Terluka Banyak

884 Words
“Mereka menikah dua tahun lalu dan sekarang anaknya udah berusia dua tahun … tapi yang aku bingung, kenapa setelah setahun mas Bian meninggal—dia baru datang menemui aku? Dan … apa tujuannya dia menemui aku? Apa dia enggak puas udah merebut hati mas Bian lalu memiliki anak dari mas Bian? Kenapa dia harus datang sekarang?” Suara Aruna tercekat. Hening membentang selama beberapa sekon. “Dan ternyata dia menginginkan warisan mas Bian.” Aruna menjawab pertanyaannya sendiri. Danu mendongak, kembali menatap Aruna. “Dia enggak bisa menuntut itu dari kamu, pernikahan Bian dan Rika hanya pernikahan siri dan tidak tercatat, Rika dan anaknya enggak bisa mendapat warisan.” Danu jadi emosi, alisnya menukik tajam. Terlihat sekali bila pria itu sangat kesal. “Mas Danu tau ‘kan mama Tina? Dia enggak suka banget sama aku, karena aku belum bisa kasih keturunan buat dia … dan sebelum Rika mendatangi aku, dia datang lebih dulu ke mama Tina … mama Tina maksa aku untuk kasih rumah yang aku tempatin sekarang sama Rika dan anak mas Bian,” tutur Aruna menceritakan keresahannya. “Jangan Aruna, kamu harus pertahankan rumah itu … itu milik kamu, itu hak kamu … kamu lebih berhak.” Dan Danu mencoba meyakinkan. “Tapi aku enggak punya anak dari mas Bian, perempuan itu yang punya.” Satu tetes air mata Aruna lolos usai Aruna berkata demikian. Danu mengembuskan napas panjang, percuma ia menjelaskan tentang aturan bila hati dan pikiran Aruna sudah di-block oleh kekurangannya yang belum bisa memberi keturunan untuk Bian. Danu memberikan dua lembar tissue untuk Aruna. “Aku minta maaf Aruna ….” “Aku ngerti kok, mungkin karena mas Bian teman mas Danu … jadi mas Danu enggak bisa cerita tentang perselingkuhan mas Bian ke aku … iya, kan? Mas Danu minta maaf karena itu, kan?” Danu menatap Aruna lama, membiarkan rasa bersalah menderanya setiap melihat wajah cantik nan malang itu. Karena bukan hanya mengetahui tentang perselingkuhan Bian dengan Rika saja, Danu juga menjadi orang yang selalu membantu Bian membohongi Aruna untuk urusan alibi. Sering kali Bian mengatakan kepada Aruna kalau pria itu sedang bersama Danu padahal sedang bersama Rika. Pernah suatu hari Aruna bertanya tentang kabar Bian yang katanya sedang training di luar kota bersama Danu dan sulit dihubungi, padahal Bian mengambil cuti seminggu untuk bersama Rika yang ketika itu tinggal di Jakarta. Danu harus berdusta kalau Bian baik-baik saja dan memang sedang bersamanya. “Iya … aku minta maaf, aku terlalu pengecut untuk menceritakan perselingkuhan Bian sama kamu.” Danu tidak ingin perasaan bersalah menyiksanya terus menerus jadi lebih baik ia mengakui dan meminta maaf. Bian tidak mungkin bangkit dari kubur kalau Danu mengkhianatinya, kan? Suasana kembali hening, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing sampai pelayan datang mengantarkan makanan pesanan mereka. Entah kenapa Danu jadi canggung, mungkin karena Aruna lebih banyak diam setelah membicarakan Bian. Aruna sedang menata hatinya karena lagi-lagi ia mendapati dirinya begitu menyedihkan. Selain Danu, siapa lagi yang mengetahui tentang pernikahan kedua suaminya? Aruna memikirkan tanggapan orang-orang yang mengetahui pernikahan kedua Bian, pasti mereka memandang Aruna penuh iba. “Mas … mereka itu ‘kan enggak mungkin langsung nikah ya, pasti ada pertemuan dan pacaran dulu sebelum nikah … yang aku bingung, kenapa mas Bian nikahin aku kalau memang dia udah mengenal Rika?” Satu kalimat pancingan lagi dan Danu dengan mudah terpedaya. “Enggak begitu Aruna, Bian menikahi Rika setelah Rika mengandung … jadi sebetulnya bukan dua tahun yang lalu mereka nikah … saat itu Rika mengancam akan datang ke kantor dan membeberkan kehamilannya agar Bian dipecat kalau enggak bertanggung jawab … lalu akhirnya Bian menikahi Rika, jadi sebenarnya Rika hanya alat pemuas nafsu aja … Bian enggak benar-benar mencintai Rika.” Danu meluruskan karena apa yang diketahui Aruna dari Rika tidak lah benar. “Kenapa harus mencari pelampiasan di luar? Aku kurang apa?” Suara Aruna mengecil di akhir kalimat. Aruna semakin tidak percaya diri. Di dalam benak Aruna sekarang tertanam kalau ia adalah wanita jelek, tidak bisa memuaskan suaminya di ranjang juga tidak bisa memberikan anak. “Enggak ada, Aruna … Bian selalu memuji kamu, menurut Bian kamu itu sempurna tapi buat Bian—kamu aja enggak cukup, dia selalu ingin memiliki dua.” Tidak, Aruna tidak percaya semudah itu karena bila Bian merasa apa yang diberikannya tidak cukup—kenapa justru Aruna sendiri merasa kekurangan? Bian jarang menyentuhnya, hanya awal-awal pernikahan saja mereka melakukan seks yang luar biasa tapi setelah setahun—mungkin ketika Bian baru bertemu Rika—Aruna tidak merasakan gairah Bian sebesar dulu kepadanya. “Kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa hubungin aku … aku harap kamu bisa mempertahankan rumah itu,” imbuh Danu tanpa komentar apapun lagi dari Aruna. Keduanya makan malam dalam hening, benak Aruna sibuk berpikir mengenai rumah peninggalan suaminya. Aruna sempat berpikir untuk memberikan rumah itu kepada Rika tapi ternyata perempuan itu telah membohonginya dengan mengatakan sudah dua tahun menikah dengan Bian. Padahal Aruna sempat percaya sewaktu Rika mengatakan kalau dia tidak mengetahui tentang Bian yang sudah menikah dan ikut prihatin ketika Rika mengklaim bahwa dirinya adalah korban dari keberengsekan Bian. Sekarang Aruna tidak akan mempercayai semua yang dikatakan Rika lagi. Dan sepertinya ia akan mempertahankan rumah itu, mempertahankan haknya. Itu yang saat ini Aruna yakinkan pada hatinya karena semakin mendengar banyak tentang kecurangan Bian dan Rika maka semakin dirinya banyak terluka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD