Part 2 Pengkhianatan Seorang Kekasih 2

1060 Words
Arga mendapati kosan Senja sepi sore itu. Beberapa kali dihubungi tapi ponsel Senja tidak aktif lagi. Dari gestur tubuhnya terlihat sekali kalau pria itu resah dan cemas. "Nak Arga," panggil wanita setengah baya, ibu pemilik kos-kosan yang sudah mengenal Arga. "Bu." Dengan sopan pria muda itu menyalami wanita bertubuh subur yang sangat ramah padanya. "Saya nyari Senja, Bu." "Senja sudah pamitan sama Ibu sejak pagi tadi. Katanya mau pulang dalam dua hari ini. Apa dia nggak memberitahu, Nak Arga?" Arga menjawab pertanyaan ibu kos Senja dengan senyuman. Bukannya dia tidak tahu. Bahkan sangat-sangat tahu. Semua peristiwa pagi tadi kembali masuk dalam ingatan, membuat gejolak, dan sangat pedih di dalam sana. "Baiklah, kalau gitu saya pamit dulu." Arga kembali menyalami wanita yang sebenarnya heran melihat tingkah pemuda di depannya. Ibu kosan itu tahu hubungan Arga dan Senja. Hubungan yang sudah lama terjalin. Tiga tahun. Sejak Senja menjadi penghuni kosannya Cukup lama Arga duduk di belakang kemudi sambil kembali menelepon Senja juga pada Sabda. Namun semuanya nihil tanpa jawaban. Arga juga menghubungi Nina, teman dekatnya Senja. Tapi juga tidak ada jawaban. Di ketiknya pesan pada Senja, terlihat kalau pesan sedang pending. Arga memukul stang mobil dan telungkup lama di sana. Kejadian hari ini memporak-porandakan hatinya, juga hati kekasihnya. * * * "Senja, kamu serius dengan apa yang kamu ceritakan ini?" tanya Nina tak percaya dengan cerita Senja saat mereka dalam perjalanan. Kedua wanita itu duduk di bangku tengah dan Sabda menyetir di depan. Gadis yang tampak kusut itu mengangguk. Mata ber-iris cokelat milik Senja itu sesekali mengerjab, menghalau pedih air mata yang mengaburkan pandangannya. Nina seperti tak percaya mendengar cerita itu. Dia tahu bagaimana hubungan Senja dan Arga. Dia juga tahu bagaimana mereka saling mencintai. Bahkan kedekatan mereka membuat iri rekan-rekan. Namun Nina juga tak menduga kalau diam-diam Arga memiliki kekasih selain Senja, bahkan bertunangan di waktu yang seharusnya menjadi hari bahagia Senja. Nina memberikan support untuk Senja. Memberikan semangat dan berjanji akan ikut menjelaskan jika keluarga Senja bertanya nanti. Namun, apakah semuanya akan semudah itu? Empat jam perjalanan dan hanya berhenti istirahat dua kali mereka telah sampai di desa Selopuro. Desa yang masih asri dengan pepohonan yang mengayomi sepanjang jalan masuk desa itu. Suasana pedesaan masih sangat kental terasa. Aktivitas para penduduk menjelang sore terlihat di halaman rumah mereka. Ada yang sibuk dengan padi yang di jemur, ada yang membersihkan kandang ternak, dan ada yang sekedar duduk-duduk di bawah pohon, ngerumpi sambil mencari kutu atau uban bagi kaum ibu-ibu. Bagi Sabda dan Nina yang biasa sejak kecil hidup di kota, ini menjadi pemandangan baru yang sangat menyenangkan. Ketenangan suasana di sana sangat mereka rasakan. Senja menyuruh berhenti Sabda ketika telah sampai di rumah doro gepak, yang halamannya lumayan luas. Ada beberapa pohon jambu air dan mangga mengelilingi pekarangan samping dan depan. Mereka segera turun setelah mobil terparkir di bawah pohon mangga yang sedang berbunga. Seorang wanita setengah baya keluar sambil tersenyum saat melihat putrinya. Senja berusaha menyembunyikan kesedihannya biar sang ibu tidak curiga. Nina yang pernah satu kali ikut Senja pulang segera menyalami dan mencium tangan Bu Hanum, nama dari ibunya Senja. Sabda pun melakukan hal yang sama. Wanita itu tampak berbinar senang menyambut uluran tangan laki-laki itu. "Eh, ini to calon suaminya Senja?" Seorang ibu muncul dari arah samping di susul oleh beberapa wanita lainnya. Mereka tetangga yang berdekatan dengan rumah Bu Hanum. Setelah menyalami Senja dan dua temannya, tiga orang ibu-ibu itu pun pergi. "Ganteng, yo!" bisik ibu-ibu yang lain pada rekannya sambil melangkah pergi dan itu masih di dengar oleh Senja. Membuat gadis itu jadi tidak enak hati pada Sabda. "Mas, maaf ya. Nanti atau besok aku jelaskan pada mereka kalau sebenarnya hanya salah paham saja," ucap Senja saat mereka melangkah masuk rumah. Sabda tersenyum sambil mengangguk. Sabda dan Nina duduk di ruang tamu. Sementara Senja ikut masuk ibunya untuk membuatkan minum. "Senja, sepertinya laki-laki tadi wajahnya nggak sama dengan foto yang kamu kirimkan ke ibu." Bu Hanum bertanya setelah menyalakan kompor dan Senja yang menyiapkan gelas untuk teh. Senja mengangguk pelan, menyembunyikan luka yang dalam. Hatinya tambah pedih ketika melihat banyak belanjaan di meja dapur. Tentu ini disiapkan untuk acara besok. Bu Hanum mendekati putrinya. Naluri ibu memang tak pernah salah. Sejak melihat Senja turun dari mobil dalam keadaan kusut tadi pikirannya sudah tidak enak. "Ada apa?" Tak bisa di bendung lagi, Senja merangkul ibunya dan menangis. Bu Hanum yang kebingungan dengan sikap putrinya masih sabar menunggu hingga Senja tenang. Sambil terisak, Senja menceritakan kejadian hari ini. Hanya garis besarnya saja karena mereka harus buru-buru membuat teh dan menemui tamunya. Bu Hanum menyimpan kecewa yang dalam, entah bagaimana dia akan menjelaskan pada keluarga besarnya nanti. Padahal wanita itu sudah mengundang mereka agar datang besok pagi dan para tetangga juga sudah banyak yang tahu. Maklumlah, ini di desa. Ada kabar sedikit saja sudah menyebar ke mana-mana. Senja membawakan nampan berisi tiga gelas teh ke ruang tamu. Diikuti oleh Bu Hanum di belakangnya. "Ayo, di minum dulu tehnya." Bu Hanum mempersilakan dengan ramah. "Terima kasih, Bu," jawab Nina. "Maaf, Bu. Saya mau Salat Asar. Masjidnya di sebelah mana, ya?" "Deket kok, Nak. Seratus meter jalan ke arah kiri. Masjidnya di pinggir jalan. Nanti Nak Sabda jalan sebentar sudah kelihatan. Senja, kamu antar sampai depan sana!" Sabda berdiri sambil menarik lengan kemeja warna dark blue yang dipakainya hingga ke siku. Senja melangkah keluar rumah lebih dulu. Mereka berjalan melewati halaman rumah yang lumayan luas. Gadis itu mengantar hingga masjid yang di maksud telah kelihatan pagarnya. "Sampai sini saja, ya Mas. Itu masjidnya udah keliatan." "Oke." Sabda terus berjalan sedangkan Senja kembali ke rumah. "O, Mas itu lho, calon suaminya Senja," seloroh seorang wanita yang sedang menyapu halaman, bicara dengan tetangganya. Sabda yang mendengar terus berjalan. Rumah-rumah yang berdekatan membuat penghuninya bisa saling mendengar. Selesai Salat, Sabda masih duduk terpekur lama di atas karpet bercorak masjid. Ternyata berita pertunangan Senja dengan sepupunya sudah di dengar para tetangga. Bagaimana jika ternyata besok Senja tidak jadi tunangan? Pasti Senja dan keluarganya akan menanggung malu, tidak hanya dihadapan para kerabat, tapi juga akan jadi pergunjingan para warga. Dan aib itu akan ditanggung tak hanya sehari dua hari, bisa jadi berbulan atau bertahun-tahun. Sabda tidak tega. Tanpa sengaja mereka beranggapan bahwa dirinya adalah kekasih Senja. Sabda seolah terjebak oleh suatu hal yang tidak disangkanya ketika memutuskan mengantar Senja pulang. Niat awalnya hanya ingin menolong, tapi akhirnya masuk dalam pusaran permasalahan gadis itu. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD