Bab 01

733 Words
Sarah Adison gadis yang memasuki umur 25 tahun itu memandangi layar ponselnya dengan napas tersengal. Puluhan notifikasi masuk, nyaris semuanya dari nomor tak dikenal—penagih utang yang kini seperti hantu, mengejarnya siang dan malam. Suara notifikasi itu seperti palu godam yang memukul kepalanya, menyisakan sakit yang bukan hanya fisik, tapi juga menghujam sampai ke dasar harga dirinya. "200 juta dari pinjol, 300 juta dari teman-teman..." gumamnya getir. Angka itu seperti jerat yang menyesakkan dadanya. Dia duduk di lantai kamar kosnya yang sempit, dindingnya mulai berjamur, dan kipas angin tua di sudut ruangan berderit lirih seperti ikut meratapi nasibnya. Dia mengutuk dirinya sendiri. Tapi sebagian besar sumpah serapah itu ia tujukan pada satu nama: Fiona. “Kalau saja Fiona nggak segoblok itu…” Sarah mencengkram rambutnya sendiri. “Punya suami kaya raya, tinggal nerusin hidup aja. Tapi malah selingkuh sama cowok b******k!” Fiona, kakaknya yang lima tahun lebih tua, selalu tampil anggun dan penuh percaya diri. Menikah dengan pria keturunan konglomerat, punya rumah di kawasan elit Jakarta Selatan, mobil mewah, bahkan pembantu pribadi. Tapi semuanya runtuh hanya karena kegilaan Fiona terhadap laki-laki muda yang katanya “lebih memperhatikan.” Sialan. Setelah cerai, Fiona bukannya belajar dari kesalahan. Malah sekarang jadi simpanan pejabat daerah yang punya istri tiga. Sarah merasa harga dirinya dihancurkan bukan hanya oleh utang, tapi oleh kenyataan bahwa satu-satunya orang yang bisa ia harapkan, malah sibuk menggadaikan tubuhnya demi kemewahan palsu. Dan dia? Sarah? Terjebak di antara kenyataan pahit dan kenangan masa lalu yang terlalu manis. Dulu, ia hidup bak putri. Ayahnya adalah pengusaha properti yang memiliki belasan apartemen dan vila. Ibunya sosialita yang rajin muncul di pesta amal. Tapi itu dulu—sebelum kecelakaan mobil enam tahun lalu yang merenggut nyawa keduanya dalam sekejap. Sejak itu, hidupnya berubah total. Harta warisan memang ada, tapi sebagian besar dipegang oleh Fiona sebagai anak tertua. Dan tentu saja, uang itu ludes dalam waktu tiga tahun karena gaya hidup gila mereka berdua. Sarah masih remaja waktu itu, dan Fiona sedang mabuk harta. --- Sarah menghempaskan tubuhnya ke kasur tipis tanpa ranjang. Sore itu, suara azan berkumandang di kejauhan, tapi yang terasa dalam hatinya hanyalah kebingungan dan ketakutan. “Gimana gue bayar semuanya?” desisnya. Ia membuka aplikasi rekening. Saldo tinggal Rp 117.000. Bahkan untuk makan dua hari ke depan pun ia harus berpikir keras. Sial. Dulu ia bisa menghamburkan dua juta hanya untuk beli lipstik merek luar negeri. Sekarang? Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Dina muncul di layar. Sarah menelan ludah. Dina adalah salah satu teman dekatnya sejak SMA yang kini menagih utang Rp 50 juta yang dipinjam Sarah tiga bulan lalu. Dengan enggan, ia angkat. “Sarah. Gue udah sabar ya, tapi ini udah kelewat batas,” suara Dina tajam. “Lo janji dua minggu lalu. Sekarang gue bener-bener butuh uang itu.” “Gue ngerti, Din… Gue lagi cari cara…” “Cari cara? Dari kapan? Dari tiga bulan lalu juga lo bilang gitu!” Suara Dina semakin meninggi. “Gue juga punya hidup, Sarah! Ini bukan cuma soal duit. Ini soal kepercayaan. Kalau lo udah nggak bisa bayar, bilang aja!” Tut... tut... Dina menutup telepon. Sarah terdiam. Tangannya gemetar. Ia tahu. Ini bukan hanya soal uang. Ini tentang semua wajah yang kini tak bisa lagi ia tatap. Semua pintu yang mulai tertutup satu per satu. Ia tak lagi punya tempat kembali. --- Malam itu, Sarah duduk di kafe 24 jam, menyesap kopi hitam yang terlalu pahit. Ia membuka laptop bekasnya. Pikirannya kalut. Ia mencari pekerjaan apa saja. Dari admin, freelance, penulis konten, penjaga toko. Tapi semua lowongan itu menawarkan gaji yang tak mungkin menutup utang setengah miliar. "Gue butuh 500 juta..." katanya pelan. Tiba-tiba, notifikasi masuk. Pesan dari akun media sosialnya. Dari nama yang tak asing: Rafael Kusuma. Sarah menegang. Rafael adalah teman lama semasa kuliah. Dulu dia menyukai Sarah, tapi Sarah mengabaikannya karena Rafael bukan tipe cowok tajir yang ia incar. Tapi sekarang? "Hai, Sarah. Lama nggak ketemu. Lo masih di Jakarta?" Sarah menggigit bibir. Dengan cepat ia membalas. "Hai, Raf. Masih. Kamu gimana?" Percakapan itu berlangsung satu jam. Dan Rafael, kini ternyata sudah menjadi manajer di perusahaan startup teknologi yang sedang berkembang pesat. Ia mengundang Sarah untuk ketemuan. Sarah menatap layar. Dalam benaknya, ini mungkin kesempatan. Ia butuh bantuan. Entah uang. Entah kerjaan. Atau bahkan sesuatu yang lebih... transaksional. "Besok gue ketemu dia," gumamnya lirih. Tapi di dalam hatinya, Sarah tahu... ia sedang menggali jurang yang lebih dalam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD