Habis Salat Isya di rumah Senja penuh dengan para kerabat dan tetangga. Ini di luar perkiraan Senja, bahkan Sabda. Di pikirnya suasana seperti di kota, para kerabat akan datang tepat pada saat acara saja.
Mereka duduk lesehan di tikar dan karpet yang di bentang di ruang tamu yang berukuran lima kali enam meter. Di atas piring yang di taruh melingkar ada kue bolu, mendut, pisang goreng, dan kacang rebus. Jajanan khas pedesaan. Ada juga satu teko kopi dan teh. Sabda duduk berjajar dengan kaum lelaki kerabat Senja dan para tetangga. Sementara Senja, Nina, dan Bu Hanum duduk di sisi lain bersama ibu-ibu.
Senja merasa tak enak hati menempatkan Sabda dalam situasi yang seperti ini. Apalagi pria itu berniat untuk menolongnya, tapi malah terperangkap dalam kesalah pahaman yang tidak tahu dari mana harus di luruskan. Senja duduk dengan gelisah, meski Sabda terlihat santai saat diajak ngobrol Pakdhe dan Pakliknya Senja.
Nina juga merasa cemas. Rasanya sayang saja jika rasa kekeluargaan dan kebersamaan ini rusak oleh kenyataan yang sebenarnya.
Sabda sendiri tidak punya pilihan selain mengikuti alur yang berjalan. Jika dia bersuara dengan mengatakan hal yang sebenarnya, akan menimbulkan kekacauan dan tentu saja membuat malu Senja dan keluarganya. Sabda tidak sampai hati merusak suasana penuh kehangatan seperti ini. Keluarga besarnya pun kalau berkumpul tidak seakrab ini. Bukan saling bertanya kabar dan simpati yang mereka tunjukkan, melainkan tentang bisnis dan segala pencapaiannya. Di tengah-tengah mereka, Sabda menemukan keakraban tulus yang sungguh berbeda.
"Mas Sabda sudah kenal lama dengan Senja?" tanya seorang bapak berpeci putih, tetangga sebelah rumahnya Senja.
Sabda mengangguk sambil tersenyum.
"Satu kerjaan dengan Senja?"
"Nggak, Pak. Kami bekerja di tempat yang berbeda."
"Mas Sabda kerja di mana?" ganti seorang bapak yang berbadan kurus bertanya.
"Saya akuntan di sebuah perusahaan ekspor impor, Pak."
Laki-laki kurus tadi mengangguk-angguk. Walaupun sebenarnya dia tak paham apa itu akuntan. Apa itu ekspor impor. Tapi beliau melihat penampilan Sabda yang keren dan bersih, pasti itu pekerjaan hebat dengan gaji besar.
"Keluarga Nak Sabda besok datang pukul berapa?" Kini yang bertanya salah seorang kerabat ibunya Senja. Pertanyaan yang membuat Senja, Nina, dan Bu Hanum tercekat.
"Siang, Pak," jawab Sabda tenang. Ketenangan yang membuat hati senja tambah kebat-kebit. Antara bingung dan tak enak hati. Kesalah pahaman ini makin berlarut-larut.
"Syukurlah kalau agak siang. Karena sepupunya Senja bisanya datang juga agak siangan."
Sabda tersenyum dan mengangguk.
Mereka berbincang hingga jam sembilan malam. Kemudian satu per satu para tetangga pamitan dan kerabat senja sebagian pulang.
"Nak Sabda, ayo tidur di rumah Pakdhe saja. Biar nggak timbul fitnah. Kalian kan belum menjadi suami istri." Pakdhenya Senja yang bernama Harto bicara pada Sabda. Kemudian laki-laki itu bangkit berdiri. Sabda mengikuti. Tidak ada kesempatan Senja mengajak bicara Sabda.
"Pakdhe, bisakah Mas Sabda saya ajak bicara sebentar." Senja berkata hati-hati pada laki-laki bertubuh gemuk, beliau kakak dari almarhum bapaknya Senja.
"Besok bicara lagi, Nduk. Ini sudah malam. Nggak enak diperhatikan tetangga." Pakdhe Harto mengajak Sabda keluar. Dan menyuruh Senja menutup pintu.
Setelah kedua laki-laki itu pergi, Senja, ibunya, dan Nina kembali duduk di karpet. "Gimana, Nduk? Kenapa Nak Sabda malah jawab santai seperti tadi. Kalau Pakdhemu tahu yang sebenarnya, malah makin ngamuk besok." Bu Hanum bingung dan cemas.
"Tapi kamu nggak ada hubungan apa-apa dengan Nak Sabda, 'kan?"
Senja menggeleng cepat. Nina juga turut menjelaskan kalau Sabda itu sepupunya Arga. Membicarakan lagi apa yang sebenarnya terjadi tadi pagi.
Setelah terdiam beberapa saat, Senja mengambil ponsel di kamarnya. Ingin mengirimkan pesan dan membicarakan permasalahan yang semakin berlarut ini dengan Sabda. Namun signal tak ada sama sekali. Senja memakai kartu yang tidak menjangkau dengan baik tempat tinggalnya.
Mereka bertiga berbincang hingga larut malam. Senja dan Nina memilih tidur di kasur lantai depan televisi. Nina yang kelelahan telah terlelap, tapi Senja tidak merasakan kantuk sama sekali.
Di tempat lain, di sebuah kamar rumah milik Pakdhe Harto. Sabda masih duduk di tepi pembaringan setelah bicara cukup lama dengan laki-laki itu di ruang tamu.
Bagaimana sekarang, dia jujur akan menghancurkan harga diri dan kehormatan Senja serta ibunya. Bahkan harga dirinya sendiri. Jika di lanjutkan, sungguh ini di luar jangkauannya. Dia tidak kepikiran akan menikah secepat ini meski usianya sudah dua puluh delapan tahun. Apalagi menikahi Senja. Mantan kekasih sepupunya.
Jika besok dia jujur, satu desa akan heboh dengan kabar ini. Lantas bagaimana dengan Senja? Bagaimana dengan Bu Hanum? Bagaimana mereka sanggup bertatap muka dengan kerabat, terutama dengan warga desa.
Sabda menarik napas berat. Terlebih tadi Pakdhe Harto baru saja cerita tentang kehidupan masa kecilnya Senja tanpa kehadiran sosok ayahnya. Gadis sederhana dan penurut.
"Sewaktu Senja pamit hendak kerja di kota. Pakdhe sudah mewanti-wanti agar dia berhati-hati dan bisa jaga diri. Pakdhe pesan agar jangan pulang bawa laki-laki kalau hanya sekedar teman. Kecuali pria itu serius untuk mengajaknya berumah tangga. Kehormatan anak gadis bagi kami adalah segalanya, Nak Andra. Kami nggak ingin anak-anak perawan kami masuk dalam pergaulan bebas bahkan jangan sampai hamil di luar nikah. Alhamdulillah, Senja nurut. Baru kali ini dia pulang bersama seorang laki-laki yang serius dengannya." Kata-kata Pakdhenya Senja makin membuat Sabda merasa tidak enak hati jika harus mengatakan kebenaranya. Perlahan pria itu merebahkan tubuhnya di dipan.
Di raihnya ponsel di atas meja kecil samping tempat tidur. Tak ada signal. Namun dia masih bisa melihat beberapa panggilan masuk tadi siang. Dari Mamanya, dari Papa juga kakaknya. Ada juga sejumlah pesan yang dikirim berjam-jam yang lalu, saat signal masih terjangkau sebelum dia masuk desanya Senja. Pesan dari keluarga dan Arga.
Di letakannya kembali ponsel, karena percuma juga di jawab kalau signal sama sekali kosong.
Semalaman Sabda tidak bisa tidur. Dia berpikir keras bagaimana mencari solusi untuk besok. Di rumahnya pun senja juga begitu, dia sama sekali tidak bisa memejam meski sejenak.
* * *