Bela. Gadis cantik yang telah mematahkan hatinya setahun yang lalu tanpa alasan yang jelas. Sayatannya masih terasakan hingga sekarang. Kalau ikutkan hati, dia tidak ingin turun menemui. Tapi seperti biasanya, Bela pasti datang bersama kedua orang tuanya yang memang rekan bisnis papanya Sabda. Tidak hanya sekedar rekan bisnis, mereka telah berteman baik sejak lama. Melebihi kedekatan dengan saudara sendiri. Sering juga keluarga mereka menghabiskan liburan bersama-sama.
Dikarenakan hubungan itulah yang membuat Sabda dan Bela makin dekat hingga menjalin asmara selama hampir dua tahun.
Dia wanita pertama yang di seriusin Sabda. Bahkan sudah ada impian sebuah pernikahan bersama Bela. Sayangnya, gadis itu memutuskan sepihak karena ingin berkarir di luar negeri. Dan sekarang kembali. Kembali sementara atau selamanya. Entah. Harusnya tak perlu lagi dia mencari tahu hal itu.
Baru saja hendak berdiri, ponsel Sabda berdenting. Di pikirnya balasan pesan dari Senja. Ternyata pesan masuk dari Arga. Sepupunya bilang sedang perjalanan ke rumahnya.
Sabda turun menuju ruang tamu. Menyalami Om Pras dan istrinya. Senyum Bela merekah, wanita bergaun tanpa lengan warna jingga itu berdiri dan mengulurkan tangan pada Sabda.
"Apa kabar, Mas?" sapa Bela.
"Alhamdulillah, sehat." Sabda tersenyum sambil duduk. Enggan menatap wanita yang telah tega membunuh harapannya.
Bela kembali duduk dan serba salah. Di pikirnya Sabda akan senang bertemu lagi dengannya. Apalagi setahun sudah tak berjumpa, sejak dirinya pergi ke Singapura. Tapi kenyataannya, laki-laki itu bersikap dingin dan begitu formal menyambutnya. Mungkinkah karena masih kecewa?
"Makin cantik dan glowing saja kamu, Bel. Kapan pulang? Biasanya mamamu ngabari Tante, ini enggak." Bu Arini bicara sambil memandang Bela.
"Baru tadi pagi saya pulang, Tante."
"Pulang terus atau cuti saja?"
"Pulang terus. Saya dapat tawaran pekerjaan yang lumayan di sini," jawab gadis itu sambil melirik papanya. Sebab Pak Pras sendiri yang menawarkan jabatan penting pada Bela, agar putrinya mau pulang.
"Syukurlah, biar mamamu nggak kesepian lagi," ujar Bu Arini sambil memandang Bu Pia, mamanya Bela.
"Dia sadar mau pulang sendiri dan bergabung dengan papanya, Jeng. Kayaknya juga ada yang sedang dirindukannya." Bu Pia berkata sambil memandang sekilas pada Sabda. Pria muda di hadapannya tersenyum tipis.
Hubungan mereka sejak awal memang di ketahui keluarga. Otomatis restu sudah di kantongi Sabda dan Bela tanpa susah payah meyakinkan orang tua. Bahkan mereka menyambut gembira hubungan itu, tanpa perlu repot menjodohkan seperti yang para orang tua rencanakan. Kedua keluarga sangat mendukung untuk rencana pernikahan mereka.
Saat mereka memutuskan break, orang tua masih berharap dan getol membujuk agar mereka kembali bersama.
Pak Prabu, papanya Sabda mengalihkan arah pembicaraan. Laki-laki umur enam puluhan itu tahu kalau putranya tidak nyaman dengan gurauan para istri. Walaupun beliau tahu betapa patah hatinya Sabda kala itu, tapi putranya akan berpikir berulang kali untuk menerima Bela kembali.
"Ma, coba lihat Mbok Sum udah selesai belum. Udah jam berapa ini, kita makan malam dulu," kata Pak Prabu.
Bu Airin segera bergegas ke belakang untuk melihat Mbok Sum menyiapkan makanan. Bu Airin membantu wanita yang masih suka berkebaya dan memakai jarik itu mengambilkan piring di rak. Sebenarnya tadi makanan dah siap di meja, berhubung ada tamu dadakan makanya Mbok Sum menyempatkan untuk menggoreng ikan dan ayam.
"Mau sekalian di bikinin kopi nggak buat Bapak sama Pak Pras?" tanya Mbok Sum setelah makanan makanan siap terhidang di meja.
"Nggak usah, Mbok. Nanti malam Bapak nggak bisa tidur malah saya yang susah, disuruh nemenin sampai pagi."
Mbok Sum tertawa kemudian pergi ke belakang. Wanita sepuh itu hendak menyelesaikan setrikaan. Biasanya pekerjaan itu dilakukan oleh pekerja paruh waktu. Karena dia sedang sakit, terpaksa Mbok Sum yang menyelesaikan sendiri.
Bu Airin memanggil suami dan tamunya ke depan. Mereka melanjutkan ngobrol di meja makan. Sabda tidak mengindahkan Bela yang sering mencuri pandang padanya. Namun tetap menjawab saat di tanya.
Makan malam yang biasanya menyenangkan, kini menjadi dua kali lipat menyebalkan bagi Sabda. Untungnya Arga datang, ada kesempatan untuk pergi dari sana. Laki-laki itu membawa sepiring nasinya dan segelas air minum ke teras depan.
"Ga, kamu nggak mau makan dulu." Bu Airin menghampiri dan menawari keponakannya.
"Aku sudah makan, Tan."
"Ya udah, kalau belum makan ambil sendiri di belakang."
Arga mengiyakan dan Bu Airin kembali ke dalam. Pria itu menunggu Sabda menyelesaikan makannya.
"Di dalam itu Bela, ya?"
Sabda mengangguk sambil menghabiskan air putih di gelas.
"Kapan pulang?"
"Tadi pagi katanya."
Arga diam sejenak. Kemudian membenahi duduk dan menghadap ke arah sepupunya. "Aku menemui Senja tadi sore. Dia nggak mau dengerin alasanku. Padahal semua itu bukan mauku. Kamu tahu kan kalau mereka menjodohkanku dengan Citra?"
"Aku nggak tahu. Kamu juga nggak bilang tentang masalah pertunanganmu dengan Citra. Yang kuingat kamu hanya cerita mau tunangan dengan Senja di hari Senin kemarin."
"Kenapa kamu membawa Senja ke vila dan menunjukkan kalau aku sedang bertunangan." Kecewa bercampur emosi terdengar dari suara Arga. "Padahal aku punya rencana tetap melamar Senja setelah urusanku dengan Citra selesai."
"Kapan selesai? Bukankah itu baru di mulai? Terus, apa aku harus membiarkan gadis itu menunggumu di kafe sedangkan kamu sedang bertunangan dengan perempuan lain? Kamu bayangin nggak kalau dia bakalan menunggu seharian di kafe? Mengirimkan pesan pun tak kamu lakuin, 'kan?"
Hening. Mereka sama-sama menatap lurus ke depan. Ke arah pagar dan pintu gerbang yang tinggi dan tertutup rapat. Sabda tidak sengaja bertemu Senja yang duduk sendirian di kafe. Ketika di tanya, katanya sedang menunggu Arga. Padahal Sabda tahu kalau Arga sedang melangsungkan pertunangan dengan Citra. Siapa yang tidak iba saat Senja bilang kalau besok mereka akan bertunangan. Satu-satunya cara agar gadis itu tak menunggu hal yang tak pasti, akhirnya Sabda memaksa Senja agar ikut dengannya ke vila.
Sempat terjadi pemaksaan karena Senja menolak ikut dengannya. Waktu itu Sabda tak peduli dengan beberapa pasang mata pengunjung kafe yang memperhatikan.
"Kamu mengantarnya ke mana waktu itu? Aku cari di kosannya nggak ada. Bahkan hingga keesokan harinya."
"Aku mengantarnya pulang."
"Pulang?" Arga kaget.
"Kamu tahu, kalau semua keluarganya telah berkumpul untuk acara pertunangan kalian. Andai saja kamu lihat bagaimana kebahagiaan mereka karena menyimpan harapan besar saat menunggu kedatangan pria yang akan melamar putrinya. Mereka telah membuat persiapan untuk menyambutmu."
Arga terdiam. Rasanya susah bernapas kala sesak menghimpit d**a. Dia bisa merasakan sakit yang dialami Senja. Arga ingat penolakan keluarga saat dia menyampaikan niat hendak menikahi Senja. Mama dan kakaknya mencak-mencak tidak setuju. Hingga mereka merencanakan pertunangan dengan Citra di hari yang mana dia telah berjanji pada Senja.