Killian senang sekali karena hubungan Lika dan Steve ternyata belum terlalu jauh. Hal itu membuat rencana Laki-laki itu, yang ingin mendapatkan Lika kembali, menjadi lebih mudah.
Killian tersenyum puas sambil masuk ke dalan Kamar Mandi. Di dalam kepalanya sudah ada banyak rencana untuk menggagalkan kedekatan pasangan yang paling terkenal di kampus itu.
Sementara Lika sendiri merasa heran, karena dia rasanya seperti di hipnotis untuk semakin penasaran dengan Dosen barunya yang gemar menyiksanya. Seperti sekarang saja, teh yang Killian sajikan untuknya adalah jenis teh kesukaanya. Teh yang hanya di jual di London dan tidak sembarangan orang bisa membelinya. Itu adalah Varian Lady Rosemary dari serie Majesty Tea yang di jual dan di produksi oleh keluarga Windsor. Lika bisa menikmati teh itu karena kakeknya seorang Baldwin. Tapi bagaimana Killian bisa memiliki teh ini dan menyajikannya untuk Lika seolah dia tahu teh itu adalah kesukaanya? Pertanyaan ini berputar di kepala mungil Lika dan menbuatnya memiliki banyak sekali spekulasi yang terasa memusingkan.
Wajah Lika yang terlihat sedang berpikir keras sambil menatap cangkir teh yang isinya sudah dia minum setengah itu, terlihat sangat menggemaskan dari layar monitor yang sekarang sedang di lihat Killian. Laki-laki itu memakai bajunya sambil senyum-senyum sendiri, karena menatap wajah orang yang dia cintai tanpa melakukan apapun saja, sudah tanpak menarik di matanya.
"Pak, sekarang mengaku saja. Anda mematai saya kan?" Pertanyaan yang diajukan oleh Lika, begitu Killian duduk di Sofa yang sama dengan Lika sambil membawa kopinya, membuat laki-laki itu terkekeh.
"Mematai apa sih? Kepercayaan dirimu kadang menakutkan Lika." Balas Killian sambil nyengir kuda. Aroma kopi yang sangat lezat menyeruak ke hidung Lika yang sebelumnya di penuhi aroma teh itu.
"Hanya keluargaku yang mengetahui tentang teh ini. Ini adalah teh kesukaanku yang tidak di jual di sembarang tempat. Meskipun di jual, tidak semua orang bisa membelinya karena teh ini di jual khusus oleh keluarga Windsor hanya untuk para Bangsawan. Bukannya sombong, saya ini keturunan Bangsawan asal bapak tahu. Kakekku memiliki hubungan yang lumayan dekat dengan Windsor, karena itu beliau bisa dengan mudah membeli teh ini. Tapi bagaimana bapak bisa memiliki teh ini? Bapak pasti mencari tahu tentang saya dan sengaja membeli teh ini di pasar gelap demi mendapatkan simpati saya kan? sekarang bapak tidak bisa lagi mengelak. Bapak mengincar saya kan? atau jangan-jangan yang bapak incar teman saya dan saya akan dijadikan sebagai tumbal?" tuduhan Lika membuat Killian tertawa geli sampai hampir tersedak kopinya. Laki-laki itu kemudian meletakkan gelas kopinya dan melangkah menuju dapur tempatnya membuat teh untuk Lika tadi dan membuka tutup lemari persediaanya.
"Lihat lika! selain teh itu, kopi saya juga di produksi oleh Windsor secara ekslusif. Di budayakan di Indonesia dan di proses dengan cara tradisional sehingga cita rasanya masih utuh. Bukan hanya teh dan kopi, tapi beberapa Snack yang ada di sini adalah produksi Windsor juga. Btw bukannya sombong yah, beberapa Snack disini hanya di produksi untuk Princess dan Prince Crownwell loh. Yang mungkin keluarga Bangsawan kamu saja tidak bisa membelinya. Sekarang mengerti apa artinya Lika?" balasan Killian membuat dahi Lika berkerut. Kemudian gadis itu menggeleng dengan bodoh. "Itu artinya, hotel ini adalah milik keluarga Windsor. Dan karena saya adalah pemilik unit Penthouse paling mahal di sini, pihak hotel menberikan saya hadiah produk ekslusif keluarga Windsor sekaligus untuk bahan promosi. Yang juga berarti, saya adalah custumer yang dianggap memenuhi syarat untuk di promosikan produk ekslusif mereka meskipun saya bukan Bangsawan." Penjelasan Killian membuat bibir Lika mengerucut dan wajahnya terlihat memerah.
"Iya,,,bapak memang orang kaya. Tidak perlu sesombong itu." Cicitnya sambil memasang wajah jengkel. Killian tertawa geli melihat gadis kesayangannya itu terlihat kesal sekaligus malu. "Baru segitu saja sudah besar kepala!" Gerutunya lagi. Killian mengulum senyum sambil mengambilkan beberapa bungkus teh varian terbaru dan Snack yang tidak di jual di pasaran kemudian menyodorkannya pada Lika. "Apa?" tanya gadis itu galak.
"Katanya kamu suka kan? Karena saya tidak kikir dan pelit seperti yang kamu bilang tadi makanya saya membagikannya padamu." ucapan Killian membuat wajah Lika semakin kesal, tapi akhirnya di terima juga karena mulut Killian semakin menyebalkan ketika Lika berusaha menolaknya.
"Harga Penthouse seperti ini, berapa pak?"
"Yang jelas Mahasiswa pemalas kaya kamu, gak bisa beli." Jawaban Killian kembali membuat Lika jengkel. Tapi entah kenapa segala hal tentang Dosen tampannya itu selalu membuat Lika penasaran.
"Bapak sebenarnya lebih tampan kalau memakai baju casual seperti itu. Kenapa kalau mengajar, bapak memakai kemeja yang modelnya ketinggalan jaman sehingga membuat bapak terlihat tua sih?" Mulut Lika di depan Killian memang tidak disaring sedikitpun. Lika sendiri merasa heran pada dirinya sendiri karena meskipun dipenuhi kecurigaan, herannya dia justru merasa nyaman berbicara apapun di depan Killian.
"Karena katanya kalau saya terlalu tampan atau terlalu cerdas. Pokoknya sesuatu yang berlebihan, maka saya akan jadi target pembunuhan." Kali ini Killian menjawab dengan jujur, tapi wajah Lika malah terlihat mencibir.
"Padahal kan bapak sendiri pelakunya."
"Mana buktinya? Menuduh tanpa bukti bisa membuat kamu dipidanakan loh Lika."
"Entah kenapa saya memiliki firasat, bapak tidak akan berani membawa saya ke ranah hukum." balas Lika penuh percaya diri. "Dan selain itu saya ada pertanyaan lagi pak!"
"Katakan!"
"Sejak kapan bapak kenal sama ayah saya? Saya baru kepikiran tadi. Bodoh sekali saya mau ikut bapak padahal bisa saja bapak asal bicara soal ayah saya kan?" melihat Lika baru menyadari fakta ini, membuat Killian tertawa gemas.
"Katanya kamu sudah chat ayah kamu kalau kamu diantar sama saya? Apa jawaban ayah kamu?"
"Sebenarnya saya bohong soal itu sih pak. Karena saya ingat, ayah saya bahkan tidak tahu bapak. Sekarang bapak lagi membohongi saya lagi kan? Bapak kan licik!" balas Lika penuh selidik.
"Kalau saya beneran pembunuh, kamu mungkin sudah jadi mayat sekarang Lika. Kenapa pertahanan diri kamu selemah ini sih sekarang?" ucap Killian sambil tersenyum santai. "Aku jadi terus khawatir kalau nggak ngawasin kamu" Killian menambahkan di dalam hati.
"Saya tidak punya pilihan selain ikut bapak, karena bertengkar dengan Steve akan lebih melelahkan." Balas Lika sambil menuang lagi teh dari dalam teko. "Selain itu, saya yakin bapak tidak akan membunuh saya sekarang."
"Kenapa kamu berpikir begitu?" Tanya Lian penuh rasa penasaran.
"Melihat dari banyaknya luka tusuk yang ada su tubuh senior dan moment kematian sebelum dia ikut Olimpiade, kemungkinan pembunuhnya adalah seorang Psikopat. Tipe orang yang menghilangkan nyawa demi untuk kesenangan pribadinya. Bukankah tidak akan menyenangkan jika membunuh saya sekarang pak? Karena tidak ada momen yang akan di sayangkan oleh orang yang menemukan mayat saya mengingat saya tidak dalam kondisi sedang mengejar sesuatu." Jawaban Lika membuat Killian tersenyum geli. Laki-laki itu kemudian menghabiskan kopinya dan mengambil kunci Mobilnya tanpa memberikan tanggapan. Lika terlihat sumringah hanya dengan mrlihat kunci mobil yang sekarang sedang di pegang oleh Killian.
"Ke kantor saya sebentar yah Lika. Setelah itu baru saya antar pulang." ucapan Killian membuat Lika mendesah kecewa.
"Bapak sengaja kan? Sengaja mau buat saya deg degan lebih lama kan?" Gerutuan gadis itu sambil masuk ke dalam Lift, membuat Killian terkekeh.
"Loh katanya kamu pengen punya calon suami CEO kan? Kalau kamu ke kantor saya, kamu bisa lihat ruangan calon suami idaman kamu itu." Ucap Killian jahil.
"Kok bapak Tahu kalau kriteria calon suami saya adalah seorang CEO sih? Jangan-jangan bapak memang..."
"Semua orang di kampus juga tahu karena laki-laki idaman kamu kan si berandal Steve si calon CEO Pattiserie. Iya kan?"
"Bapak sok tahu!"
"Loh emang tahu. Seluruh kampus juga tahu. Tapi cuma saya yang tahu kalau sampai detik ini, Tuan Putri ternyata belum juga di tembak sama si Calon CEO itu. Sungguh malang nasib Tuan Putri Kita ini."
"Ihhhh bapak nguping yah tadi?" protes Lika tidak terima sambil melotot ke arah Killian. Laki-laki itu tertawa puas melihat wajah sebal Lika, karena Dosen menyebalkan itu sampai mengetahui rahasia memalukannya.
"Nggak ussh dibahas lagi pak. Semua laki-laki sama saja. Sama-sama b******k! Bapak juga sama!" Balas Lika kemudian menyenderkan diri di pojokan Lift, menjauhi Killian yang masih tersenyum geli.
"Saya nggak b******k loh Lika. Kalau kamu nggak percaya, tanyakan saja sama ayah kamu nanti." Balas Killian sombong. Wajah Lika terlihat semakin malas dan hal itu justru semakin menghibur Killian. Entah kenapa kehidupan kali ini tidak terlalu buruk. Meskipun Lika tidak mengingatnya, tapi Killian bisa menikmati lebih banyak ekspresi dari Lika, yang dulu tidak pernah di lihatnya. Setiap hari juga jadi mendebarkan, karena momen kebersamaan dengan Lika tidak tertebak dan justru terasa seperti kejutan menyenangkan yang di berikan oleh takdir.
"Btw bapak belum jawab pertanyaan saya loh. Sejak kapan bapak kenal ayah saya? setahu saya, beliau tidak memiliki banyak teman." Lika mengulangi pertanyaan yang sebelumny tidak di jawab Killian.
"Kami teman lama."
"Berarti bapam sudah tua yah? ayah saya kan sudah tua." balasan Lika membuat Killian kembali tertawa.
"Aku bilangin sama ayah kamu loh. Gadis nakalnya bilang dia tua." Ledek Killian geli.
"Nyatanya memang sudah tua kok, sudah beruban." Balas Lika tidak mau kalah. "Tapi bapak kelihatan masih muda sih, bapak oprasi plastik yah?" Tuduhan-tuduhan Lika benar-benar di luar nalar dan sejak tadi, terus membuat Killian tertawa.
***