“Ibu!” teriak Ariel.
Dia terlambat menangkap ibunya yang pingsan hingga jatuh ke lantai. Suara itu Terdengar cukup keras. Maklum saja, bobot Bu Halimah 60 kilo lebih. Jadi suaranya terdengar sampai ke ruang depan, tempat ayahnya Joanna, Pak Yusuf berada.
Suara apa itu? Dan kenapa Ariel sampai berteriak begitu? batin Pak Yusuf.
Ia pun tanpa pikir panjang segera berlari ke ruang tengah menuju ke sumber suara berasal.
“Astaga! Ibu!” Pak Yusuf pun segera mengangkat istrinya dan membaringkannya di sofa panjang.
“Apa yang terjadi pada Ibumu? Kenapa dia sampai pingsan?”
Ariel masih terkejut dengan kejadian barusan hingga membuatnya susah untuk bicara dan dia memilih untuk menunjukkan tangan ke TV, di mana liputan berita masih berlangsung dan menayangkan tentang kejadian kakaknya yang melakukan percobaan bunuh diri.
“Astaga! Joanna! Itu benar Joanna?!” Pak Yusuf pun sampai terkejut melihat liputan berita yang sedang tayang kali ini.
Kepalanya terasa berdenyut hebat tatkala melihat berita yang menyatakan putrinya melakukan percobaan bunuh diri.
Sebelumnya tak ada masalah atau aral melintang lainnya tapi kenapa Joanna bunuh diri seperti itu? Apa sebenarnya yang terjadi? Atau apa yang tidak dia ketahui?
"Ayah, minum dulu.” Ariel mengambilkan ayahnya segelas air mineral.
Pak Yusuf menerima air mineral itu dan menghabiskannya langsung dalam sekali teguk, barulah napasnya teratur kembali.
Mereka berdua kenudian menyaksikan tayangan televisi dengan seksama sampai liputan berita yang menayangkan tentang Joanna itu selesai.
“Ayah, kita ke Rumah Sakit Citra Kusuma sekarang?” tanya Ariel.
“Ya, tunggu ibumu sadar dulu. Aku akan bangunkan ibumu dulu.”
Pak Yusuf kemudian menepuk-nepuk bahu ibu dan menguncangnya pelan.
"Bu, bangun. Kita harus ke Rumah Sakit Citra Kusuma sekarang.”
Tak ada respon.
Ariel kemudian menyerahkan minyak kayu putih yang tadi ambilnya dari nakas. “Ayah, coba pakai ini.”
Pak Yusuf pun tak hanya mengayunkan minyak kayu putih itu di bawah hidung istrinya tapi juga mengoleskan beberapa ke bagian hidung bagian tangan dan di bagian leher.
"Bu, bangun.”
Tak lama setelahnya bu Halimah terbangan mendengar suara suaminya. Begitu matanya terbuka dia langsung duduk dan tampak panik.
"Joanna, Yah. Dia bunuh diri,” ucapnya histeris.
“Ayah sudah tahu, Bu. Sekarang kita Rumah Sakit Citra Kusuma.”
Pak Yusuf mencoba menenangkan istrinya dulu. Sedangkan Ariel tampak tenang karena jadi berita petugas medis sudah menangani kakaknya. Hanya saja dia tak habis pikir kenapa pikiran kakaknya sependek itu?
***
Pak Yusuf dan keluarga kemudian tiba di Rumah Sakit Citra Kusuma. Setelah bertanya pada pusat informasi di sana akhirnya mereka menemukan ruangan di mana Joanna dirawat.
“Ini ruang sakura,” ujar Bu Halimah.
Menurut informasi di tempatnya tadi jawabannya dirawat di ruangan sakura.
Langsung saja ia membuka pintu yang tertutup. Dan bisa ditebak, Bu Halimah berhambur menuju ke Joanna yang masih belum sadarkan diri.
“Joanna! Kenapa kau sampai mau bunuh diri?!” Bu Halimah histeris, memeluk langsung putrinya itu sembari mengguncang tubuhnya keras, takut kalau putri satu-satunya itu benar-benar pergi ke alam baka.
Matanya berembun melihat Joanna yang masih nampak pucat.
Ruangan saat itu terdengar berisik karena suara Bu Halimah yang terus meraung histeris melihat kondisi Joanna, padahal petugas medis di depan tadi sudah menjelaskan jika kondisi Joanna saat ini sudah baik-baik saja dan hanya perlu menunggu dia siuman saja.
"Ibu, tenanglah. Kakak sebentar lagi pasti sadar.” Ariel membujuk dan mencoba menenangkan ibunya.
Padahal sebenarnya ia sedikit sungkan dengan pasien yang ada di samping Joanna. Pasien itu tampak terganggu, karena langsung bangun setelah mendengar teriakan histeris ibunya. Dan sekarang menatap Ariel dengan tatapan menuntut.
"Benar kata Ariel, Bu. Nanti juga akan mengganggu kenyamanan pasien lain yang ada di ruangan ini,” jelas Ayah.
Bu Halimah pun seketika diam dan merendam tangisnya supaya tidak pecah kembali. Dan Kasihan yang ada di sebelah Joanna mengulas senyum tipis pada Ariel, lalu memejamkan mata kembali.
"Ibu, Ayah, Ariel.... Kenapa kalian semua ada di sini?” Joanna membuka mata lima menit kemudian.
“Joanna, akhirnya kamilu sadar juga, Nak. Ibumu khawatir dari tadi,” ucap Ayah.
Joanna masih tampak bingung. Dia melihat kedua tangannya dan mencubitnya.
Auw! Dia merintih merasakan sakit saat kulitnya terhimpit di antara dua jari tangan.
Joanna mengira dirinya sedang bermimpi karena yakin jika dirinya sudah mati. Sebab seingatnya dia kehabisan napas dan sesak dalam sungai. Terlebih Tristan juga meninggalkan dirinya tadi.
“Bagaimana aku bisa berada di sini?”
“Yang terpenting kamu sudah sadar sekarang. Tidak penting bagaimana kamu bisa kemari.” Ibu semakin mendekat lalu memeluk Joanna.
“Ponselku Ibu, ponselku. Apakah ponselku ketemu?” pekik Joanna tiba-tiba.
Dia teringat kembali pada ponsel yang berusaha ditangkapnya saat di jembatan tadi.
“Katakan pada kami, ada masalah apa sebenarnya sampai kau nekat meloncat dari jembatan?” cecar Ibu langsung.
Joanna seketika diam dan mengabaikan pikirannya tentang ponselnya. Pertanyaan dari Ibu baginya lebih mengerikan daripada sekedar kehilangan ponsel.
“Aku tidak ada masalah, Bu. Sungguh.”
“Jika memang tak ada masalah lantas kenapa melompat ke sungai?”
Joanna diam. Tak mungkin dia menceritakan masalahnya di rumah sakit ada telinga lain yang akan mendengarnya.
“Aku hanya duduk di tepi jembatan saja lalu ponselku terjatuh dari saku baju kemudian aku berusaha meraihnya namun ternyata aku malah tercebur.”
Bu Halimah jadi tenang dengan penjelasan dari Joanna ternyata putrinya ternyata tidak bunuh diri karena suatu hal.
“Kakak lebih sayang ponsel daripada nyawa sendiri. Kakak ceroboh sih, kenapa mesti harus duduk di tepi jembatan yang jelas-jelas bahaya? Padahal kan banyak kursi atau tempat lain untuk duduk yang lebih aman?” ceplos Ariel tiba-tiba.
Joanna hanya diam, namun serat matanya menatap adiknya itu tajam juga berisi isyarat agar diam.
***
“Sebaiknya aku segera mengeringkan tubuhku, jika tidak aku akan masuk angin,” gumam Tristan.
Pria itu sudah ada di kontrakannya. Ia keluar dari kamar mandi dengan tubuh masih basah. Handuknya ada di gantungan di luar kamar mandi. Tadi dia buru-buru masuk ke kamar mandi jadi lupa untuk membawa handuk.
Ia kemudian duduk di sofa coklat dan bersandar setelah memakai baju dan mengeringkan tubuhnya.
“Bagaimana kondisi Joanna?” Pikirannya tiba-tiba teringat pada Joanna kembali.
Dia teringat ancaman dari Joanna, juga penolakan saat ia menyelamatkannya yang kemudian ke semua pikirannya itu mengarahkannya pada kejadian satu malam panas bersama Joanna.
"Apa dia benar-benar frustasi karena itu?” Tristan menebak-nebak lagi, karena berulang kali Joanna membahas itu.
Lama dia berpikir dan merenung. Jika dipikir memang dia yang salah telah menodai Joanna. Tapi jika di runut sebenarnya bukan dirinya yang salah, tapi jus jeruk itu.
“Apa yang harus kulakukan pada Joanna?”