Ch.02 Pencurian Desain

1930 Words
Sungguh terkejut Aretha ketika mengetahui siapa yang baru saja dia selamatkan di pekarangan rumahnya tadi. Benar-benar tidak percaya kalau lelaki tertembak adalah Keenan Raymond, calon bosnya yang baru! Takut kehadirannya menjadi masalah, perlahan ia berdiri dari bangku penunggu, kemudian menyelinap di antara hiruk pikuk keluarga Raymond yang sedang panik. Begitu sampai di ujung lorong, segera berlari menuju lift. ‘Gila! Ternyata itu calon bosku yang tertembak! Kenapa bisa dia tertembak? Apa yang terjadi kepadanya!’ engah Aretha berjalan di lobby rumah sakit, menuju pintu keluar dan mencari taksi. Jam di tangan telah menunjukkan pukul 12 malam. Kejadian yang sangat menegangkan. Masih jelas terbayang bagaimana Keenan merintih kesakitan hingga akhirnya jatuh tak sadarkan diri. Memasuki taksi, kembali menuju rumahnya, ia memejamkan mata. ‘Ya, Tuhan … semoga semua ini tidak menjadi masalah terhadap pekerjaanku.’ ‘Orang-orang dengan status sosial sepertinya, mereka cenderung memiliki musuh dan … ah, apa dia juga terlibat dalam dunia hitam? No, jangan sampai aku kembali berhubungan dengan dunia itu!’ Menggeleng lirih, berbagai kenang menyakitkan dari tempat asal yaitu Lake Camp menyeruak. Meski lima tahun sudah berlalu, ada luka yang tak akan pernah bisa sembuh. Aretha tak ingin hidupnya kembali terpuruk akibat terlibat masalah ini. Namun, bagaimana mungkin dia tidak menolong seseorang yang sudah diambang kematian? Mana mungkin diam saja dan membiarkan Keenan mati kehabisan darah di halaman rumahnya. Sampai di depan gerbang rumah, membuka pintu, langkah kaki segera terayun ke kamar Paris. Melihat anak lelakinya tertidur lelap, senyum mengembang tanpa disadari. Duduk di pinggir kasur, jemari lentik membelai kepala berambut hitam legam. “Kamu adalah kekuatan Mommy, Paris. Kamu yang selama ini membuat Mommy bertahan meski seluruh dunia menghujat, menghina, menertawakan. Saat kaki terasa begitu rapuh tak mampu lagi menopang, adalah tubuh mungilmu yang menjadi kekuatan untuk tetap berdiri.” Dan tanpa ia bisa tolak, ada tetes air mata turun di pipi mulusnya. Yah, seperti yang sudah tertulis sebelumnya. Ada luka yang tak akan pernah bisa sembuh sempurna. Ada luka yang begitu dalam hingga ketika kita mengingat, ia akan membuat air mata menitik tanpa bisa dicegah. ‘Ayahmu tidak menginginkan kehadiranmu, Nak. Bahkan, kamu tidak diijinkan memakai nama belakangnya. Setelah semua harta Mommy habis untuk mempertahankan usaha ayahmu itu, kita dibuang … kita disingkirkan begitu saja ….’ ‘Tidak apa, itu sudah menjadi takdir kita berdua. Suatu hari nanti, jika kamu besar, jangan berbuat seperti ayahmu, ya? Jadilah lelaki yang bijak, penyayang terhadap istri serta anakmu.’ ‘Kamu pasti akan jadi orang hebat setelah dewasa nanti. Kamu memiliki kecerdasan dan kegigihan ayahmu. Lalu, kamu juga memiliki kelembutan hati Mommy. Semua itu akan menjadi perpaduan yang sempurna untukmu.’ Ia mengecup kening Paris dengan sangat khidmat. Putranya ini sungguh adalah pelipur lara. Sosok yang membuatnya selalu kuat dan berpikir panjang sebelum berbuat sesuatu. Segala yang ia lakukan hanyalah untuk memastikan lelaki mungil ini tumbuh sehat dan tercukupi semua kebutuhannya. “Selamat tidur, Nak. Dunia tempat yang kejam, tapi kita akan selalu memiliki satu sama lain, dan itu sudah lebih dari cukup.” *** Memasuki ruang rapat, menunggu sekitar 15 menit, lalu munculah wanita yang semalam mengambil foto-foto desainnya. Aretha melihat sekilas pada seniornya yang bernama Jenny Chan. Wanita cantik dan seksi memasuki ruangan dengan gaya penuh percaya diri. “Apa semua sudah mempersiapkan desain masing-masing?” Suara itu segera membuat semua peserta rapat berdiri. Seorang lelaki memasuki ruangan tak lama setelah Jenny duduk. Seluruh mata, termasuk para direktur, tertuju padanya. “Selamat pagi, Tuan Brice Raymond.” Seluruh orang di ruang meeting menunduk hormat kepada CEO yang baru saja datang. “Ya, selamat pagi. Silakan duduk kembali. Rapat harus segera dimulai. Aku sebentar lagi akan ke rumah sakit. Semalam salah satu anggota keluarga Raymond diserang. Saudaraku tertembak dan kini masih dalam kondisi kritis.” Brice Raymond, itu memang namanya. Dia adalah sepupu Keenan, lelaki yang tersungkur penuh darah di halaman Aretha. Ucapannya barusan membuat ibu beranak satu itu merasa jantung berdetak sangat kencang! Keringat dingin mendadak keluar di telapak tangannya. ‘Ya, Tuhan, benar sudah! Lelaki yang kutolong semalam adalah Tuan Keenan Raymond, pewaris sah perusahaan ini! Aku mohon, Tuhan, jangan biarkan bantuanku menjadi masalah di kemudian hari ...!' pekik Aretha dalam hati. Dia yang sudah pernah berhubungan erat dengan para pelaku dunia hitam tahu bahwa jika seseorang ingin mengakhiri hidup orang lain, siapa pun yang menghalangi akan ikut dibabat habis. ‘Semoga siapa pun penyerangnya tidak akan mengincarku di kemudian hari!’ engahnya ketakutan sendiri. Terdengar kembali suara Brice, “Ayo, para desainer senior, keluarkan sketsa kalian! Pasang di papan utama,” perintahnya. Aretha berdiri, berbarengan dengan Jenny serta kelima perancang perhiasan senior lainnya. Dua wanita itu saling pandang, saling melempar senyum palsu. Masing-masing memasang kertas sketsa perhiasan mereka di sebuah papan yang terletak di sebelah kanan tempat duduk Brice, CEO perusahaan berlian paling besar di wilayah Amerika. Begitu melihat karya Jenny, betapa terhentaknya Aretha karena …. ‘Ya, Tuhan! Dia meniru karyaku lagi! Aku sudah mengunci rapat laci mejaku! Aku yakin sudah menguncinya! Sial! Sial! Kenapa tidak kubawa pulang saja karyaku!’ lirihnya menahan kesal. Jenny tersenyum, lalu terkekeh, “Sepertinya aku dan Aretha memiliki pikiran serta hati yang sama? Lihatlah, karyanya selalu menyamai karyaku. Uhm … kamu tidak mencuri karyaku, ‘kan?” Seisi ruang rapat saling lirik satu sama lain. Peristiwa ini bukanlah yang pertama terjadi. Sudah sejak bertahun-tahun lalu, dalam setiap pemilihan sketsa model perhiasan untuk campaign yang paling penting, pasti ada kesamaan desain antara Aretha dan Jenny. Tersenyum lirih, Aretha menggeleng. “No, Jenny. Aku tidak mencontoh karyamu. Mungkin memang selera kita sama. Dan seperti biasa, karyamu selalu lebih spektakuler dari karyaku." "Oh, tentu saja! Seleraku jauh lebih tinggi daripada kamu. Itulah kenapa desainmu selalu dimasukkan ke dalam release kelas menengah,” senyum Jenny, menyeringai curang. “Iya, Jenny. Kamu memang jauh lebih berbakat daripada aku,” ucap Aretha lagi, memilih untuk membiarkan semua terjadi tanpa ingin melawan. Brice ikut tersenyum, lalu saling pandang dengan Jenny. Sebuah tatap yang semua tahu, kalau ada sesuatu lebih dari sekedar tatap antara bos dan anak buah. Tatap yang mana, semua memilih untuk tutup mulut saja. “Oke, saatnya kita memilih desain utama untuk dijadikan simbol winter campaign kita! Choppard sudah mengeluarkan katalog musim dingin mereka per hari ini. Lalu, Bvlgari akan launching koleksi new year mereka minggu depan. Aku tidak ingin tertinggal di belakang dari mereka!” Brice mempersilakan para desainer senior untuk kembali duduk di kursi mereka masing-masing. Aretha hanya tersenyum lirih, ‘Apa yang aku harapkan? Sejak tahun pertama bekerja, karyaku sudah selalu dicontoh olehnya. Tapi, aku tidak punya bukti untuk menuduh.’ CEO itu mengamati semua hasil karya lima desainer top dan terbaik yang ia miliki. Kepala kanan ditekuk ke kanan, lalu ke kiri. Memperhatikan dengan seksama. Sekitar lima menit berlalu, ia telah mengambil keputusan. “Melihat dari bentuk pendant serta fashion statement yang disampaikan oleh desain milik Jenny Chan, aku memutuskan agar karyanya yang kita pakai sebagai bintang utama di kampanye musim dingin.” “Yes!” pekik Jenny nampak sangat girang, mengepalkan dua telapak tangan, lalu menekuk siku ke arah pinggang. “Terima kasih, Tuan Brice!” Aretha hanya tersenyum kecut. Ini sudah ke … entah keberapa kali ia kalah dalam mengajukan desain. Namun, lagi-lagi berkata dalam hati, ‘Apa yang kamu harapkan, Aretha? Sudah, yang penting bekerja, menerima gaji, hidup tenang bersama Paris.’ *** Saat makan siang di kantin bersama seorang teman dekat, sesama desainer senior, Aretha mendapat pertanyaan. “Sampai kapan kamu akan diam? Jenny terus menerus mencuri karyamu!” Loraine, itu nama sahabat Aretha di kantor. “Aku jengkel sekali setiap tahun dia selalu mencuri karyamu! Iblis betina!” desisnya. Aretha tertawa pelan, “Kamu selalu memanggilnya Iblis Betina! Hati-hati, iblis mempunyai telinga di mana-mana! Sudah, tidak usah dipermasalahkan. Aku tidak apa-apa, biarkan saja.” “Mana mungkin dibiarkan terus-terusan begitu! Namamu tenggelam sementara namanya melambung tinggi di manajemen pusat! Ini menyebalkan!” Loriane terus mendengkus jengkel. Ia menatap lekat pada Aretha, “Karyamu adalah yang terbaik! Selalu yang terbaik, Retha! Aku benci melihatmu dihancurkan seperti ini! Kenapa kamu tidak berbuat sesuatu, hah? Sekali-sekali kamu itu harus melawan!” Namun, Aretha menggeleng. “Aku tidak mau mencari masalah. Selama aku masih bisa bekerja dan digaji seperti sekarang, itu sudah cukup. Kenaikan gaji setiap tahun juga masih sangat memuaskan.” “Aku sudah merasa nyaman di sini, walau tidak sempurna. Tapi, dunia mana yang sempurna, Loraine? Bagiku, semua ini sudah lebih dari cukup. Aku sangat mencintai berlian, dan ini adalah pekerjaan terbaikku.” Loraine menggeleng jengah, “Kalau karyaku yang dicuri oleh Jenny berengsek itu, aku pasti akan protes! Aku akan membuat masalah menjadi besar. Entah kenapa kamu bisa sesabar ini!” Aretha menghela, “Apa kamu tidak pernah mendengar gosip kedekatan Jenny dengan Tuan Brice, CEO kita? Aku rasa gosip itu benar. Oleh karenanya, aku tidak mau melawan.” “Aku tidak mau memasuki peperangan yang ‘kutahu, tak akan kumenangkan ….” “Selama aku daim, dia tidak akan merasa terancam. Tuan Brice juga tidak akan melihatku sebagai musuh. So, aku baik-baik saja. Sudah, ayo, habiskan makananmu. Kita harus segera bekerja membuat koleksi lain.” Loraine menghela kesal, “Ya, terserah kamu sajalah!” *** Di rumah sakit beberapa hari kemudian, Keenan yang telah sadar sepenuhnya dan dalam masa penyembuhan sedang berbincang dengan asisten pribadinya. “Kamu sudah menemukan siapa yang menembakku, Russ?” tanya lelaki tampan dengan garis rahang yang kokoh. Russel Chu, lelaki berkacamata itu menggeleng. “Penyelidikan masih terus berlangsung. Saya sudah menyebar berita ke jalanan. Anak buah sedang bekerja.” “Kalau saja wanita itu tidak membawaku dengan cepat ke rumah sakit, aku sudah tinggal nama sekarang. Siapa pun yang menyerangku saat keluar dari restoran kemarin … aku mau dia mendapat hukuman yang berat!” desis Keenan terengah dendam. Lalu, ia kembali menatap pada Russel, “Aku ingin memberi ucapan terima kasih kepada wanita tersebut. Bisa kamu jemput dia dan bawa ke sini nanti malam?” “Sure, saya akan membawanya kemari malam ini.” *** Maka, ketika malam tiba, pagar pintu rumah Aretha diketuk seseorang. Gracia keluar sambil bertanya dari teras. “Siapa? Cari siapa!” Russel menjawab sedikit berseru, “Mencari pemilik rumah ini!” “Ada perlu apa?” tanya Gracia lagi mengernyitkan kening. “Saya suruhan pria yang kemarin terluka di halaman rumah ini!” Gracia menghela, “Tunggu di situ!” Sang baby sitter masuk kembali ke dalam rumah, menemui Aretha yang sedang makan malam dengan Paris. “Nyonya, ada suruhan lelaki yang kemarin terluka parah di sini.” Tertegun, jantung Aretha bagai dihantam palu godam. “Apa maunya?” “Saya tidak tahu. Coba Nyonya keluar dan tanyakan apa mau dia?” Sontak berdiri, lalu berlari ke arah pagar rumah, ketakutan merasuk. Akan tetapi, apa pun yang terjadi, sekali lagi harus ia hadapi. “Apa maumu?” engahnya. Russel menjawab tenang, “Tuan Keenan ingin bertemu Anda. Beliau ingin mengucapkan terima kasih karena sudah membantunya kemarin.” Aretha mengangguk, “Ya, sudah, tidak apa. Aku hanya menjalankan kewajibanku, menolong sesama manusia. tidak perlu mengucap terima kasih secara khusus kepadaku. Aku sudah cukup senang karena beliau selamat.” Namun, asisten pribadi itu menggeleng. “Tuan Keenan menginginkan kehadiran Anda secara khusus di rumah sakit. Ia ingin berterima kasih secara langsung. Saya mohon Anda jangan menolak.” “Memangnya kalau aku menolak, lalu kenapa?” sahut Aretha memandang khawatir. “Anda tidak ingin menolak permintaan Tuan Keenan. Percayalah, lebih baik Anda segera berganti baju dan ikut saya menuju rumah sakit. Tidak akan terjadi apa-apa kepada Anda.” Tepat seperti yang pernah Aretha pikir, orang macam Keenan, dengan status sosial setinggi itu, bukan seseorang yang seharusnya hadir di dalam hidup. Sekarang, ia terpaksa menjawab …. “Baiklah, aku akan ke rumah sakit ….”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD