Eps. 5 Flash Back Kejadian

1131 Words
Tristan tak tahu apa maksud Vita melakukan itu, yang jelas dia tak suka ada wanita yang menyentuhnya. “Vita, aku mau pulang. Minggir.” ucapnya dingin, bahkan ia pun mendorong tubuh Vita, menjauh darinya. Entah kenapa dia merasa jijik wanita itu menyentuhnya. Apalagi miliknya di bawah sana, tak terima dipegang ataupun disentuh oleh sembarangan wanita. Dadanya seketika bergemuruh. Deru motor sport terdengar semakin nyaring, dan motor sport hitam itu pun melesat dari sana dengan cepat meninggalkan Vita. “Tristan!” teriak Vita memanggil, namun Tristan sama sekali tak menoleh dan terus melaju. Vita sampai meremat kedua tangannya dengan kesal. “Padahal aku sudah dandan semaksimal mungkin hari ini. Tapi sedikitpun kau tak melirikku. Kenapa Tristan? Kenapa?!” teriak Vita, dengan frustasi. Merasa kesal pada pria itu. Dirinya sudah cantik, seksi juga menggoda. Tidak ada kekurangan sama sekali. Tapi kenapa pria itu masih tak meliriknya juga. Vita berjalan kembali dengan hentakan kaki cukup keras, mengundang perhatian beberapa orang yang melihatnya. Beberapa staf pria nampak mulai berlalu lalang. Beberapa dari mereka melempar pandangan ke arah sesuatu yang terlihat indah. Suit-suit! Suara siulan seseorang mengarah pada Vita, yang berjalan melintasi mereka. “Hai nona, maukah berhenti sebentar dan bicara dengan kami menikmati waktu?” panggil seorang pria, tertarik melihat baju Vita yang terbuka dan mempertontonkan sesuatu yang indah baginya. Vita hanya menoleh saja, menatap nerd pada pria tadi. Baginya mereka tak ubahnya seperti lalat yang melihat roti basah dan ingin memakannya. “Mimpi saja kalian bisa bicara denganku.” cicitnya pelan. Vita kemudian mempercepat langkah kakinya, angkat kaki dari sana, sebelum bertambah kesal karena ada pria lain yang menatapnya dengan tak senonoh. Ia tak suka itu. “Huh! Mereka saja sampai ngiler melihatku, Tristan!” umpat Vita, sembari memakai jaket menutupi tubuhnya agar tak ada lagi yang berdecak kagum melihatnya. Keindahan tubuhnya hanya untuk Tristan seorang. Di luar perusahaan, Tristan melaju dengan gagahnya duduk di motorsport hitam miliknya. Dia melaju cepat di tengah padatnya jalan. Dia bisa melewati celah sempit di antara dua kendaraan dengan mudahnya di saat yang lain stuck di tengah kemacetan. Beberapa saat setelahnya, motor hitam itu berhenti dan terparkir di depan sebuah berukuran 5x4m². Rumah berukuran sedang dan nyaman, yang disewanya. “Lelahnya aku.” gumamnya, turun dari motor. Ia melepas helm yang di pakainya, lalu menyisir rambutnya yang sedikit basah oleh keringat dengan jemarinya. Di rumah itu hanya terdapat satu kamar tidur, ruang tamu, dapur dan toilet saja. Menurutnya itu cukup dan layak untuk ia tempati seorang diri. Meskipun sebelumnya ia terbiasa hidup di rumah mewah dengan fasilitas lengkap. “Rasanya gerah.” gumam Tristan merasa tubuhnya lengket penuh keringat. Di Jakarta meskipun masih pagi seperti ini namun rasanya sudah seperti jam dua belas siang. Tapi mungkin juga karena sedang musim panas saat ini, jadi suhu di sana meningkat dua kali lipat dari biasanya. “Apa aku sebaiknya mandi saja?” pikir Tristan. Meskipun tadi di kantor dia sudah mandi. Tristan termasuk pria pecinta kebersihan. Ia tak suka apabila tubuhnya kotor. Berkeringat sedikit saja akan membuatnya berganti baju, atau mandi jika sudah tidak tahan. “Aku mandi sajalah.” cicitnya lagi. Ia berjalan menuju ke kamar mandi. Ia melepas bajunya. Terlihat tubuhnya yang atletis, dengan six-pack yang menambah kesan masculin. Setelah melepas celana dan menyampirkannya pada salah satu kursi yang ada di dekat kamar mandi ia segera masuk kamar mandi. Zrash! Air shower yang mengalir terasa menyegarkan tubuh. Meskipun di bagian bahunya terasa perih. “Ini...” Tristan menoleh ke arah bahunya dan baru menyadari jika di sana ada luka cakaran. Ya, semalam Joanna yang merasa kesakitan sekaligus merasakan nikmat yang tak terkira, mencakar kedua bahunya saat mencengkeramnya erat, karena tak tahan. “Joanna....” lirihnya menyebut nama wanita yang diingatnya itu. “Ini pasti ulahnya.” cicitnya lagi. Tristan jadi teringat malam panasnya semalam bersama wanita itu. Ia bahkan masih ingat dengan jelas tangisan beserta rintihan wanita itu yang kemudian berubah menjadi desahan memabukkan, yang membuatnya semakin liar untuk bereksplorasi dan rakus menggapai kenikmatan berulang kali. “Astaga!” pekiknya lagi, saat melihat ke bawah. Miliknya Tristan yang paling berharga kini berdenyut dan on lagi hanya dengan mengingat peristiwa semalam. Di saat bersamaan di departemen finance. Joanna akhirnya selesai mengerjakan satu laporan keuangan setelah bersusah payah berkonsentrasi. “Fyuh, masih banyak laporan yang harus kukerjakan.” desaunya menarik nafas panjang, sebelum memulai mengerjakan laporan lagi. Joanna kembali mengambil air mineral yang ada di sampingnya dan meneguknya. Tiba-tiba saja ia merasa bagian inti pusatnya berdenyut tanpa sebab, juga terpikirkan pada sosok Tristan. “Kurasa aku mulai gila.” gumamnya lirih. Cepat-cepat ia menepis bayangan Tristan jauh-jauh darinya, karena rasa sesak kembali bersarang di dadanya. Tristan selesai mandi dan sudah tampak segar, serta harum. Ia kemudian duduk di karpet hijau di ruang tengah yang ada di depan kamarnya. Ia merenung kembali sembari memejamkan mata. Bayangan Joanna kembali hadir dalam pikirannya, jeritan dan air mata wanita itu serasa menyayat hatinya. “Bagaimana aku bisa tidak sadar dan melakukan itu?” Di tengah pikirannya yang kusut, ia mencoba untuk tetap tenang dan berpikir jernih, mencoba mengurai benang kusut itu. Tristan teringat kembali semuanya baik-baik saja dan dalam kendalinya semalam, sampai dia meminum jus jeruk yang di berikan Dicky padanya. Setelah meminum itu, dia ingat kepalanya tiba-tiba pusing berat tak karuan. Namun ia tak ingat kejadian apapun setelahnya. “Lalu bagaimana bisa aku ada di kamar itu?” gumamnya berpikir kembali. Lamat-lamat ia mengingat ucapan terakhirnya untuk minta tolong pada Dicky. Tapi Dicky malah mengantarnya ke sebuah kamar. “Ya, Dicky. Semua ini pasti ada hubungannya dengan dia. Apa dia mencampurkan sesuatu ke minuman itu? Apa dia juga yang membawaku ke kamar dan mengumpankan Joanna padaku?” pekiknya, terkejut. Muncul pikiran buruk pada Dicky, anak buah sekaligus orang kepercayaannya di perusahaannya tempat dia bekerja sekarang ini. “Tapi Joanna, dia menangis dan memakiku. Berati dia juga di jebak? Tapi kenapa?” Tristan semakin tidak mengerti saja, kenapa semua itu terjadi. Dan atas dasar apa Joanna masuk ke kamar menemui dirinya. Semua itu terasa blur baginya. “Aku harus tanyakan sendiri secara langsung padanya untuk kejelasannya.” Tristan memutuskan untuk menghubungi Dicky saja, agar semuanya menjadi terang. Diraihnya ponsel putih miliknya segera untuk menghubungi nomor Dicky. Tristan mengepalkan tangannya erat setelah mendengar suara nada telepon tidak aktif dan operator telepon yang bicara di sana. Bugh! Tristan sampai memukul dinding di belakangnya karena kesal. Ia kembali berpikir, tiba-tiba ia teringat pada salah satu teman Dicky, yaitu Sardi yang cukup dekat dengan Dicky. Dan menurutnya dia pasti tahu di mana Dicky sekarang. Cepat-cepat Tristan meraih kembali benda pipih putihnya yang ia letakkan di karpet hijau. Ia langsung saja menghubungi nomor Sardi. Tut-tut-tut! “Sial! Kenapa nomornya juga tidak aktif?!” umpatnya kesal, lagi-lagi teleponnya tidak tersambung. Tristan terlihat merah mukanya. Bahkan tulang rahangnya sampai terlihat menonjol. Matanya yang dingin tampak tajam meremat ponsel putih di tangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD