4. Pertemuan Kedua

1480 Words
"Aku sudah putus dengan Bagas, Tan," ucap Yurika lirih mengaku pada Tania. Wajah gadis itu sendu. Masih tak menyangka jika Bagaskara yang telah menjadi kekasihnya selama dua tahun ini malah berakhir dengan menduakannya. "Hah! Kok bisa?" tanya Tania terkejut. Yurika membuang napas panjang lalu menceritakan apa yang telah terjadi. Tentang dia yang memergoki Bagas bersama seorang wanita di dalam apartemen pria itu. Tangan Tania terkepal. Tidak terima karena Yurika sudah dipermainkan hatinya oleh Bagas. Padahal selama ini Tania selalu melihat Bagas yang begitu mencintai dan menyayangi Yurika. Meski Bagas sudah lulus kuliah dan bekerja, nyatanya lelaki itu masih menjalin hubungan baik dengan Yurika. Siapa sangka jika rupanya Bagas malah memiliki wanita lain selain Yurika. Tania memeluk sahabatnya yang di akhir sesi ceritanya mulai menangis. Yurika kesal dan marah pada dirinya sendiri karena selama ini begitu bucin pada Bagas sehingga kejelekan Bagas tak nampak sedikit pun di depan matanya. "Yang sabar ya? Mungkin memang Bagas bukanlah lelaki yang tepat untukmu." "Iya, makasih, Tan. Aku begitu bodoh karena selama ini terlalu cinta mati dan percaya sama Bagas. Ya, Tuhan. Aku masih sulit percaya sebenarnya dengan apa yang sudah Bagas lakukan. Aku pikir dia adalah lelaki baik karena selama ini begitu menjagaku. Tapi .... sudahlah, Tan. Aku sudah mencoba ikhlas melepaskannya. Memang benar. Bagas mungkin memang bukan jodohku." "Apa kamu masih mencintainya?" "Apa cinta itu masih berarti jika belum menikah saja Bagas sudah berani berselingkuh. Mana hubungan mereka sudah sejauh itu." "Kamu terselamatkan, Yuri. Untung saja kamu tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat dengan Bagas." "Amit-amit, Tan. Meski pun aku hanya wanita biasa dan dari keluarga sederhana, insyaallah aku akan menjaga diriku dengan baik." "Itu harus, Yuri. Bagaimana pun kita harus menjadi wanita yang punya harga diri." Yuri mengangguk. "Tan, maaf ya. Aku tidak bisa hadir di acara nikahan Tante Ratna." "Iya nggak papa. Aku bisa ngerti kok. Kalau aku di posisi kamu ... tidak jadi gi_la saja sudah alhamdulilah." "Aku benar-benar kacau kemarin. Ngomong-ngomong gimana acara Tante kemarin? Lancar kan?" Tania menganggukkan kepalanya. "Alhamdulillah lancar. Papa tiriku dan keluarganya juga baik semua. Hanya saja ... ada hal yang mengejutkan. Tak hanya mengejutkanku saja tapi aku yakin kamu juga tidak akan percaya dengan ini semua." "Apa?" Tania menghela napas panjang. "Yuri, aku minta maaf, ya?" "Minta maaf karena apa? Kamu ini aneh. Tiba-tiba malah minta maaf segala." "Selama ini kamu tau sendiri kan jika aku sama sekali tidak perduli dengan siapa mamaku akan menikah. Bagiku asal mama bahagia ya silahkan saja jika mau menikah lagi. Ditambah hubungan mama dan papa tiriku yang terbilang singkat. Hanya beberapa kali juga aku dan kamu pernah bertemu dengan Papa Bayu dan siapa saja keluarganya aku sama sekali nggak pernah tau. Baru kemarin aku dikenalkan dengan ayahnya, adik serta anak lelaki papa Bayu. Dan kamu tau ternyata anak papa bayu adalah ..." Tania sempat menjeda sebentar perkataannya sebelum akhirnya kembali bersuara dengan lirih. "Bagaskara." Yurika membulatkan matanya. "Siapa, Tan?" tanyanya memastikan sekali lagi jika pendengarannya tidak lah salah. "Iya. Bagas. Lelaki yang telah mengkhianati kamu itu sekarang jadi kakak tiriku." "Astaga, Tania! Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi. Lalu ... bagaimana tanggapan Bagas saat bertemu kamu?" "Dia biasa saja. Bahkan dia sama sekali tidak membicarakan tentang kamu kemarin membuat aku penasaran. Mau bertanya juga situasi dan kondisinya tidak memungkinkan karena bertemu Bagas pun hanya sebentar. Mana aku telepon kamu .... eh, malah nggak aktif sampai pagi tadi. Sampai-sampai aku nggak sabar buat berangkat ke kampus dan ketemu kamu. Kok bisa gitu loh malah ponsel yang kamu lempar ke danau." Yuri juga sudah mengerti pada Tania tentang ponselnya, hanya saja dia men-skip cerita tentang pertemuannya dengan kakek tua yang jadi teman ngobrolnya kemarin. Lagi-lagi tubuh Yurika merosot lemas. Mengingat akan keberadaan ponselnya yang sudah tidak bisa terselamatkan lagi. "Itu semua juga karena aku kesal sama Bagas, Tan. Nggak nyadar juga kalau malah ponsel yang aku lempar. Ya udahlah. Nasi sudah jadi bubur. Udah kejadian juga. Mana mungkin aku bisa mengambilnya." "Terus sekarang gimana? Kamu nggak ada ponsel?" "Nggak papa sementara nggak pegang ponsel dulu. Nanti lah kalau sudah ada uang aku mau beli yang bekasan saja." Yuri ingat jika Erwin akan membelikan ponsel untuknya tapi gadis itu tak berani berharap banyak. Terlebih lagi dia dan Erwin baru saling kenal. Mustahil jika lelaki tua itu akan mengingat janjinya. "Kalau kamu mau ... pakai duitku dulu buat beli ponsel baru. Kamu bisa kembalikan kapan pun kamu mau. Kebetulan tadi pagi Papa Bayu ada kasih aku uang jajan yang jumlahnya lumayan. Setara uang jatah saku dua bulan dari mama." Tania dan Yurika sama-sama gadis kurang beruntung yang terlahir dalam keluarga sederhana. Jika Tania hanyalah anak dari seorang janda yang bekerja sebagai pemilik toko kue, sementara Yurika malah seorang gadis yatim piatu yang hidup menumpang pada kakak lelakinya yang hanya bekerja sebagai kurir paket. Bahkan Yurika bisa kuliah karena beasiswa dan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, seperti untuk biaya kuliah, bayar kos dan untuk makan, Yurika harus bekerja pada ibunya Tania. Menjadi salah satu pekerja di toko kue kepunyaan ibunya Tania. Sementara kakak lelakinya yang sudah menikah dan mempunyai anak, hanya bisa memberikan uang jajan yang tidak banyak jumlahnya. Di tengah obrolan keduanya, ponsel Tania berdering. Nama sang mama muncul di layarnya. "Sebentar, mama telepon." Yuri mengangguk dan membiarkan Tania menjawab panggilan telepon dari sang mama. Hingga beberapa saat berlalu, wajah Tania berubah menjadi cemas. Yurika ikutan cemas karenanya. Dan setelah Tania mengakhiri panggilannya, Tania menatap sendu pada Yuri. "Tan, ada apa? Wajahmu pucat. Nggak ada sesuatu yang buruk sedang terjadi sama Tante, kan?" "Bukan mama, Yur. Tapi ... Kak Yoga." "Hah! Kak Yoga? Kenapa kakakku, Tan?" tanya Yuri mengguncang bahu Tania. "Tenang, Yur. Mama baru saja kasih kabar. Kak Afina telepon ke toko dan ngabarin mama. Kak Afina nggak bisa hubungin kamu karena teleponmu tidak aktif. Jadi Kak Afina minta tolong ke mama buat kasih tahu ke kamu kalau Kak Yoga kecelakaan." "Apa!" Pekik Yuri terkejut lalu menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. "Tan, gimana kondisi Kak Yoga terus dia dirawat di mana?" "Mama nggak ngasih tau gimananya karena mungkin mama juga kurang paham. Tadi mama kasih tau jika Kak Yoga dirawat di Rumah Sakit Harapan Kita." "Ya Allah, Kak Yoga. Kok bisa kecelakaan gimana?" "Tenang, Yur. Sabar. Aku akan temani kamu ke rumah sakit sekarang. Kita nggak usah ikut kelas terakhir. Langsung ke rumah sakit saja gimana?" Kepala Yurika mengangguk dengan usul Tania. Dan dua gadis itu gegas meninggalkan kampus untuk menuju rumah sakit tempat di mana kakak lelaki Yuri sedang dirawat kini. *** Yurika berlari kecil mendekati Afina, kakak iparnya, ketika kedua netranya menangkap keberadaan wanita itu sedang duduk di depan ruang IGD. Bersama para keluarga pasien yang lainnya. "Kak Fina!" panggil Yurika dengan napas tersengal karena sejak turun dari angkutan umum, berlari masuk hingga ke dalam yang jaraknya lumayan. "Yuri!" Afina beranjak berdiri lalu berpelukan dengan adik iparnya. Tania yang sejak tadi mengikuti Yuri, berdiri menyaksikan keduanya. "Kak, bagaimana kondisi Kak Yoga?" "Masih ditangani dokter. Dan sepertinya harus segera dioperasi." "Apa, Kak? Operasi? Separah itukah kondisi Kak Yoga?" Afina mengangguk dengan berlinang air mata. "Lalu ... bagaimana dengan biayanya jika Kak Yoga harus dioperasi segera?" "Kita tidak perlu memikirkan biayanya karena yang menabrak Mas Yoga mau bertanggungjawab penuh atas pengobatan Mas Yoga hingga sembuh. Bahkan sekarang beliau sedang membereskan administrasinya." Ada kelegaan di hati Yurika ketika mengetahui hal ini. Setidaknya kakaknya bisa segera mendapatkan pertolongan dan pengobatan yang layak. Tiga wanita itu lantas duduk saling berdampingan. Saling diam dengan pemikiran masing-masing. Hingga suara denting ponsel dari dalam tas milik Tania, memaksa gadis itu mengambilnya. Keningnya berkerut dalam. Menatap tidak enak hati pada Yurika. "Yuri, mama nge-chat. Ada sedikit masalah di toko. Jadi mama minta aku datang sebentar." Yuri dengan pengertiannya mengulas senyuman. "Nggak apa-apa, Tan. Kamu tinggal saja. Toko butuh kamu juga selagi Tante nggak ada. Kamu tenang saja. Aku di sini aman sama Kak Fina. Dan maaf mungkin mulai hari ini sampai beberapa hari ke depan aku belum bisa bantu-bantu di toko." "Jangan pikirin masalah itu. Mama pasti ngertiin kok dengan kondisi kamu. Fokus saja dulu sama Kak Yoga." "Makasih ya, Tan." "Ya udah. Kalau gitu aku tinggal dulu. Kak Fina. Maaf nggak bisa nemenin kalian di sini. Insyaallah kalau urusan toko kelar, aku ke sini lagi," pamit Tania pada Fina dan Yuri. Mungkin baru lima menit setelah kepergian Tania, ketika suara seseorang yang memanggil, telah mengejutkan Yuri dan Afina. "Yuri!" Gadis yang merasa namanya disebut mendongakkan kepalanya. "Kakek!" Yuri beranjak berdiri. "Kakek kok ada di sini?" "Justru kakek yang seharusnya bertanya sama kamu, Yuri. Kok kamu di sini? Apa kamu adalah keluarga dari Yoga ... lelaki yang tanpa sengaja tertabrak oleh mobil kakek?" Yuri menganggukkan kepalanya. "Kek, Kak Yoga kakak kandung saya." "Ya, Tuhan, Yuri. Kakek minta maaf. Sopir kakek tidak sengaja menabrak kakak kamu tadi." "Kek, namanya musibah tidak bisa dielakkan." "Padahal rencananya tadi Kakek mau menemui kamu. Tapi malah ada musibah. Siapa angka jika malah saya bertemu kamu di sini. Apa mungkin ini yang dinamakan jodoh, Yuri?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD