Part 8 Sesal 2

1140 Words
Senja menyelesaikan proposal sebelum jam istirahat makan siang. Mbak Yuni, atasannya langsung mengecek proposal itu dan membawanya pada big bos. Saat sedang makan siang di sebuah kafe sebelah kantor, Senja menceritakan pesan dari Arga pada Nina. "Kamu mau diajak ketemuan sama Arga?" tanya Nina sambil menyuap es cendol. "Nggak. Bagiku semua telah selesai." Senja menunjukkan obrolannya dengan Arga di aplikasi pesan. Nina serius membacanya. "Mungkin ada alasan kenapa dia harus tunangan dengan gadis itu, Ja. Bisa jadi karena terpaksa." "Terpaksa pun apa aku harus merusak hubungan mereka? Buktinya Arga mau. Ya sudah. Aku anggap semua telah selesai." Nada getir mewarnai kalimat Senja. "Jangan galau, kan ada Mas Sabda yang sudah jadi suami idaman!" Nina berkata sambil mengerling manjah. "Ssttt, jangan sembarangan ngomong. Siapa tahu dia juga lagi kebingungan dengan pernikahan tak biasa ini. Mungkin dia punya pacar, gebetan, atau ...." "Atau apa? Dia tuh masih sendiri," sambar Nina cepat. Senja menatap sahabatnya. "Dari mana kamu tahu?" "Orang kalau punya gebetan nggak mungkin bisa setenang itu ngadepin keluargamu. Apalagi di suruh nikah siri demi menghindari perzinaan pun dia hadapi. Kalau dia punya kekasih, tentu nggak akan melakukan itu. Model pria kayak Mas Sabda nggak mungkin mainin hati wanitanya." Hati Senja tersentuh oleh perasaan yang berbeda. Dalam sekali. Menimbulkan riak sedih, senang, sekaligus merasa beruntung. Beruntung apa? Beruntung jadi istrinya meski dengan pernikahan yang pura-pura? Tapi setidaknya dia dan ibunya terselamatkan dari rasa malu. Kenapa bukan Arga yang berjuang seperti itu untuknya? Kenapa harus Sabda yang tak punya perasaan apapun padanya. Senja mengaduk sisa makanan di piring. "Ja." Senja mengangkat wajah memandang sahabatnya. "Lupakan Arga, bikin Sabda jatuh cinta padamu. Nggak akan susah kok. Pada dasarnya dia sudah rela pura-pura menjadi kekasihmu, berarti dia peduli padamu." "Mas Sabda hanya kasihan, Nin. Apalagi yang mempermainkan aku kan sepupunya sendiri. Udahlah aku nggak mau mikir yang enggak-enggak. Aku nggak ingin manfaatin kebaikannya. Aku mau fokus bekerja, mau nabung banyak-banyak biar entar jadi sultanah." Nina terkikik sampai cendol di mulutnya tersembur keluar. Lantas di tutupnya mulut memakai tisu yang di sambarnya dari atas meja. "Kerja sampai pikun pun kita nggak akan jadi sultanah, Ja. Berapalah gaji pekerja rendahan seperti kita. Kecuali kamu bisa nggaet Mas Sabda. Dia generasi kedua dari pemilik kerajaan bisnis PT Tiger Super Indo yang bisnisnya mengular hingga ke luar negeri." "Eh, tapi kemarin waktu di tanya sama bapak-bapak tetanggamu itu dia bilang hanya seorang akuntan di perusahaan ekspor impor. Apa itu juga bisnis keluarganya?" Senja mengangkat bahunya. "Mungkin." Senja tak banyak tahu tentang Sabda. Yang dia tahu hanya Arga yang bekerja ikut keluarganya. * * * Langit barat merona jingga. Angin musim pancaroba berhembus kencang menerbangkan debu dan dedaunan jalanan. Senja masih duduk menunggu angkot di halte. Sementara Nina sudah pulang lebih dulu. Tempat tinggal keduanya memang berbeda arah. Dada Senja berdenyut nyeri saat sebuah mobil yang sangat di kenalnya berhenti tepat di hadapannya. Seorang pria berkemeja cokelat turun dan menghampirinya. "Senja," panggil pria itu. Senja bergeming, dia tidak ingin peduli lagi. Meski tak mudah menghapus nama itu sekaligus segala kenangan tentangnya. Ternyata rindu dan benci itu seperti dua sisi mata uang yang tak dapat di pisahkan. Arga duduk di bangku besi sebelah Senja. "Semua yang kamu lihat, nggak seperti yang kamu pikirkan. Aku dan Citra hanya korban perjodohan orang tua. Tapi aku dan Citra sepakat kalau akan berpisah setelah ini. Maafkan aku, Senja. Aku belum sempat memberitahumu saat itu." Gadis itu memandang mata mantan kekasihnya. Dia kenal Arga, dan dia juga bisa melihat kalau Arga tidak sedang berbohong. Mata itu menunjukkan luka. "Terus aku harus bagaimana? Aku nggak akan menjadi perusak hubungan kalian. Aku nggak mau dengar apa kesepakatan kalian. Bagiku Mas sudah setuju dengan pertunangan itu. Kalau pada akhirnya di rusak, kenapa nggak sekalian di tolak di awal saja. Sebelum terjalin ikatan. Jadi nggak akan banyak hati terluka. Apa Mas nggak memikirkan bagaimana perasaan gadis itu dan keluarga kalian?" "Percayalah, semua nggak semudah itu, Senja." Tak ada tanggapan lagi dari Senja. Gadis itu segera berdiri saat dilihat ada angkot yang menuju kosannya. Di lambaikannya tangan agar kendaraan itu berhenti. "Maaf, Mas. Aku pulang dulu." "Ku antar." Arga berdiri. "Nggak usah. Makasih." Senja naik angkot yang telah berhenti. Arga hanya sanggup memandang tanpa bisa menghentikan. Dia sadar kalau posisinya salah, tapi tidakkah dalam hati kecil Senja masih ada rasa percaya untuknya? Apakah gadis itu tahu kalau sebenarnya Arga juga tersiksa? Arga juga ingin mendengar cerita dari Senja apa yang terjadi ketika pertunangan mereka gagal. Bagaimana dengan keluarga Senja? Walaupun belum pernah bertemu langsung, tapi Arga sudah sangat sering bicara dengan ibunya Senja melalui telepon. Tiap mereka bertemu dan Senja menghubungi ibunya, di situlah Arga ikut bicara sebagai bentuk perkenalan diri. Dengan gontai, Arga kembali ke mobilnya. Dalam perjalanan, Senja mati-matian menahan diri agar tak menangis di dalam kendaraan umum. Angkot yang penuh dengan penumpang. Dia masih bisa melihat Arga mengekori di belakang. Tiap kali angkot menurunkan penumpang, mobil pria itu juga melambat. Senja tengadah, menghalau embun yang hendak singgah. * * * "Sabda, kenapa susah sekali di hubungi sejak hari Minggu, sih kamu?" tanya wanita cantik yang mengekori Sabda ketika pria itu baru sampai rumah dan menaiki tangga menuju kamarnya. "Aku sibuk, Ma. Aku tidur di apartemen," jawab Sabda berhenti sejenak sambil berbalik memandang sang Mama. "Oh." Bu Airin mengikuti putranya hingga masuk kamar dan duduk di ranjang berseprai biru tua. "Hari Minggu kami semua menunggumu. Tapi kamu malah datang bersama gadis itu lantas menghilang dan baru pulang sekarang. Apa gadis itu yang bernama Senja? Kekasihnya Arga yang dibilang kampungan oleh Tantemu dan Nindy?" Sabda yang sudah melepas kemeja duduk di sofa tunggal berhadapan dengan sang mama. Tangan kirinya melempar baju ke dalam keranjang cucian. "Mama, tak usah ikut menghakimi gadis itu sebagai perempuan murahan. Mama, kan belum kenal siapa Senja. Jadi jangan nilai dia seburuk itu, Ma." "Itu yang di katakan Tantemu sama Nindy." "Oke, dan mamaku sayang tak perlu ikut-ikutan," kata Sabda sambil mendekat dan mencium puncak kepala mamanya, lantas meninggalkan wanita itu untuk masuk kamar mandi. "Mama tunggu kamu di bawah. Kita makan malam sama-sama!" teriak Bu Airin pada putranya. Tak ada sahutan dari dalam karena bunyi shower yang menyala membuat Sabda tak mendengarnya. Benar saja kalau Sabda memang tak mendengar ajakan mamanya. Makanya habis mandi langsung Salat Isya, setelah itu sibuk dengan ponselnya. Dia jadi kepikiran tentang Senja. [Kamu baik-baik saja, 'kan?] Satu pesan di kirim Sabda untuk gadis itu. [Senja.] Tulis Sabda lagi saat tak ada balasan juga. [Kamu tak apa-apa, 'kan?] Tak ada balasan. Terakhir Senja online sebelum Magrib tadi. Sabda masih termenung menunggu, dia khawatir kalau Senja kenapa-napa. Sebab siang tadi beberapa kali Sabda di telepon Arga yang menanyakan mengenai Senja. Karena terlalu sibuk, Sabda tak menanggapi. Sabda menoleh ketika pintu kamar terkuak. Muncul Bumi di sana. "Mas, ditunggu di bawah tuh!" "Bentar," jawab Sabda sambil menoleh sekilas pada sang adik. "Ada Mbak Bela," kata Bumi lagi lantas menutup pintu. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD