“Aruna …,” panggil Adrian lagi. “Ya Mas?” Aruna menghentikan langkah di teras, ia memutar tubuhnya sehingga menghadap Adrian sempurna. “Aku anter, aku yang jemput kamu ke rumah jadi aku yang harus anter kamu juga sampai rumah.” Adrian bersikeras. “Apa Mas enggak capek? Jalanan pasti macet … besok ‘kan Mas harus kerja.” Aruna menganggap Adrian itu Bian, karena semasa hidup—Bian malas diajak keluar hari minggu dengan alasan kalau jalanan akan macet oleh arus balik para wisatawan. Sekalipun Aruna berhasil memaksa Bian keluar rumah, pria itu akan uring-uringan ketika tiba di rumah. Aruna tidak ingin merepotkan Adrian. “Kamu perhatian banget sih.” Adrian menyeringai membuat Aruna mengerjap gugup. Aruna menatap Adrian lama usai mendengar kalimat terakhir pria itu yang terdengar sedang