Berjalan mengekor langkah Russel, tapak kaki Aretha semakin merasa berat saat mendekati kamar perawatan VVIP tempat Keenan dirawat. ‘Apa yang harus kukatakan padanya? Apa yang akan dia katakan padaku?’ bingungnya.
“Silakan, Tuan Keenan sudah menunggu di dalam.” Russel mempersilakan Aretha masuk dan menemui majikannya.
Mengangguk, menarik napas, menghelanya cepat. Wanita berambut panjang hitam legam dan berparas bak dewi khayangan itu mulai mendekati ranjang sang lelaki.
Mendengar suara langkah kaki, Keenan menoleh ke kanan, pada sosok gemulai yang mulai terlihat dengan jelas.
Napas lelaki itu berhenti mendadak saat melihat betapa cantik wanita yang telah menyelamatkannya dari serangan peluru kemarin. Terengah, sesak, mata tidak ingin berkedip! Tidak ingin melewatkan pemandangan molek meski hanya satu detik!
‘Dia … cantik sekali …! Dia siapa?’ engah Keenan di dalam hati. ‘Aku tidak pernah bertemu wanita secantik ini!’
Aretha mulai sadar kalau dirinya ditatap tanpa henti. Keenan bukan lelaki pertama yang memiliki ekspresi seperti ini kepadanya. Ke mana dia pergi, rata-rata pria memang bersikap seperti bosnya itu.
Mengagumi kecantikannya hingga kaum Adam tersebut tersenyum sendiri, pasti membayangkan bagaimana indahnya dunia ketika memiliki wanita seperti seorang Aretha Queen.
Sayang, mereka tidak tahu bahwa hati ibu dari satu anak itu sudah terlalu hancur lebur dengan apa yang bernama cinta. Tak ada tempat bagi sebuah kata romance bagi Aretha. Ia hanya ingin hidup damai bersama sang putra yang tak akan pernah menyakitinya seperti lelaki lain.
“Selamat malam, Tuan Keenan. Senang melihat Anda bisa kembali sehat,” sapa Aretha, memandang sesaat, lalu menundukkan wajah.
Tahu bahwa pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu sangat tampan. Akan tetapi, ia sudah pernah memiliki kekasih yang sama tampan dan sama kaya seperti bosnya tersebut. Di mana dua kekasih terdahulu semua menghempaskannya dalam badai kepedihan.
Jadi, nothing spesial mengenai sosok Keenan Raymond bagi Aretha.
“Kamu tahu namaku?” tanya Keenan mengernyitkan kening.
“Pengawal Tuan tadi menyebut bahwa Tuan Keenan Raymond ingin bertemu dengan saya. Maaf, jika saya lancang menyebut nama Anda,” ucap Aretha masih menunduk.
Menggeleng, Keenan tertawa pelan, “Aku tidak keberatan kamu menyebut namaku. Kenapa menunduk? Apa wajahku tidak nyaman untuk dilihat?”
Aretha reflek mendongakkan wajah, “Bu-bukan begitu, Tuan. S-saya hanya sungkan. Saya tidak mau menyinggung Anda dengan menatap terus menerus.”
“Hmm,” sahut Keenan bergumam, menahan senyum. Saat Aretha mendongakkan kepala, ia bisa melihat kecantikan sang wanita yang telah membiusnya pada pandangan pertama.
Mata mereka saling beradu dalam satu garis lurus, bersamaan dengan debar di d**a Keenan, serta kegugupan di batin Aretha, dan ia kembali menunduk.
“Mendekatlah, aku tidak akan menggigitmu. Kenapa begitu takut?” tawa billionaire itu. “Duduklah di kursi ini, di samping ranjangku.”
Aretha mengangguk, ia berjalan dengan masih menahan gugup. Duduk di kursi berbahan besi berwarna biru, sesekali mendongakkan wajah, menatap Keenan sambil tersenyum, kemudian menunduk lagi.
“Siapa namamu?” tanya Keenan.
“Aretha Queen ….”
Keenan mengangguk, tak bisa untuk tidak mengagumi tiap keindahan yang melekat di paras Aretha. Begitu sempurna wajah ini, pikirnya dalam hati. “Hai, Aretha. Aku Keenan,” ucapnya mengulurkan tangan.
Betapa terkejut Aretha melihat uluran tangan tersebut. Sempat tertegun selama beberapa detik, bingung harus berbuat apa, akhirnya secara reflek menerima dan menjabatnya.
“Terima kasih karena sudah menyelamatkan nyawaku,” ucap Keenan menatap begitu lekat dan dalam. “Aku berhutang budi kepadamu hingga akhir waktu.”
Aretha menggeleg dan tersenyum sendu, “Tidak, Tuan. Anda tidak berhutang budi. Saya hanya melakukan tugas saya, menolong sesama manusia yang mebutuhkan pertolongan. Yang penting, Anda sudah sembuh dan itu membuat saya bahagia.”
“Kamu bahagia melihatku sembuh?” senyum Keenan menggigit bibirnya, menahan rasa ingin tersenyum lebih lebar lagi.
Dan pertanyaan itu membuat wajah Aretha merona merah muda. “A-apa?” engahnya tak percaya dengan apa yang didengar.
Kenan tertawa renyah, “Aku hanya bergurau. Kenapa kamu seperti takut sekali bertemu denganku?”
“Bukan takut, saya hanya … uhm … saya tidak ingin ada salah dengan Tuan.”
“Kenapa selalu memanggilku Tuan?”
“Karena Anda adalah Tuan Keenan Raymond. Saya hanya mengikuti bagaimana pengawal Anda memanggil.”
“Oh, begitu … hmm,” angguk Keenan. “Anyway, kamu kemarin yang membawa Bugatti-ku ke rumah sakit?”
“I-iya,” angguk Queen dengan makin gugup. “Apa mobilnya rusak? Maafkan saya jika ada kerusakan.”
Keenan tertawa, menggeleng, “Aku justru heran bagaimana kamu bisa membawanya ke rumah sakit? Bugatti itu sudah full modifikasi. Sedikit sentuhan pada pedal gas bisa membuatnya melesat sangat jauh!”
“Saya … uhm … saya kenal seseorang yang juga memiliki mobil serupa. Bahkan, melaju lebih cepat dari mobil Anda, Tuan,” jawab Aretha kemudian menundukkan kepala.
Selintas bayang pemuda tampan mengoyak kembali batin yang telah tenang. Perih itu kembali menyapa, dan inilah salah satu alasan yang membuatnya begitu malas berurusan dengan cinta.
“Oh, maksudmu, kamu biasa menaiki mobil kekasihmu yang seperti itu?” kulik Keenan.
Menggeleng, Aretha berucap lirih, “Bukan, bukan begitu. Saya hanya pernah mengenalnya, itu saja,” sangkalnya, kemudian tersenyum pahit.
“Hmm, ya, sudah, tidak apa. Aku hanya bersyukur kamu bisa membawaku ke rumah sakit tepat waktu. Kamu sudah menyelamatkan nyawaku. Terima kasih, ya,” ujar Keenan menatap kian lekat.
“Sama-sama, Tuan. Tapi, sungguh jangan beranggapan Anda berhutang apa pun kepada saya,” angguk pemilik hidung teramat mancung.
Keenan bertanya, “Apa yang kamu inginkan sebagai imbalan? Aku bisa memberikan apa pun yang kamu mau.”
Dan Aretha kembali menggeleng, “Tidak, Tuan. Saya tidak menginginkan apa-apa. Sudah saya katakan, saya hanya membantu sesama manusia. Tidak mengharap imbalan apa pun.”
“Sebenarnya, aku sudah mempersiapkan ini untukmu. Ambilah,” lanjut Keenan memberikan sebuah amplop berisi cek $500.000.
Akan tetapi, lagi-lagi Aretha menolaknya. “Tidak perlu, Tuan. Terima kasih atas atensi Anda kepada saya. Tapi, sungguh, saya tidak butuh imbalan apa pun.”
“Ini hanya ucapan terima kasihku kepadamu. Jangan tersinggung. Kamu bahkan belum tahu apa isinya?” rayu Keenan kembali menyodorkan amplop tersebut.
“Tidak usah, Tuan. Mohon maaf, saya tidak bisa menerimanya. Saya hanya akan mendoakan agar Tuan tidak lagi terlibat dalam serangan seperti kemarin, semoga Tuan sehat selalu,” geleng Aretha kemudian bersiap untuk pergi.
Suasana ini sudah kian menyesakkan baginya. Meski memang dia yang menyelamatkan nyawa sang pria, tetapi menerima hadiah -yang sudah bisa ia duga- berupa cek mungkin berisi beberapa ratus ribu dollar sungguh terasa tak pantas baginya.
Manggut-manggut, Keenan kemudian tersenyum dengan sedikit kekecewaan tersirat. “Jadi, kamu tidak mau menerima amplop terima kasih dariku ini?”
“Maafkan saya, Tuan Keenan. Bukan berarti saya sombong atau lancang, hanya saja, sungguh, saya tidak bisa menerimanya karena memang saya tidak mengharapkan apa pun.”
Menunduk hormat, Aretha kemudian segera pamit. “Terima kasih sudah mengundang saya untuk bertemu langsung dengan Anda. Tapi, saya harus segera pulang. Anak saya di rumah menunggu untuk mengerjakan homework bersama.”
Keenan sedikit terhenyak, “Kamu sudah memiliki anak?”
“Ya, seorang putra berusia tujuh tahun. Dia ada di teras ketika baby sitter-nya memapah Anda masuk ke dalam mobil,” jawab Aretha tersenyum. Ia selalu tersenyum ketika mengingat Paris, kekuatan hidupnya.
Keenan membalas, “Oh, mungkin aku sudah di ambang pingsan. Aku tidak terlalu jelas memperhatikan sekitar. Baiklah, salam untuknya, ya? Katakan bahwa ia memiliki ibu terbaik di dunia yang bisa diandalkan untuk menolong orang lain.”
“Aku yakin suamimu pasti sangat bangga memiliki istri sepertimu,” tandas Keenan. Sebenarnya, ia hanya ingin tahu apakah Aretha sudah menikah atau belum.
Aretha hanya tertawa pelan mendengarnya. Tawa pertama yang ia lakukan sejak datang menemui Keenan dengan ketegangan luar biasa. Tahu pertanyaan sang lelaki adalah untuk mengulik identitas dirinya apakah single atau tidak. Dan dia tidak berniat untuk memberikan jawaban apa pun.
Ia juga tidak ingin mengatakan bahwa dia adalah karyawan di Raymond & Co Jewelry. Takut dikira ia menginginkan kenaikan jabatan atau kenaikan gaji akibat menolong sang pemilik.
‘Dia tidak bertanya aku bekerja di mana, bukan? Jadi, biarkan saja tidak usah kuberitahu kalau aku adalah karyawannya. Toh, kalau benar dia akan kembali ke perusahaan, nanti juga dia akan tahu kalau aku kerja di sana saat pemilihan desain perhiasan,’ pikir wanita itu dalam hati.
Kembali menghela panjang, Aretha mengucap kata pamit. “Terima kasih, Tuan. Saya pergi dulu, semoga lekas sembuh dan bisa beraktivitas lagi. Sampai jumpa ….”
“Hmm, sampai jumpa ….”
Keenan terus menatap pada sosok gemulai Aretha yang berjalan menuju pintu keluar ruang perawatannya. Memakai longcoat model kimono dengan bahan wool hangat, penampilan wanita itu terlihat stylish meski menggunakan barang-barang dengan harga pasaran kelas menengah.
Ketika akhirnya Aretha tak terlihat, ia bergumam, “Terima kasih sudah menolongku. Semoga suatu saat nanti kita bertemu lagi ….”
***
Satu bulan berlalu, Keenan sudah kembali pada keadaan fit dan siap untuk mendatangi perusahaan keluarganya, yaitu Raymond & Co Jewelry. Menuruni tangga di rumah mewahnya, dua orang pengawal serta satu asisten pribadi siap menunggu di bawah.
Sebuah kendaraan Rolls Royce Wraith berwarna biru terang metalik dengan kap silver berkilat nampak gagah menanti sang pemilik. Ditambah dengan mengenakan jas serta celana hitam legam, kulit putihnya semakin kontras.
Rambut stylish-nya disisir ke belakang dengan gaya sedikit rebel di bagian atas. Penampilan lelaki berusia 37 tahun itu nampak seperti anak muda berusia 27 tahun. Langkahnya begitu tegap dan gagah.
“Keenan!” panggil seseorang dari belakang sebelum ia melangkah keluar pintu.
Menoleh, lelaki tampan mengangguk dan tersenyum. “Ya, Mom?”
Alice Raymond, ibu dari pemuda ini berjalan cepat, sedikit tergopoh. Ia tersenyum simpul, lalu berbisik. “Mommy sudah menyiapkan kencan buta untukmu nanti malam! Namanya Phoebe Gerald. Anak sahabat Mommy dan baru berusia 28 tahun.”
Keenan menghela panjang, memaksa senyum untuk tercipta, menjawab sambil berbisik pula, “Please, Mom. Kencan buta terakhir sekitar tiga bulan lalu berakhir dengan buruk. Please, jangan buat aku kembali menjalani kencan buta!”
“Tapi, kamu sudah 37 tahun dan belum ada tanda-tanda menikah! Mommy selalu ditanya orang-orang kapan kamu menikah! Saudara sepupumu sudah banyak yang menikah!”
“Kami ingin keturunan darimu, Keenan. Ayolah, siapa tahu dia jodohmu?” kekeh Alice menepuk-nepuk pundak putranya. “Mommy ingin seperti yang lain, menggendong cucu, memamerkannya di media sosial.”
“Aku belum menikah karena belum menemukan yang cocok, Mom. Lagipula, aku harus fokus dengan perusahaan kita. Profit selama tiga tahun terakhir terus menurun. Sudah, aku tidak bisa nanti malam bertemu … siapa itu namanya?”
“Phoebe Gerald?”
“Ya, Phoebe Gerald. Aku ada janji makan malam dengan klien. Lain kali, Mommy tanya dulu jadwalku sebelum membuat janji sendiri, ya?” senyum Keenan memandang kesal tertahan pada ibunya. “Nah, sekarang aku harus pergi ke kantor, bye!”
“Keenan, tapi kamu masih suka dengan wanita, ‘kan?” engah Alice akhirnya menanyakan pertanyaan yang sejak lama ia pendam.
Mata Keenan mendelik, tak percaya ibunya mempertanyakan hal sedemikian konyol. “Tentu saja aku menyukai wanita! Please, aku bukan gay, Mom! I’m still straight!” erangnya kian jengkel, tetapi tetap ditahan setengah mati.
Alice mengangguk dan tersenyum kecut, “Mommy dan Daddy ingin cucu darimu, Keenan. Kamu anak satu-satunya, tapi kamu belum menikah sampai di usia sekarang. Mommy dan Daddy tidak akan hidup selamanya.”
“So, please? Segeralah cari wanita yang baik, yang cantik, lemah lembut, dan menawan untuk kamu nikahi!” pungkasnya mencubit kedua pipi sang anak. “Nah, pergilah bekerja!”
“Hmm,” sahut Keenan pasrah ketika pipinya dicubit dan digerak-gerakkan seperti saat ia masih berusia lima tahun. “Bye, Mommy!”
***
“Nyonya Besar menginginkan menantu dan cucu lagi, Tuan?” bisik Russel menggoda majikannya.
“Diamlah! Aku pusing setiap bertemu dengan ibuku. Yang diomong hanya agar segera mencari istri! Melelahkan sekali! Bahkan, tadi bertanya apa aku masih tertarik dengan wanita atau tidak!” dengkus Keenan menggeleng jengkel.
Russel terkikik, menahan tawa karena bosnya dikira gay. “Sabar, Tuan. Saya yakin Nyonya hanya menginginkan yang terbaik untuk Anda.”
“Hmm, hanya saja aku sampai sekarang belum menemukan wanita yang bisa membuatku benar-benar jatuh cinta. Aku tidak ingin terburu-buru menikah hanya karena usia,” tandas Keenan.
Mereka sudah sampai di depan lobby perusahaan. Dua orang security berlari dengan cepat, tergopoh untuk membukakan pintu sang pemilik. Keduanya menunduk dengan hormat, “Selamat pagi, Tuan Muda Raymond.”
Keenan mengangguk, tersenyum dingin. Postur tubuh tinggi dan gagahnya mulai memasuki kantor megah di tengah kota Los Angeles. Setiap karyawan yang berpapasan dengannya – terutama pegawai wanita- terperangah, berhenti melangkah, lalu menatap kagum, menginginkan!
“Tuan Keenan Raymond benar-benar telah kembali!” bisik mereka beramai-ramai.
Tahu kalau kehadirannya menjadi pusat perhatian, Keenan tidak ambil pusing. Dia sudah sering menjadi topik pembicaraan seperti sekarang. Sesekali pandang menyapu interior kantor mewah tersebut, dan ia menyukainya.
Menuju lift untuk naik ke lantai lima, tempatnya akan bekerja, segera masuk begitu pintunya terbuka. Russel serta dua pengawal mengikuti langkahnya. Sejak diserang kemarin, sekarang ia memakai dua orang bodyguard yang selalu mengiringi langkahnya.
Tiba-tiba, pintu lift yang baru saja tertutup, terbuka lagi karena tombol untuk naik ke atas ditekan oleh seseorang dari luar. Begitu melihat sosok wanita teramat cantik ada di luar lift, jantung Keenan bagai berhenti mendadak.
“Kamu …?”