara Suhendar berjalan tertunduk, setengah sempoyongan. Suhendar mendongak. Dan begitu tatapannya jatuh pada sosok dua pria itu, matanya langsung melebar kaget. Ia cepat-cepat mengambil langkah seribu, kabur dari sana. “Loh, Pak?!” Kaia memekik kaget. Pekikan Kaia membuat dua pria itu menoleh. “Heh! Kembali sini!” Mereka berseru lantang. Keduanya segera berlari menyusul Suhendar. Meninggalkan Kaia yang mengernyit bingung melihat pemandangan itu. Tak butuh waktu lama, dua pria bertubuh tinggi besar itu telah kembali sembari menyeret Suhendar yang tak berdaya. “Enak aja main kabur-kaburan.” Salah satu dari mereka menoyor kepala Suhendar. “Bayar dulu dong!” “Mana, sini!” Yang lain menengadahkan tangan di depan wajah Suhendar. “Gue kagak punya duit!” Suhendar mendengus malas. “Noh, minta anak gue, duit dia banyak,” katanya sambil menunjuk Kaia dengan dagu. Maka dua pria bertato murahan itu langsung menoleh pada Kaia yang baru saja selesai memarkir motor di teras. “Heh! Lo anak Suhendar?” Salah satu dari mereka bertanya. Kaia mengangguk patah-patah, mengernyit. “Iya, Bang. Kenapa?” “Minta duit tiga puluh.” “Tiga puluh apa? Ribu?” “Enak aja! Tiga puluh juta!” “Hah?!” Kaia ternganga. “Banyak amat, Bang? Buat apa?” “Heh! Gue kasih paham kelakuan bapak lo.” Pria itu mendekati Kaia, berdiri tepat di hadapannya, membuat Kaia terlihat amat mungil. “Dia ngamuk di warung emak gue, ngerusak meja, bangku, sampe kaca jendela warung emak gue, terus kabur. Untung gue tahu rumah bapak lo makanya gue samperin ke sini.” Kaia menelan ludah gugup. Ia bisa membayangkan, satu tinju dari pria itu sudah cukup untuk membuatnya pingsan. “Jadi lo harus tanggung jawab buat biaya perbaikan warung emak gue. Sini, tiga puluh juta.” Ia kembali menengadahkan tangan, kali ini di depan wajah Kaia. “Tapi… gede banget, Bang? Gue nggak punya uang se–” “Sstt…!” Pria itu menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya sendiri. “Gue nggak nerima penolakan. Bapak lo ngancurin warung emak gue, emak gue jadi nggak bisa jualan beberapa hari selama renovasi, jadi gue minta ganti rugi.” “Tap–” “Nggak ada tapi-tapi. Gue minta tiga puluh juta, paling lambat besok pagi. Gue mau manggil tukang besok pagi. Lo ngerti kagak?!” Kaia memejamkan matanya rapat-rapat, mengumpat dalam hati. Suhendar selalu membuat ulah. “Kalau lo nggak ngasih uangnya, gue acak-acak rumah lo, gue jual-jualin semuanya sampe cukup buat renovasi warung emak gue. Ngerti lo?!” Kaia menarik nafas dalam. Ia jelas tak bisa membiarkan itu terjadi. “Gue cicil boleh nggak, Bang?” Pria itu mengangkat sebelah alisnya, namun kemudian menyeringai senang. “Boleh, tapi cuma boleh jadi dua kali cicilan dan ada bunganya.” “Nggak bisa gitu dong, Bang!” Kaia berseru tak terima. “Lo mau nurut aturan gue atau rumah lo yang gue jual?” Kaia mengepalkan tangan di samping tubuhnya. Sepetak rumah ini satu-satunya harta yang tersisa. Dan ia tak bisa membayangkan jika rumah ini dijual, ayahnya akan tinggal di mana? Ia tak mungkin membawa Suhendar ke rumah Ben dan membiarkan ayahnya itu menyebabkan masalah lebih besar lagi di sana. “Oke, oke. Gue usahain duitnya ada besok.” Akhirnya Kaia mengalah. Ia memutar otak, mencari cara untuk mendapatkan uang sebanyak itu hanya dalam waktu semalam. “Bagus. Besok gue tagih. Awas lo kalau bohong!” “Iya, Bang. Gue nggak akan bohong.” Dua pria itu tertawa lepas dan berbalik, meninggalkan Kaia dan Suhendar. “Ini seriusan satu malam dua masalah, Pak?!” Kaia menatap Suhendar tak percaya. Kepalanya pening luar biasa sekarang, memikirkan dua masalah sekaligus dan dua-duanya disebabkan oleh ayahnya. “Ck, jangan berisik,” sahut Suhendar santai sambil melenggang masuk ke dalam rumah. “Pak, Bapak harus berhenti berulah. Kaia capek beresin masalah yang Bapak buat.” Kaia memohon, berjalan di belakang ayahnya. “Kamu pikir dulu siapa yang beresin masalah kamu? Aku membesarkanmu sendirian, mengeluarkan banyak uang, bekerja dari pagi sampai malam cuma buat menghidupi kamu, sekarang ini balasanmu?” Suhendar menyahut ketus, berjalan ke kamar mandi. “Baru begini saja sudah mengeluh,” gerutunya sambil membanting pintu kamar mandi. Kaia lelah mendengar kalimat yang sama selama berpuluh-puluh tahun. Ia juga lelah menjawab dengan jawaban yang sama. Maka ia hanya diam dan menghempaskan tubuhnya di sofa butut rumah mereka. “Dari mana uang tiga puluh juta, Ya Tuhan?” Ia meremas rambutnya sendiri, pusing sekali. Sementara itu di waktu yang sama, di sofa ruang tengah lantai dua rumah Ben, pria itu tertidur dalam posisi duduk. Tangannya memegang ponsel yang membuka sebuah kontak, Kaia. Entah apa yang mau ia lakukan sebelum tertidur tadi, menelepon atau mengirim pesan pada Kaia? Yang pasti, dua-duanya tidak sempat ia lakukan karena tertidur. Dan mungkin juga karena ragu. *** “Dia masuk kerja?” Ben mengalihkan tatapannya dari dokumen di tangan. Angga mengangguk, tangannya memegang ponsel. “Iya, Pak. Semalam katanya menginap di rumah ayahnya, jadi memang nggak pulang ke rumah Bapak.” “Coba tanyakan dia sudah sarapan atau belum?” Angga mengetik sesuatu di atas ponsel. Beberapa detik kemudian, ia mendongak. “Katanya sudah, Pak. Tadi beli di warung langganannya.” Ben menghela nafas lega. “Tanyakan pipinya sudah diberi salep atau belum? Dia nggak diapa-apain sama ayahnya kan?” Angga mengangguk, kembali menunduk, mengetik sesuatu di atas ponsel. Selang beberapa detik, ia kembali bicara. “Katanya sudah, pakai salep yang dikasih Bapak itu. Sudah dikompres juga, jadi lebamnya sudah jauh membaik. Terus nggak terjadi apa-apa juga, semua aman. Begitu katanya.” Kini Ben meletakkan dokumennya di atas meja, fokusnya ia alihkan pada Angga sepenuhnya. “Coba tanyakan, dia mau pulang ke rumah atau enggak malam ini?” ucap Ben hati-hati. “Mau saya tanyakan juga dia masih marah nggak sama Bapak?” Angga balas bertanya. Ben terdiam sejenak, menimbang. “Boleh.” Angga tersenyum tipis, mengetik lagi di ponselnya. “Belum dibalas?” tanya Ben setelah satu menit berlalu Angga tidak juga bicara. “Oh, ini baru dibalas.” Angga membaca pesan yang tertera di ponselnya, terpaku. Melihat ekspresi Angga, Ben mengernyit. “Apa katanya?” “Pertanyaan saya nggak dibalas, Pak,” ucap Angga pelan. “Tapi Kaia minta ketemu sama saya pulang kerja.” Kernyitan di dahi Ben tampak semakin kentara. “Buat apa?” “Haruskah saya tanyakan, Pak?” “Ya iya, tanyakan yang jelas, buat apa dia ngajak kamu ketemu sepulang kerja.” Suara Ben berubah sedikit ketus. Angga tersenyum canggung, sekali lagi mengetik di atas ponsel. “Pak, katanya mau dibicarakan waktu ketemu aja,” kata Angga setelah ia menerima balasan dari Kaia. “Kalau begitu, aku ikut,” pungkas Ben tanpa berpikir. “Kalau Kaia makin marah karena Bapak datang tanpa diundang, gimana?” “Aku akan menunggu di mobil, tapi hp-mu harus terhubung denganku dan merekam semua yang kalian bicarakan.” Angga ternganga. “Maksud Bapak hp saya dalam mode menelpon Bapak terus Bapak mau dengerin semua percakapan saya dan Kaia?” Ben mengangguk mantap. Kini Angga tak bisa menahan kekehannya. Lucu sekali melihat tingkah Ben dan Kaia yang seperti kucing dan tikus. “Bapak kenapa nggak ngobrol langsung aja sama Kaia? Kenapa lewat saya begini?” Ben menghembuskan nafas pendek. “Kaia itu memasang tembok tinggi di sekitarnya, mencegah orang lain masuk. Karena itu aku harus hati-hati. Kalau salah pendekatan, dia bisa saja kabur dan menjauh. Dan sekarang ini, dia sepertinya cukup nyaman denganmu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD