Part 5 Sabda Malam 1

1093 Words
Jam tiga sore semua acara baru selesai. Di rumahnya Bu Hanum tinggal mereka berempat yang duduk di ruang keluarga. "Nak Sabda, maafkan kami telah membawamu ke situasi yang sulit ini. Tentu semua yang terjadi tadi di luar dugaan Nak Sabda, juga bagi kami sendiri. Ibu jadi merasa bersalah pada Nak Sabda, niatnya membantu malah terbelenggu seperti ini. Sekarang terserah Nak Sabda, Ibu nggak akan melarang Nak Sabda untuk menceraikan Senja. Tentu pernikahan ini juga bukan keinginan Nak Sabda." Bu Hanum bicara dengan suara lirih. Beliau merasa tidak enak hati dengan pria muda yang telah menolong mereka dari rasa malu. Walaupun jujur dalam hati, akan sangat bersyukur kalau memiliki menantu seperti Sabda. Siapa orang tua yang tidak menyukai punya menantu beradab dan sopan seperti pria muda itu. Sabda memandang Senja. Yang di pandang juga menatapnya sejenak. Pertunangan dan pernikahan tadi bagai mimpi. Wanita yang duduk di dekatnya itu telah menjadi istrinya. Bagaimanapun pernikahan tadi, akad nikahnya sah. Lalu apakah sekarang dia harus menceraikan Senja? Sabda menarik napas panjang. Tegakah dia melakukan itu di hadapan wanita yang begitu baik seperti Bu Hanum? "Bu, tentang masalah ini saya akan membicarakan dengan Senja kemudian." Bu Hanum mengangguk. "Ya, Nak Sabda. Terserah kalian saja. Ibu hanya minta maaf dan berterima kasih karena sudi menutupi aib kami." "Jangan merasa bersalah, Bu. Tapi saya nggak bisa lama-lama di sini. Sore ini juga saya harus kembali." "Ya, apapun yang terjadi setelah ini. Kita jangan putus persaudaraan." Sabda tersenyum dan mengiyakan. Mereka bertiga akhirnya berkemas-kemas untuk kembali ke kota. Bu Hanum menyiapkan bekal. Memasukkan kue dan makanan yang di masak tadi ke dalam wadah yang sudah di siapkan. Sedangkan Senja berada di kamar bersama Nina. Gadis itu duduk lunglai di tepi ranjang. "Yeay, udah jadi Nyonya Sabda sekarang," goda Nina sambil menyisir rambutnya di depan meja rias. "Mau bulan madu ke mana ini, Nyonya?" Senja hanya tersenyum getir, membalas godaan temannya. "Nin, apa yang dibicarakan Mas Sabda waktu kalian pergi tadi?" Nina meletakkan sisir di atas meja rias. Kemudian duduk di kursi berhadapan dengan Senja. "Intinya dia nggak mungkin mundur. Kamu sudah dibikin kecewa oleh Arga. Nggak mungkin dia tambah mempermalukan kamu dengan pergi begitu saja. Makanya tadi dia minta aku milihin cincin, baju, sepatu, tas, untuk barang hantaran. Dan parahnya lagi, dia minta pendapat aku bagaimana mencari orang yang bisa di ajak ke acara tadi. Akhirnya aku ajak Mas Sabda pergi ke kerabat aku. Makanya kami lama banget. Yang ngaku Om dan Tantenya tadi adalah adik mamaku." Senja termenung. Dia makin tak enak hati sama Sabda. Di pandangnya jari manis yang tersemat cincin solitair. Itu pun bukan benda murah. "Lihatlah, aku juga dapat bonus kebaya mahal. Untung kan aku." Nina menunjuk kebaya modern warna peach yang di kenakannya. Senyum gadis itu merekah. "Untuk acara menolongmu kali ini, Mas Sabda habis banyak, Ja. Padahal cuman pura-pura. Aku nggak bisa bayangin kalau dia melamar betulan. Pasti beruntung perempuan itu." Senja terdiam sejenak, lantas berdiri. "Kamu ganti baju dulu, biar aku menemuinya. Kita harus segera berangkat sebelum sore, Nin." Senja beranjak meninggalkan sahabatnya di kamar. Gadis itu menghampiri Sabda yang sedang membersihkan dalaman mobilnya di halaman samping. "Mas," panggil Senja. "Ya." Sabda memandang Senja yang diam, menunduk, dan kelihatan bingung. "Kita bicara nanti saja. Tak enak dilihat orang. Bersiaplah, kita segera berangkat." Akhirnya Senja tidak jadi bicara. Gadis itu melangkah kembali masuk rumah. Dia pun segera melepas gamis dan berganti baju. Celana jeans dan kaos putih. Di lapisi sweater warna biru tua. "Senja, Ibu sarankan kamu mulailah berhijab, Nduk. Jangan berpakaian seperti ini terus," tegur Bu Hanum pada putrinya. Saat Senja sibuk menyisir rambutnya. Sedangkan Nina memasukkan beberapa barang bawaan ke dalam mobil. "Ya, Buk. Insyaallah." "Jangan Insyaallah. Harus itu." Senja mengangguk. Hampir jam tiga sore Sabda, Senja, dan Nina pamitan. Bu Hanum memandang kepergian mereka dengan perasaan yang campur aduk. Bagaimana akhir kisah putrinya nanti. Sabda memang pria baik, tapi kalau tidak mencintai Senja, tak mungkin bisa di paksa untuk serius dalam pernikahan mereka. Lima bulan bukan waktu yang lama dan beliau tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. * * * Nina menepuk punggung tangan Senja sebelum turun dari mobil. "Jangan khawatir, rahasia kalian aman bersamaku," kata Nina memandang Senja dan Sabda bergantian. Sabda tersenyum dan Senja mengucapkan terima kasih pada sahabat sekaligus rekan kerjanya itu. "Btw, temanku ini mau diajak bulan madu ke mana, Mas?" goda Nina sambil memandang pada Sabda. Namun cubitan Senja ke punggung tangannya membuat Nina menjerit. Gadis itu tidak tahu bagaimana ekspresi wajah Sabda karena ia buru-buru turun dari mobil. Senja mengangsurkan sebuah paper bag besar berisi makanan yang di bawakan ibunya Senja tadi. "Makasih, ya Nin," ucap Senja sambil melambaikan tangan pada Nina sebelum pintu mobil di tutup dari luar. Mobil hitam bergerak pergi. Senja masih tetap duduk di bangku tengah. Saat itu jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit. Sabda menghentikan mobilnya di sebuah kafe. Mereka hanya memesan dua minuman saja, karena tadi sudah sempat mampir makan malam bareng Nina. Senja membuka tasnya, mengeluarkan amplop putih dan meletakkan benda itu di depan Sabda. "Apa ini?" "Ini berisi uang mahar dan cincin dari Mas Sabda tadi." "Kenapa di kembalikan?" "Aku sudah banyak merepotkan, Mas Sabda. Bukan hanya tenaga, tapi juga uang yang nggak sedikit. Ini bukan hakku, ini milik Mas. Pernikahan tadi karena terpaksa, jadi aku kembalikan semuanya." Sabda diam memandang benda putih di atas meja. Dia sendiri juga bingung harus bagaimana. Pernikahan tadi bukan hal yang remeh. Dia benar-benar mengucapkan lafadz ijab qobul dan di saksikan banyak orang. Apakah karena terpaksa, jadi tadi hanya main-main? Hati kecil Sabda menyangkal. Meski sebenarnya itu juga membingungkan baginya. "Ambil saja, Senja." Di gesernya lagi amplop itu ke depan Senja. "Mas, harga cincin ini tentunya nggak murah." "Tapi jika kamu kembalikan pun, aku nggak bisa memakainya. Ambil saja." "Mas, bisa memberikan pada adik, kakak, atau pada mamanya Mas Sabda. Atau Mas bisa menjualnya lagi." "Aku nggak punya saudara perempuan. Tangan mamaku juga tidak akan muat memakai cincin itu." "Bisa dijual lagi, Mas." "Sudahlah, kamu simpan saja. Buat kenangan-kenangan bahwa kita pernah menikah." Keduanya tertawa lirih. Menertawakan hal yang teramat konyol bagi mereka. "Aku minta maaf, telah menyusahkan Mas Sabda. Mas juga bisa menceraikan aku kapan saja, besok atau lusa. Biarlah Nina yang jadi saksinya. Mas, juga jangan khawatir aku nggak akan menuntut apa-apa. Kita akan menjalani hidup masing-masing setelah ini." Sabda hanya memperhatikan Senja bicara. Walaupun dia tidak menginginkan juga pernikahan kilat macam ini. Tapi ijab qobul tadi bukan hal yang main-main. Apapun itu alasannya. Bagaimanapun juga, dia telah setuju dengan pernikahan tadi. Bukankah dengan begitu dia juga punya tanggung jawab terhadap Senja. Tapi ... entahlah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD