Jam tujuh pagi, Senja bergegas keluar rumah saat melihat Sabda berjalan ke arah rumahnya. Gadis itu mengajak duduk pria itu di teras depan.
"Mas, sebelum para kerabat datang, sebaiknya aku datang satu per satu ke rumah mereka. Antar aku ke dekat pasar yang kita lewati kemarin, biar aku telepon kerabat yang jauh. Biar mereka nggak jadi berangkat ke sini."
"Iya, Nak Sabda. Pagi ini kita harus menyelesaikan masalah ini," tambah Bu Hanum yang muncul dari dalam dan ikut duduk di balai-balai.
"Aku nggak ingin Mas terlibat lebih jauh lagi dengan permasalahanku. Lagian Mas Sabda tadi malam bilang kalau keluarga Mas Sabda akan datang siang nanti. Aku nggak nyalahin Mas bilang seperti itu, karena situasinya memang nggak memberi kesempatan kita bicara. Biar aku dan ibu keliling rumah saudara untuk mengabari kalau pertunangan hari ini batal. Memang kerabat akan berkumpul saat aku tunangan, Mas. Jadi nggak heran kalau semalam sudah banyak orang."
Sabda masih diam. Dia juga bingung dengan kepanikan Senja dan ibunya. Belum sempat bicara, dari depan masuk sebuah mobil warna putih. Mereka semua menoleh.
Wajah Senja pias melihat siapa yang datang. "Bulek Yati sudah sampai, Buk," ucap lirih Senja dengan suara bergetar.
"Dia Bulekku, Mas. Adiknya almarhum Bapak. Orangnya sangat cerewet." Senja memberitahu Sabda.
Beberapa orang keluar dari mobil sambil membawakan barang bawaan yang tak sedikit. Bulek Yati datang bersama suami dan kedua anak, menantu, dan cucunya.
Senja dan Ibunya berdiri untuk menyambut mereka. Sabda juga ikut berdiri. Benar saja, wanita berpakaian syar'i itu orangnya sangat ramah, bahkan terkesan ramai. Namun begitu dia tidak mau bersalaman dengan Sabda. Tangannya hanya di tangkupkan di depan d**a. Begitu juga yang di lakukan dua menantu perempuannya.
Bu Hanum mengajak iparnya masuk ke dalam rumah. Sedangkan Senja masih mematung di luar bersama Sabda.
"Bisa panggilkan Nina keluar. Aku mau bicara dengannya."
Senja mengangguk. Segera gadis itu melangkah ke belakang lewat samping rumah. Tak lama kemudian kembali bersama Nina yang bajunya bau bumbu dapur, karena membantu memasak di belakang. Bu Hanum tetap memasak seperti rencana sebelumnya, di bantu beberapa saudara dan tetangga. Setidaknya jika acara ini batal, mereka yang datang diajak makan-makan.
"Nin, kamu ikut aku?"
"Ke mana?"
"Ke kota sebentar. Nggak mungkin acara ini di batalkan. Ikut aku ...."
"Ya, nggak apa-apa. Sebaiknya Mas Sabda dan Nina segera pergi saja. Nanti aku yang akan menyelesaikan masalah ini. Maaf, sudah merepotkan Mas Sabda," ucap Senja cepat dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu sudah pasrah.
"Aku tidak pergi. Aku tak akan kabur gitu aja. Aku ngajak Nina untuk membeli beberapa perlengkapan untuk acara lamaran."
Senja dan Nina kaget dan saling pandang.
"Kita bisa pikirkan lagi setelah ini. Yang penting acara hari ini berjalan lancar. Ini baru acara tunangan saja, kan?"
Senja yang cemas mengangguk pelan. Sabda mengeluarkan dompet dari saku celananya. Di ambilnya satu kartu ATM. Kemudian dompet di berikan pada Senja. "Di dalam sini banyak kartu penting, ini jaminan kalau aku nggak akan kabur." Setelah bicara Sabda mengajak Nina pergi. Meninggalkan Senja yang berdiri kebingungan.
* * *
"Jam berapa rombongan Sabda datang?" tanya Pakdhe Harto pada Senja yang duduk dengan gelisah. Dia memakai gamis brokat warna pastel. Untungnya ada baju yang tertinggal di rumah.
"Mungkin sebentar lagi, Pakdhe," jawab Senja sambil menunduk. Padahal dia tidak tahu apakah Sabda akan datang apa tidak. Sudah empat jam Sabda pergi dari pagi tadi. Andai pria itu langsung pulang pun bukan salahnya. Senja harus menghadapi dan menyelesaikan permasalahan ini sendiri. Rasa sesak makin terasa sakit di dadanya. Perutnya juga mulas memikirkan hal terburuk yang mungkin saja terjadi.
Rumah Bu Hanum sudah penuh oleh kerabat dan tetangga. Membuat Senja dan ibunya bernyali ciut. Namun wanita yang sudah biasa menghadapi tantangan hidup dan membesarkan putrinya seorang diri telah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi.
Sementara Senja iba dan merasa bersalah jika harus membuat malu ibunya. Wanita yang sangat berjasa dan di cintai segenap jiwa raga. Makanya Senja sangat berharap agar Sabda bisa datang dan pura-pura melamarnya. Setelah itu akan menjadi urusannya dengan Sabda. Mereka akan kembali menjalani hidup masing-masing sebagai orang yang bebas. Sabda juga bebas menentukan pilihannya, entah dengan siapa dia akan bersama. Begitu juga dengan Senja, mudah saja dia nanti akan mencari alasan putus tunang.
Lima belas menit kemudian mobil Sabda datang, di ikuti oleh dua mobil lainnya. Namun membuat Senja makin gemetar. Siapa orang-orang yang di ajak Sabda itu?
Senja juga melihat Nina tak lagi memakai baju tadi. Gadis itu sudah rapi dengan kebaya dan sanggulnya. Seluruh rombongan Sabda ada dua belas orang. Mereka berpakaian rapi layaknya mau menghadiri resepsi. Senja seolah terpaku dan tidak bisa bergerak dari duduknya. Tak percaya dengan apa yang dilihat.
Barang-barang yang di bawa Sabda juga tidak sedikit. Apa-apaan ini? Senja makin bingung. Beberapa kerabat menyambut rombongan Sabda. Dan Senja tidak mengenali satu pun dari mereka.
Tidak ada backdrop seperti pertunangannya Arga. Sabda dan Senja duduk berbaur dengan para kerabat. Sabda bilang kalau orang tuanya yang sedang ke luar kota tidak bisa datang. Namun ada Om dan Tantenya yang mewakili. Keluarga Senja tidak mempermasalahkan itu.
Acara di buka oleh seorang ustadz, yang memang sejak awal sudah di mintai tolong oleh Bu Hanum. Karena hari sudah siang, langsung saja ke acara inti. Seorang wanita setengah baya yang dikenalkan sebagai Tantenya Sabda menyematkan sebuah cincin solitair di jari manis Senja. Jemari gadis itu gemetar hebat, terlebih saat tahu bahwa cincin itu bukan barang biasa. Ada berlian kecil tersemat di sana.
Suasana makin tegang bagi Sabda dan Senja ketika Pakdhe Harto dan para kerabat yang lain meminta agar di laksanakan nikah siri dulu. Mengingat mereka sering bertemu dan untuk menghindari zina.
Senja menolak mentah-mentah saran mereka. Namun suaranya tetap kalah ketika anggota keluarga sepakat agar dirinya dan Sabda menikah siri.
"Kalian akan menikah sehabis lebaran. Dan itu sekitar lima bulan lagi. Nikah siri ini hanya untuk menjaga agar kalian nggak berzina meski hanya bersentuhan tangan atau saling pandang. Tapi bukan berarti kalian juga bisa bebas. Karena menikah siri itu yang dirugikan pasti pihak perempuan jika pihak laki-laki lepas tangan. Tapi Pakdhe percaya pada Nak Sabda yang nggak mungkin mempermainkan Senja. Pakdhe yakin kalau Nak Sabda adalah pria yang bertanggung jawab."
Sabda terdiam tanpa kata. Napasnya seolah berhenti di tenggorokan.
Sekeras apapun Senja menolak dan penolakannya di dukung oleh sang ibu, tapi suara terbanyak tetap kerabat dan mereka yang hadir. Sabda pun diam dan pasrah, karena rombongan yang dibawanya hanya orang bayaran yang tidak bisa membela. Nina juga tak bisa berbuat apa-apa. Sebab di mata keluarga Senja, pertunangan ini tidak main-main. Terlebih mereka melihat Sabda adalah pria baik dan bertanggung jawab.
Seorang petugas KUA yang menjadi rekan baik Pakdhe Harto yang menikahkan mereka. Pakdhe Harto yang menjadi walinya Senja. Sabda memberikan uang tiga ratus ribu sebagai mahar. Itu uang cash yang ada di dompetnya.
Gadis itu menangis tergugu sesaat setelah Sabda berhasil mengucap ijab qobul. Rasanya bagai mimpi semua ini terjadi. Walaupun awalnya Sabda hanya berniat menolong, tapi lafaz akad nikah tadi tidak main-main. Mereka sah sebagai suami istri di mata agama. Bu Hanum memeluk erat putrinya. Para undangan tak mengira kalau Senja sedang berduka, bagi mereka itu adalah tangis bahagia.
Senja tak sabar menunggu acara ini berakhir. Dia harus bicara dengan Sabda. Karena sekarang bukan Senja lagi yang jadi korban, tapi Sabda. Pria baik yang berniat menolong malah terperangkap dalam pernikahan dengannya.
* * *