“Ayah, kita mau pergi ke mana?”
Celina baru saja tiba di rumah selepas bekerja sebagai staf finance di salah satu departement store yang ada di daerah Jakarta Timur. Baru mau buka sepatunya sudah langsung diseret Faris—ayahnya. Begitu juga dengan Puspa—ibu tirinya, tampak sudah rapi penampilannya.
“Kamu nggak usah banyak tanya, yang penting ikut Ayah sekarang juga,” balas Faris dengan wajahnya yang sedikit masam.
“Tapi Yah, aku ini capek, baru pulang kerja,” balas Celina dengan tarikan napas kesal, sembari menepis tangan ayahnya yang masih mencengkeram. Seharian keliling di depan meja kasir, lalu berkutat dengan invoice, sudah tentunya berharap dengan kepulangannya bisa beristirahat, merebahkan tubuhnya yang lelah.
Namun, pria paruh baya itu menghiraukan permintaan putri dari istri pertamanya yang telah tiada, lalu semakin menyeretnya paksa ke teras rumah.
Begitu mobil berwarna hitam tiba, Faris mendorong putrinya masuk ke dalam mobil, lalu disusul dirinya beserta istrinya turut masuk ke dalam mobil.
“Sebenarnya kita ini mau ke mana sih? Seharusnya kalau memang mau pergi harusnya kasih tahu dari kemarin?” tanya Celina penasaran.
“Kamu tuh diam saja, ikuti perintah ayahmu ini!” sentak Puspa dengan lirikan tajamnya.
Celina yang berusia 22 tahun, menarik napasnya dalam-dalam, kecewa tidak mendapat jawaban apa pun dari Faris dan Puspa. Kini, ia hanya bisa memandang ke kaca mobil menatap jalanan sampai satu jam kemudian mereka tiba di rumah yang tak ia kenali.
Samar-samar sudut bibir Puspa melengkung tipis saat mobil itu masuk ke dalam pagar, lalu kepalanya agak dimiringkan melirik sinis anak tirinya.
“Turun, Celin,” pinta Puspa agak ketus, seperti hari-hari sebelumnya.
“Ini rumah siapa, Bu?” tanya Celina ketika keluar dari mobil, lalu kembali menatap rumah model jaman Belanda.
“Kamu tuh nggak usah banyak tanya ya, pokoknya ikutin Ayah dan Ibu saja!” seru Puspa menarik tangan Celina dengan kasar.
Beberapa pria tak dikenali Celina menyambut kedatangannya, entah mengapa mereka melihat Celina seakan menelanjanginya secara terang-terangan.
“Akhirnya Pak Faris menyetujui saran saya, ayo ... mari kita masuk ke dalam,” pinta pria berbaju hitam dengan kumisnya yang tebal.
“Ini ada apa ya sebenarnya, kok perasaan aku nggak enak begini,” batin Celina gelisah, tapi lagi-lagi Faris menarik tangannya dengan kasar, agar mengikutinya masuk ke dalam rumah tersebut hingga ke bagian ruang tengah.
“Pak Faris, Bu Puspa, dan Gadis Cantik silakan duduk.” Pria itu tampak sangat ramah dibalik wajahnya yang tersirat dengan kebengisannya.
Celina ragu-ragu untuk duduk, perasaannya semakin kuat jika ada hal buruk akan menimpanya. Hanya saja ia belum mengetahui jelas apa yang akan terjadi.
“Kami datang sesuai dengan pembicaraan kemarin Pak Yoga, kami harap Pak Yoga tidak menipu kami,” ujar Faris ketika mereka semua duduk.
Yoga membelai kumis tebalnya dengan lirikan genit saat menatap Celina. “Jangan khawatir Pak Faris, saya tidak akan menipu. Yang terpenting barang yang Pak Faris ini masih original ya. Karena harga jualnya sangat tinggi, orangnya sebentar lagi akan tiba,” balas Yoga sembari menatap anak buahnya yang berdiri di ambang pintu.
“Saya bisa menjamin itu,” jawab Faris.
Celina semakin bingung dengan arah pembicaraan ayahnya. Ia lantas mengedari pandangannya ke segala sudut demi mencari jawaban.
“Ayah, ini kita sebenarnya ke sini mau ngapain?” tanya Celina, tatapannya begitu menyelidik. Pria paruh baya itu menoleh menatap kesal pada putrinya.
“Kamu ke sini untuk berbakti pada Ayah! Jadi jangan banyak bertanya lagi!” tegas Faris.
“Berbakti, maksudnya apa, aku nggak ngerti?” Celina butuh penjelasan, tapi ia tak mendapatkannya karena ada pria masuk ke ruang tengah dengan penampilan yang agak berbeda dari Yoga, sedikit rapi dan klimis.
“Sudah datang orangnya, Pak Yoga?” tanya pria itu.
“Ini sudah datang semuanya, tinggal menunggu yang belum datang,” jawab Yoga dengan sikap hormatnya menunjuk ke arah Celina.
Pria itu melirik ke arah Celina, sementara Puspa tampak tak sabar menunggu. “10 menit lagi orangnya akan segera tiba,” ujarnya.
Selang kemudian kedua pria itu bersama Faris berbincang dengan suaranya agak berbisik, sehingga Celina tidak bisa mendengarnya. ”Sebenarnya buat apa aku diajak ke sini? Dan mereka itu membicarakan apa?” batin Celina bertanya-tanya.
Tak lama kemudian, salah satu anak buah Yoga memberi kode jika tamu agungnya telah datang. Yoga lantas lekas bersiap-siap untuk menyambutnya dengan berdiri, sementara Faris dan Puspa tetap duduk hanya saja pandangan mata menuju ambang pintu.
Derap langkah sepatu pantofel terdengar jelas, dan muncullah beberapa laki-laki seperti bodyguard, dibaliknya ada sosok dua pria dengan setelan jas kerja, begitu berwibawa dan berkelas, lalu ada wanita yang sangat cantik merangkul salah satu pria yang sepertinya tampak berkuasa.
“Selamat datang, Tuan-Tuan sekalian, mari silakah masuk,” pinta Yoga dengan ramahnya.
Celina memperhatikan wajah pria dan wanita itu, ia merasa pernah melihatnya, hanya saja lupa di mana ia pernah melihat, bukan bertemu.
“Pak Faris, Bu Puspa, perkenalkan ini adalah Tuan Darren Andrian Mahendra yang akan membeli putri Anda, dan kabar baiknya akan menikahinya sekarang juga menjadi istri keduanya. Jadi hutang Pak Faris malam ini akan lunas setelah transaksi dilakukan,” ujar Yoga dengan mantapnya.
Celina terkejut. “Pak Darren, pemilik Grup Mahendra, yang punya departement store Centro,” gumam Celina terbata-bata dan sangat pelan. Ia langsung mengenali nama pria itu. Kemudian kembali tersadar akan sesuatu hal yang sejak tadi ia penasaran.
“Hu-Hutang ... be-beli saya ... dan me-menikah? Sebenarnya ada apa ini!” sergah Celina dengan degup jantungnya begitu cepat, dan langsung berdiri.
Anak buah Yoga gegas pasang badan di belakang wanita muda itu. Darren Andrian Mahendra, usia 35 tahun, samar-samar memperhatikan sosok wanita dengan penampilan sederhana yang akan dibelinya dengan lirikan penuh kebencian.
Sementara itu, Puspa terbelalak melihat sosok pria yang akan membeli anak tirinya, dan rupanya akan dinikahi sekaligus. Sungguh ini di luar ekspektasi Puspa, ia pikir yang akan membeli Celina adalah pria paruh baya, atau bangkotan, dengan tubuh gemuk, perut buncit, wajah jelek, dan tidak ada rencana untuk dinikahi. Tapi ini justru sangat menawan, sangat tampan, dan gagah.
“Ayahmu menjualmu untuk membayar-bayar hutang-hutangnya judi onlinenya pada kami, Gadis Cantik!” seru Yoga dengan terbahak-bahak.
Tak ada hujan, tak ada petir, tubuh Celina membeku, matanya terbelalak. Kemudian, perlahan-lahan ia menatap nanar ayahnya yang sejak tadi terdiam.
“Teganya Ayah menjualku! Aku ini anak kandungmu, Ayah!” jerit Celina sembari berusaha melangkah mundur menjauh dari ruang tengah. Namun, sayangnya ia dicekal oleh anak buah rentenir itu.
“Sebentar, bisa ditunda dulu? Sebaiknya yang dijual anak saya yang satu lagi. Jangan Celina, ia tidak pantas untuk dinikahi, saya akan segera menghubungi Livia, putri yang pas jadi istri Tuan Darren!” cegah Puspa, buru-buru mengambil ponselnya.
Yoga menolehkan wajahnya menatap Puspa, sedangkan Darren terlihat berbisik dengan Aryan, asisten pribadinya.
“Maaf Pak Yoga, Tuan saya tidak punya banyak waktu. Bisa kita mulai saja, kebetulan penghulu dan saksi dari KUA sudah datang,” ujar Aryan menyela sekaligus tidak mengabulkan keinginan Puspa secara tidak langsung, sesuai keputusan Darren.
“Tapi, tunggu dulu Pak. Celina akan diganti sama Livia, anak saya yang paling cantik,” cegah Puspa tampak terburu-buru menelepon putrinya.
“Sekarang atau kita batalkan saja transaksi ini!” tegas Aryan mewakilkan Darren.
“Kita mulai saja,” putus Faris, ketimbang ia tak bisa bayar hutang.
“TI-TIDAK!” teriak Celina tidak menyetujuinya. Tubuhnya spontan mendorong bangku di belakangnya, ia ingin berusaha melarikan diri, tapi sialnya anak buah Yoga itu langsung mencekal wanita itu. Dan mendudukkan kembali ke kursi, lalu kedua bahunya ditekan agar tak memberontak kembali.