Di Ambang Batas Kendali

1691 Words
"Jedidahhhh! Akhirnya Pak CEO datang juga," suara Greta, ibunya Zurech yang penuh semangat menyambut kehadiran Jedidah saat pria itu melangkah masuk ke dalam ruangan rumah sakit. Jedidah tersenyum kecil, melangkah mendekat dan memberi salam pada wanita paruh baya itu. "Tante." "Sendiri aja?" Ibu Greta bertanya sambil menepuk punggung Jedidah dengan familiar. "Iya, Tante.” “Kemana Zarin?” “Zarin lagi di Malaysia, ada event yang tidak bisa dia tinggalkan.” "Dia kan status menikah tapi tetap rasa bujangan, Tante. Udah mau tiga tahun kayak gitu," ujar Jagapathi dengan nada bercanda, namun sarat dengan makna yang lebih dalam. Seketika ruangan dipenuhi tawa. "Ih, Mas jangan gitu," Paulina menegur pelan sambil menepuk suaminya yang malah terlihat puas dengan leluconnya. Zurech ikut terkekeh dari sisi ranjang, tangan besarnya menggenggam erat bahu istrinya, Layla, yang tengah menggendong bayi mereka yang baru lahir. Matanya berkilat penuh kemenangan. "Lagian, kalau mau setia nunggu perempuan, pastiin dulu dia nggak bakal ninggalin lu kesepian, Bro." "Heh, kalian jangan begitu sama sahabat sendiri," tegur Ibu Greta, melirik mereka satu per satu sebelum menghela napas dan beranjak dari tempatnya. "Tante keluar dulu ya. Jangan usil sama Jedidah." Wanita itu melangkah keluar, meninggalkan Jedidah yang akhirnya mengalihkan perhatiannya ke dalam ruangan. Layla, istri Zurech, duduk bersandar di ranjang rumah sakit dengan wajah sedikit pucat, tapi kebahagiaan jelas terpancar dari matanya saat ia menatap bayi mungil dalam pelukannya. Jemari kecil bayinya bergerak-gerak, dan setiap kali Layla membelai pipi si kecil, ekspresi lembut di wajahnya semakin terlihat. Di sofa, Paulina—istri Jagapathi—juga tengah menggendong bayi mereka yang baru berusia enam minggu. Wajahnya berseri, matanya berbinar saat menatap buah hatinya yang tertidur pulas dalam dekapan. Dan di balkon, Prabu dengan santai menyuapi putrinya yang berusia lima tahun. Gadis kecil itu tampak ceria, mengenakan gaun bermotif bunga dengan pita kecil di rambutnya, menendang-nendangkan kaki kecilnya dengan riang sambil mengunyah makanannya. Suara-suara lembut mengisi ruangan. Suara bayi yang sesekali menggumam dalam tidurnya. Bisikan lembut Layla dan Paulina ketika berbicara dengan bayi mereka. Prabu yang tertawa kecil saat putrinya memprotes bahwa suapan makanannya terlalu besar. Pemandangan ini... Jedidah mengamati semuanya dengan diam. Teman-temannya telah menjadi ayah. Mereka telah membangun keluarga. Mereka memiliki seseorang yang menunggu di rumah, seseorang yang bergantung pada mereka, seseorang yang mereka peluk setiap malam. Dan dirinya? Lima belas tahun menunggu kepastian, tiga tahun menikah, tapi masih berdiri di persimpangan yang sama. Tidak ada bayi mungil yang ia gendong. Tidak ada panggilan "Ayah" yang terucap untuknya. Tidak ada yang menunggu kepulangannya dengan tangan kecil terulur, meminta digendong. Sebelum pikirannya lebih tenggelam dalam pusaran pemikiran yang membingungkan, Jedidah segera kembali ke kenyataan. Ia menegakkan bahunya, menutup emosinya rapat-rapat, lalu berdeham pelan sebelum berbicara. "Selamat atas kelahiran bayinya," ucapnya, menyodorkan sebuah bingkisan eksklusif dengan logo Leviathan Timepieces yang elegan di bagian atasnya. "Makasih banyak, Pak Jedidah," Layla menerima bingkisan itu dengan senyum lelah namun bahagia. "Thanks, Bro," Zurech menambahkan, suaranya lebih santai, tapi ada kilatan iseng di matanya yang tidak luput dari pengamatan Jedidah. "Om Jedddd!!" Daisy, putri kecil Prabu, langsung melompat ke arahnya, memeluk kaki Jedidah dengan semangat. Gadis kecil itu mengangkat wajahnya yang penuh keceriaan, mata bulatnya berbinar menatap pria tinggi di hadapannya. "Bawa adiah buat Daisy?" tanyanya dengan nada manja. Jedidah tersenyum tipis, lalu berjongkok dan mengeluarkan sebuah jepitan rambut kecil berbentuk mahkota dari sakunya. Ia menyelipkannya ke rambut Daisy dengan hati-hati. “Untuk princess.” Daisy menatap pantulan dirinya di layar ponsel ayahnya yang tergeletak di meja, lalu berseru kegirangan. "Ihhh tantikkk! Daisy sukaaa! Telima kasihh!" Jedidah tertawa kecil, mengelus kepala gadis kecil itu sebelum membalas pelukannya. "Sama-sama, Sayang." Daisy lalu berlari kembali ke balkon, melompat ke pangkuan Prabu sambil menunjukkan jepitannya dengan penuh kebanggaan. "Lu bentar lagi jadi ayah, ‘kan?" Pria itu menyesap kopinya, menatap Jedidah dengan ketertarikan yang tersirat di wajahnya. "Zurech cerita kalau lu udah dapet calon ibu pengganti buat anak lu nanti." Jedidah hanya mengangguk singkat. "Doain aja, Bro." Jagapathi menyeringai. "Kalau lu butuh temen main, ikut ke rumah gue aja. Anak gue baru enam minggu, bisa lu ajak belajar dulu sebelum nanti punya anak sendiri." Prabu menimpali dengan suara santai, "Takutnya di mansion lu sepi. Mending jadi babysitternya Jagapathi, dia lagi program buat anak kedua soalnya.” Jedidah mendengus. "Enggak sih, gue mau pulang ke apart." "Lah, baru juga nyampe?" Jagapathi protes. Namun, sebelum Jedidah bisa menjawab, Zurech tiba-tiba terkekeh, ekspresinya penuh arti. "Makanya nggak bisa lama di sini, ya? Soalnya yang di apart nggak bisa ditinggal lama?" Jedidah menatap tajam sahabatnya itu. Mata hazelnya yang dingin mengandung peringatan yang jelas. Prabu yang sedari tadi diam kini ikut penasaran. "Emang di apart ada apa, Jed?" Jedidah menghela napas. "Kucing garong." **** "Mau ke mana?" Tanya Jedidah ketika melihat pelayannya keluar dari apartemen dengan menenteng tas. Lisma berhenti dan menunduk sopan sebelum menjawab, "Mau membeli mpek-mpek, Tuan. Nona Dara katanya mengidam itu." Jedidah mendengus pendek, ekspresinya skeptis. "Gak ada yang namanya mengidam." "Tadi Nona Dara tidak masuk apa-apa, jadi kata dokter tidak apa diberikan makanan yang lain asal tidak membahayakan. Semua makanan yang saya masak dimuntahkan." "Ya sudah, segera belikan." Tanpa menunggu jawaban, pria itu kembali melanjutkan langkahnya dan masuk ke dalam apartemen, melewati ruang tamu yang sepi sebelum menaiki tangga menuju lantai dua. Ketika ia berjalan menyusuri koridor menuju kamarnya, langkahnya tanpa sadar melambat saat melewati kamar Dara. Pintu kamar itu tidak tertutup sepenuhnya, menyisakan celah sempit yang memberi sedikit pandangan ke dalam. Jedidah tidak berniat mengintip. Namun, yang tertangkap oleh matanya dalam sepersekian detik membuatnya membeku di tempat. Di balik pintu yang sedikit terbuka, tubuh Dara yang baru selesai mandi terlihat dengan jelas. Gadis itu berdiri di depan cermin besar di sudut kamar, punggungnya menghadap ke arah pintu. Bathrobe putih yang tadi melilit tubuhnya kini meluncur perlahan dari bahunya, jatuh ke lantai dengan gerakan yang begitu alami. Cahaya dari lampu gantung di kamar memantulkan kilau lembut pada kulitnya yang masih sedikit basah, menciptakan gradasi cahaya yang begitu indah di sepanjang punggungnya. Lekuk bahunya tampak begitu halus, garis tulang belikatnya tegas, tetapi tetap lembut di bawah kulit seputih porselen, tanpa celah, tanpa bulu. Dara lalu meraih sepotong gaun piyama sutra berwarna hitam yang tergeletak di kasur, mengangkatnya perlahan sebelum menyelubungkan ke tubuhnya. Bahan sutra yang tipis dan jatuh membalut tubuhnya dengan sempurna, mengikuti setiap lekuk tanpa benar-benar menyembunyikan apa pun. Tali tipis di bahunya melorot sedikit ketika ia menyesuaikan gaunnya, memperlihatkan sedikit lebih banyak dari yang seharusnya. Garis punggungnya yang jenjang terlihat begitu menggoda di bawah cahaya lampu, sementara kilauan air di kulitnya memantulkan sinar lembut, membuatnya tampak seperti sesuatu yang seharusnya dilarang untuk dilihat. Namun, mata Jedidah tetap terpaku. Sebuah sensasi yang begitu familiar merambat di ingatannya. Bukan hanya sekadar visual, tetapi ingatan akan bagaimana kulit itu pernah bersentuhan dengan jemarinya. Betapa dulu, di malam itu, ia telah menelusuri punggung itu dengan bibirnya, membiarkan dirinya hanyut dalam panas yang seharusnya tidak pernah terjadi. Ingatan akan jemarinya yang menyusuri lekuk tubuh Dara, bagaimana tubuh gadis itu merespons setiap sentuhan dan bisikannya di kegelapan malam. Sial. Jedidah menggeretakkan rahangnya. Detik berikutnya, ia mengalihkan pandangannya dengan paksa, mengembalikan kesadarannya sebelum ia terlalu jauh terseret dalam bayangan masa lalu yang seharusnya dikubur. Dengan gerakan cepat, ia melangkah menjauh, melanjutkan jalannya menuju kamarnya sendiri. Sementara itu, Dara melirik ke arah pintu setelah Jedidah pergi, sudut bibirnya terangkat dalam senyum kecil yang licik. Dia tahu pria itu tadi ada di sana. Tahu bahwa matanya sempat mengintip dan menikmati pemandangan yang ia suguhkan. Laki-laki itu mungkin mencoba mengendalikan dirinya, tapi instingnya tidak akan bisa berbohong. Dengan santai, Dara melanjutkan berdandan di depan cermin. Jari-jarinya dengan teliti mengoleskan lip balm di bibirnya yang masih sedikit basah setelah mandi. Matanya meneliti bayangan dirinya sendiri, menyesuaikan posisi tali gaun tidurnya yang longgar sebelum akhirnya keluar dari kamar dan melangkah menuju lantai bawah. Begitu sampai di dapur, pemandangan pertama yang ia temukan adalah Jedidah di ruang makan, tengah meneguk segelas air dingin. Dara menatapnya datar sebelum melewatinya begitu saja, tanpa sapaan, tanpa minat. Dia langsung menuju kulkas, membungkuk sedikit untuk mencari sesuatu di bagian bawah rak. Gerakan itu tentu saja membuat pantatnya terangkat sempurna, melengkung di bawah kain sutra tipis yang nyaris tak menyembunyikan bentuknya. Jedidah menelan ludah. Dara tetap tenang, membiarkan pria itu menikmati pemandangan yang ia berikan secara gratis. Setelah cukup lama ‘menyiksa’, ia akhirnya menarik keluar satu bungkus sosis, lalu memasukkannya ke dalam microwave. TING! Suara microwave berbunyi saat makanan sudah selesai dipanaskan. Dara mengambilnya, membawanya ke meja makan dan duduk. Baru saja ia bersiap untuk menikmati makanannya, selembar berkas dilemparkan ke hadapannya dengan suara brak! "Itu surat perjanjian, tentang bayi di dalam perut kamu," ujar Jedidah datar. Dara tersenyum kecil, sudah ia duga. Sambil membacanya, ia mengambil satu sosis jumbo, mengangkatnya, lalu mulai menjilat perlahan. Lidahnya berputar di ujung, membasahi permukaannya sebelum membawanya masuk sedikit demi sedikit ke dalam mulutnya, menariknya keluar dengan tempo yang sengaja ia buat lambat. Jedidah menatapnya. Sialan, apa-apaan ini? “Harus seperti itu kamu makan sosisnya?” "Emang kenapa?" Jedidah tidak menjawab. "Bumbunya enak," lanjut Dara, menjilat ujung sosis lagi. "Aku suka." Sret! Ia menarik pulpen yang tergeletak di meja, langsung menandatangani dokumen itu. “Kamu sudah baca poin yang di-” CROT! Saus keju dari dalam sosis itu meledak, memuncrat ke pipi Dara. “Duh,” gumamnya, sementara tangan kecilnya menghapus saus itu dengan jari dan menjilatnya. Jedidah menahan napas. Sialan. Pria itu meraih berkas dengan cepat. "Saya pulang.” "Kalau gitu, aku sendirian dong di sini?" Langkah pria itu terhenti. “Lisma bilang kejebak banjir. Dia beli di dekat kontrakan aku, jadi aku suruh dia kesininya besok pagi aja,” ucap Dara sembari bangkit, mengambil piringnya, lalu melewati Jedidah dan mulai menaiki tangga. "Yaudah, hati-hati dijalan—ahh!" Hampir saja ia terjatuh jika Jedidah tidak dengan sigap menangkapnya dari belakang. “Jangan ceroboh! Ada bayi di perut kamu.” Dara terkekeh kecil, menoleh ke arah pria itu dengan mata berbinar penuh kepuasan. "Iya, maaf," ucapnya ringan, lalu kembali melangkah. Namun, dari sudut pandang Jedidah, sesuatu yang lain menarik perhatiannya. Gaun pendek Dara semakin naik setiap kali ia menaiki anak tangga, memperlihatkan lebih banyak kulit yang tak seharusnya terlihat. Dari sudut ini, jika ia menunduk sedikit... sial. Pria itu menghela napas panjang, menutup matanya sejenak sebelum mengangkat kepalanya kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD