Part 6 Sabda Malam 2

1056 Words
Setelah menghabiskan minum, Sabda mengajak Senja pergi. Dia ingin segera mandi dan istirahat. Badannya terasa pegal-pegal semua. Selama perjalanan mereka saling diam dan tidak membahas hal yang tadi. Di kepala Senja penuh dengan pemikiran bagaimana harus menghadapi keluarga besarnya beberapa bulan ke depan. Padahal mereka menunggu orang tua Sabda datang untuk memastikan rencana pernikahan dan resepsi. Kepala Senja rasanya hendak pecah. Saat itulah dia ingat Arga, orang yang membuat kekacauan ini. Rasa sakit dan kecewa menyentak dalam d**a, membuat netranya kabur oleh kaca-kaca. Senja memandang ke samping, agar Sabda tidak curiga kalau dirinya sedang menangis. Mobil berhenti di depan pintu pagar kosan bercat putih. Dengan cepat gadis itu mengusap air mata dengan punggung tangannya. "Terima kasih ya, Mas," ucap Senja sebelum membuka pintu mobil. "Kenapa kamu menangis?" Akhirnya Sabda tahu juga. "Tidak perlu kamu pikirkan apa yang terjadi hari ini. Tenangkan dirimu dan tak perlu kamu ingat apa yang terjadi di vila kemarin." Senja mengangguk pelan. Kemudian turun dari mobil, membawa barang bawaan dari rumah tadi. Sebenarnya bukan itu saja yang dipikirkan, tentang hubungan mereka yang telah berubah status. "Kenapa?" teriak Sabda saat melihat Senja kesulitan membuka pintu pagar kosan. Pria itu lantas turun dan menghampiri Senja. "Pagarnya sudah di kunci, Mas. Pasti sekarang sudah jam sembilan lebih." Sabda melihat jam tangannya. Benar. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih dua puluh menit. "Terus?" "Aku telepon Ibu Kos dulu." Senja meletakkan barang bawaannya ke tanah. Kemudian mengambil ponsel di dalam tasnya. Namun sudah dua kali menelepon tapi tidak ada jawaban. "Bagaimana?" "Nggak diangkat, Mas," jawab Senja. "Kalau pulang telat memang tak di bukain pintu ya?" "Nggak sih. Tetap di bukain pintu kalau ibu kos tahu. Mungkin beliau sudah tidur. Aku kirim pesan ke teman dulu. Semoga saja dia belum tidur." Senja mengirimkan pesan pada teman satu kosnya. Tiga menit kemudian baru di balas. "Temanku ternyata jadwal kerja malam. Dia nggak ada di kosan. Aku nggak punya nomor milik teman yang lain." Mereka diam beberapa saat. "Ya sudah, kamu ikut aku saja." Sabda memutuskan. "Ke mana?" "Ke apartemen. Besok pagi-pagi aku antar kamu ke kosan." Senja mendongak, menatap pria di depannya. Dia takut untuk ikut. Walaupun yakin kalau Sabda tidak mungkin akan macam-macam padanya. "Bagaimana?" "Sebentar, aku coba telepon lagi." Senja kembali menghubungi nomer ponsel ibu kosnya. Lagi-lagi nihil. Senja berdecak lirih. "Kamu tak mungkin berdiri di sini nunggu sampai pagi." Senja masih bimbang. "Ikut aku atau aku carikan penginapan? Tapi dekat sini kalau tak salah hanya ada losmen. Aku khawatir kamu nggak aman." Benar yang dikatakan Sabda. Apalagi di ujung gang sana sering di buat nongkrong geng motor kalau malam. "Kamu ikut aku. Jangan khawatir kalau aku macam-macam sama kamu. Kalau pun macam-macam, bukankah kamu sudah jadi istriku." Sabda berkata sambil ngeloyor pergi ke arah mobilnya. Senja merinding tapi akhirnya mengekori pria itu. Mungkin lebih aman dia ikut Sabda saja. Jarak apartemen Sabda dan kosan Senja sekitar sebelas kilo. Mereka melewati penjagaan security di pintu gerbang utama. Ini wilayah pemukiman apartemen elite di kota itu. Jadi keluar masuk melalui pengawasan yang ketat. "Masuklah!" perintah Sabda setelah dia membuka pintu dan menyalakan lampu. Senja tampak ragu, segan juga masuk apartemen dengan perabotan yang terlihat serba mewah dan mahal. Lampu kristal indah menggantung di tengah ruang tamu. Senja duduk di sofa berwarna abu-abu gelap. Ruangan yang sangat bersih dan minim perabot. "Mas Sabda, tinggal di sini?" tanya Senja pada Sabda yang mengambilkan dua gelas air dari dispenser ruang dalam. "Kadangkala saja, kalau pas lagi malas pulang ke rumah Mama. Ini apartemen keluargaku, bukan milikku." Sabda meletakkan gelas berisi air putih di depan Senja. Setelah menghabiskan air putih dan duduk beberapa saat, Sabda berdiri dan membuka pintu kamar. "Kamu bisa tidur di kamar ini. Ada kamar mandi juga di dalam." "Iya, nggak apa-apa. Mas Sabda tidur di mana?" Senja mendekat dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tak nampak ada pintu kamar lagi di sana. Tapi tidak mungkin apartemen semewah ini hanya ada satu kamar tidur. "Di sini juga sama kamu." Sabda langsung tersenyum ketika melihat Senja terkejut dengan matanya yang membulat. "Masuklah dan kunci pintu dari dalam. Masih ada dua kamar lagi di sini." Sabda pergi setelah selesai bicara. Senja masuk dan mengunci pintu saat Sabda sudah hilang di balik dinding. Senja duduk di ranjang berseprai kuning gading. Kamar itu cukup luas dengan tempat tidur besar di tengah ruangan. Ada meja rias dan sebuah lukisan pegunungan yang terbingkai besar menempel di salah satu dinding. Dia ingin mandi, tapi tidak bawa baju ganti. Senja kembali berdiri ketika ingat barang bawaannya tadi. Sayang kalau rica-rica ayam kampung masakan ibunya basi. Gadis itu keluar kamar. Di mana kulkas? "Mas, Mas Sabda." Senja memanggil Sabda dengan hati-hati. Dia tidak enak kalau harus menjelajahi ruangan tanpa izin pemiliknya. "Ada apa?" Sabda muncul dari balik dinding. "Saya mau minta izin mau naruh ini di kulkas. Boleh, kan?" "Astaga, Senja. Kukira ada apa. Ya taruh aja. Sini!" Sabda menunjukkan tempat kulkas yang ada di ruang makan. Harum bau sabun beraroma maskulin menguar dari tubuh Sabda yang baru selesai mandi. Pria itu memakai celana pendek dan kaos oblong putih. Ternyata setelah masuk ke dalam, apartemen di tingkat tujuh ini sangat luas. Guci-guci mahal ada di setiap pojok ruangan. Di ruangan yang ada televisi layar besar dan menempel di dinding, Senja bisa melihat foto keluarga Sabda. Bapak, Ibu, dan ketiga putranya. "Kamu belum mandi?" tanya Sabda pada gadis yang masih bengong. Senja buru-buru menaruh satu Tupperware ke dalam kulkas. "Aku nggak bawa baju ganti." "Mau pakai kaosku?" Senja menggeleng. "Nggak usah, Mas." "Kenapa? Takut hamil?" Gadis itu mematung. Kenapa Sabda jadi berubah konyol begitu. Senja tersenyum sekaligus gemetar dalam waktu bersamaan. "Aku tidur dulu, Mas," pamit Senja lantas melangkah cepat kembali ke kamar. Sabda ingin rasanya menertawakan kepanikan gadis itu. "Jangan lupa nyalain AC-nya." Sabda yang merasa sangat capek kembali ke kamarnya untuk Salat Isya dan segera tidur. Di kamar, Senja merebahkan diri menikmati aroma woody yang menjadi pengharum di ruangan itu. Dia tidak bisa tidur meskipun capek. Hidupnya berubah drastis dalam dua hari ini. Luar biasa. Tunangan, tiba-tiba menikah, dan entah esok atau lusa dia akan jadi janda. Bagi Sabda, tentu Senja bukan wanita idamannya. Mungkin sebenarnya pria itu juga punya gebetan, atau justru sedang merancang pernikahan. Senja meraih ponselnya. Ada puluhan panggilan tak terjawab dari Arga. Di aplikasi hijau ada juga beberapa pesan. [Senja, kita bisa bertemu besok. Please!] Bunyi pesan dari Arga. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD