Tidak banyak yang bisa Dara lakukan malam itu, sebab Jedidah mengunci dirinya di kamar. Tapi karena malam itu, Jedidah memperkerjakan dua pelayan untuk menjaganya secara bergantian. Membuat Dara mendengus geli karenanya.
Dan sandiwara mulai dimainkan. Mereka seolah-olah melakukan prosedur Embryo Transfer (ET) disaat perut Dara sudah berisi. Beruntungnya Zarin tidak bisa hadir sebab kesibukannya.
"Mas, maaf banget, aku di sini tanggung. Sepulang nanti, aku bakalan jelasin ke Mama juga. Kan sel telur aku udah dibekukan di sana, jadi aman 'kan? Disana juga aku gak ngapa-ngapain ‘kan?"
Dan walaupun ini hanya prosedur palsu, itu membuat Jedidah kecewa, seakan dirinya tidak memiliki peran lebih dari sekadar penyumbang genetik. Ibu Rahayu bahkan tidak berhenti mengutarakan kekecewaannya sampai akhirnya dua minggu kemudian, “Selamat, Tante, sebentar lagi akan memiliki cucu.”
Zurech membuat Rahayu tersenyum lega dan berterima kasih pada kebohongan yang dibungkus rapi. Itu yang membuat Rahayu sampai secara personal bicara dengan asisten pribadi Jedidah, supaya mengawasi Dara saat magangnya dimulai dan tidak bekerja terlalu banyak.
“Dara ngapain bawa kertas? Sini deh, saya butuh bantuan,” ucap Maddy tergesa-gesa.
“Kenapa, Mbak? Ada apa?” tanya Dara yang kini ditarik ke ruangan sang pemimpin divisi. Matanya mengarah pada kertas yang berserakan di meja.
“Bantuin saya. Polesin dikit desain yang buat, Ra. Bisa?”
Dara menerima salah satu gambar desain jam tangan. “Ini udah bagus kok, Mbak.”
“Tapi ada yang kurang ‘kan? Jangan bohong, saya tahu itu, dan saya bingung gimana lagi. Otak saya mentok. Kamu bantuin ya?”
“Dengan senang hati,” ucap Dara mendudukan diri dan meraih pensil. Semenjak dia mulai magang satu minggu yang lalu, Dara lebih banyak belajar daripada ikut andil seperti ini. “Saya gak masalah kalau harus bikin desain-desain yang lain, Mbak. Ikut berkontribusi gitu, gak Cuma belajar aja.”
“Masalahnya atasan kita gak mau Nerima desain dari anak magang.”
Dara terkekeh, tahu itu mungkin ulah Jedidah yang tidak mau sering bertemu dengannya. Ngomong-ngomong, Dara juga sudah lama tidak melihat wajah pria itu. Selain karena Dara juga sibuk dengan skripsi, tapi Jedidah sepertinya menghindarinya.
“Mbak, ini mau dianter ke ruang CEO kan? Sama aku aja, gimana? Gak butuh tanda tangan ‘kan?”
“Enggak sih, kamu kasih ke sekretarisnya ya. Saya ada hal lain yang harus diperiksa soalnya.”
“Okey, Mbak,” ucap Dara tersenyum miring. Dia pun bergegas pergi ke ruang CEO sambil mendekap berkas. “Permisi, Bu, saya ingin memberikan berkas dari Creative Design and Product Development Departmen.”
“Desain ya, Mbak? Langsung masuk saja, Bapak ingin mendengar rinciannya secara langsung juga.”
Dara menaikan alisnya, tanpa bicara apapun lagi dia mengetuk dan masuk setelah diizinkan.
“Bawa kemari berkasnya.”
Dara mendekat, membuat hidungnya semakin mencium aroma maskulin yang dia rindukan. Begitu tangan Dara menyodorkan berkas, Jedidah pun tersadar dengan jemari lentik yang tidak asing itu. Seketika tatapannya terangkat. “Kenapa kamu disini?”
“Mengantarkan berkas?” Dara duduk di kursi depan Jedidah. “Mbak Maddy ada urusan lain, tapi aku udah tau isinya, soalnya dengerin Mbak Maddy jelasin.”
Jedidah menghembuskan napas kasar dan membuka berkas itu, bersamaan dengan mulut Dara yang mulai menjelaskan komponen tambahan dalam jam tangan yang akan mereka luncurkan awal tahun ini. Sesekali, pria itu melirik ke arah Dara yang terlihat begitu percaya diri dengan setiap penjelasannya.
Lumayan juga.
"Tapi saya tidak suka.”
"Apa?"
"Proporsi indikator waktunya terlalu besar dibandingkan bezel. Ini membuat desainnya terlihat terlalu padat di bagian tengah dan menghilangkan keseimbangan visualnya," jawab Jedidah sambil mengetuk jarinya di gambar desain itu.
Dara melirik ke arah gambar yang dimaksud. "Bagian itu bisa diperbaiki. Boleh pinjam sebentar gambarnya?"
Jedidah menyerahkan kertas itu tanpa banyak kata. Namun, tepat saat Dara hendak mencatat perubahan desain, pensilnya tiba-tiba menggelinding ke sisi meja—jatuh tepat ke arah Jedidah. Lalu membungkuk sedikit untuk meraihnya.
Karena posisi itu membuat gaun blus yang dikenakannya melorot sedikit, memperlihatkan belahan dadanya dengan begitu jelas. Jedidah yang tadinya fokus pada berkas, langsung membeku sesaat, matanya sejenak terpaku pada kilauan kulit putih Dara yang terekspos di balik kain tipis itu.
Pria itu bergerak cepat, bermaksud menarik perhatiannya dari hal yang tidak seharusnya ia lihat. Namun, dalam gerakan refleks itu, tangannya malah mengenai gelas kopi yang berada di atas meja kaca—
BRUK!
"Aaaaahh! Panas!"
"Astag—sini.” Jedidah langsung berdiri, menarik tangan Dara tanpa pikir panjang dan membawanya ke kamar mandi yang berada di dalam ruangannya.
Dara masih berusaha menahan perih di lengannya saat Jedidah menyalakan keran wastafel. Tapi sialnya, wastafel itu rusak.
BYUR!
"Bapak! Panas!!"
Jedidah yang panik bergerak cepat, langsung menarik Dara mendekat dan mencoba melepas blusnya yang basah agar tidak semakin membakar kulitnya. Napasnya mulai berat saat akhirnya gadis itu benar-benar polos di hadapannya—kulitnya kemerahan akibat terkena air panas, tapi masih tetap begitu menggoda dalam keadaannya yang sekarang.
****
Dara belum tidur saat mendengar seseorang menaiki tangga. Ia tersenyum kecil, mengejek dalam hati. Sudah pasti itu Jedidah.
Langkah kaki pria itu terdengar tegas, tapi tidak terburu-buru.
Di luar kamarnya, samar-samar ia mendengar suara pria itu berbicara dengan Lisma. "Bagaimana keadaannya?"
"Dokter sudah datang sore tadi, Tuan," jawab Lisma dengan sopan. "Nona Dara baik-baik saja. Kata dokter, luka dari air panasnya tidak begitu parah, hanya kemerahan yang nantinya akan hilang. Bayinya juga dalam kondisi baik."
Dara yang masih berbaring di tempat tidur tersenyum tipis. Ia bisa membayangkan wajah Jedidah yang sedikit mengernyit, mungkin karena lega atau mungkin juga karena tidak ingin terlihat peduli. Dara menunggu. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Jadi, ia pura-pura memejamkan mata.
Ceklek.
Benar saja. Pintu kamarnya terbuka dengan lembut, hampir tanpa suara. Dara tetap diam, tubuhnya memunggungi pintu. Ia merasakan kehadiran pria itu, mendengar langkah kakinya yang mendekat.
Lalu, udara di sekitarnya berubah. Ada sesuatu tentang keberadaan Jedidah yang begitu kuat. Kehangatan tubuhnya yang mendekat bahkan bisa Dara rasakan meski pria itu tidak menyentuhnya.
Lama.
Sangat lama pria itu berdiri di sana.
Dara bisa merasakan napasnya melambat. Ia menunggu, menunggu, dan menunggu—sampai akhirnya, ia merasakan selimut yang menutupi tubuhnya ditarik sedikit lebih tinggi, menutupi bahunya dengan hati-hati. Lalu, tanpa sepatah kata pun, Jedidah berbalik dan melangkah keluar dari kamar.
Pintu tertutup kembali.
Dara membuka matanya, menatap lurus ke dinding di depannya. Jantungnya berdebar kencang.
Ini menarik. Sangat menarik.
Karena hal kecil itu, Dara tidak bisa tidur. Rasa gelisah yang samar mengganggunya, membuat pikirannya terus berputar. Frustrasi, Dara memutuskan untuk membuka file skripsinya. Hanya tinggal bab terakhir, tapi penyelesaiannya terasa seperti meniti jalan yang tak berujung. Dosen pembimbingnya seringkali bepergian ke luar negeri, membuat revisi dan bimbingan menjadi lebih lambat dari yang seharusnya.
Menghela napas, ia membuka laptop pemberian Ibu Rahayu. Jari-jarinya mulai mengetik, tapi pikirannya tak sepenuhnya fokus. Matanya melirik ke luar jendela, menatap panorama kota Jakarta yang berkilauan di bawah langit malam.
Namun, ada sesuatu yang kurang.
Referensi.
Dara memerlukan buku tambahan untuk memperkuat argumennya. Dan kebetulan, apartemen ini memiliki perpustakaan pribadi yang lebih lengkap dari perpustakaan kampusnya.
Tanpa berpikir panjang, Dara bangkit dan keluar dari kamar, melangkah menuju perpustakaan yang terletak di lantai dua. Lampu-lampu sudah temaram, menciptakan suasana yang lebih intim dan tenang.
Saat ia masuk, langkahnya langsung terhenti.
Di tengah ruangan, duduk dengan santai di salah satu sofa panjang, adalah Jedidah.
Pria itu sedang menikmati segelas wine sembari membaca. Kacamata membingkai wajahnya, menambahkan kesan intelektual yang menggoda. Lampu redup memantulkan bayangannya dengan kontras yang tajam, memperlihatkan rahang tegasnya yang bergerak ringan setiap kali ia menyesap minumannya.
“Dara?”
Dara menatapnya tanpa ekspresi. “Kenapa?”
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Aku butuh buku referensi buat skripsi,” jawabnya santai, lalu berjalan melewati Jedidah tanpa ragu.
Mata pria itu mengikuti gerakannya, memperhatikan bagaimana Dara menaiki tangga menuju rak tertinggi.
“Hati-hati,” suara Jedidah terdengar dalam, sedikit serak. “Ada bayi saya di perut kamu, Dara.”
Dara tertawa kecil, terdengar lebih seperti ejekan. “Hahaha, sekarang diakuin bayinya, nih?”
“Turun sekarang. Kamu bisa jatuh. Biar saya yang bawakan,” ujarnya lagi, nada suaranya lebih tegas. “Dara, kamu dengar saya tidak?” Jedidah sampai bangkit dari duduknya mendekati Dara.
“Kenapa? Bayinya juga gak kenapa-napa. Tahan banting, udah pendarahan, kaki injek kaca, sampai kesiram juga tetep hi—AAAAAA!” Ada serangga yang keluar dari sela buku, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terjungkal ke belakang.
Tapi sebelum tubuhnya menghantam lantai, sepasang lengan kuat menangkapnya.
Brakk!
Jedidah menahan tubuhnya, ekspresinya berubah dingin saat menatap gadis di pelukannya. Napasnya berat, matanya meneliti Dara yang kini terdiam di lengannya. “Lihat? Kamu memang ceroboh.”
Dara membuka matanya, masih kaget. Tangannya, tanpa sadar, mencengkeram bahu Jedidah erat.
Dan pria itu… Dara bisa mencium aroma wine di napasnya.
Sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, Jedidah membawanya ke sofa panjang, lalu dengan lembut menidurkannya di sana.
Namun, mungkin karena efek alkohol, gerakan Jedidah sedikit lebih lambat dari biasanya. Tangannya bertumpu pada sandaran sofa, sementara tubuhnya condong ke arah Dara, hampir menindihnya.
“s**t,” gumamnya.
Tapi alih-alih mendorongnya, Dara justru melakukan sesuatu yang lebih berbahaya.
Tangannya melingkar di leher pria itu, menahan Jedidah agar tetap di posisinya.
“Dara, lepas.”
“Kenapa?”
“Saya mau melanjutkan apa yang saya tinggalkan.”
“Seperti apa?” tanyanya menggoda, jemarinya dengan berani mengelus d**a Jedidah yang bidang.
“Minum wine.”
Tangannya naik ke pipi pria itu, merasakan kulitnya yang hangat. Jedidah yang mabuk itu semakin memicingkan mata. Tatapan mereka bertemu, udara di antara mereka mendadak panas, lebih panas dari wine yang masih tertinggal di bibir pria itu.
“Aku penasaran… wine yang diminum Bapak, mau coba.”
“Gak ada wine buat ibu hamil.”
“Dikit aja,” ucap Dara lembut.
Pria itu menatapnya curiga.
“Dari sini.” Dara menunjuk bibir Jedidah.
Keduanya bertatapan, dan entah bagaimana bibir mereka menyatu. Ciuman itu dimulai dengan lembut, hampir seperti bisikan. Tapi dalam hitungan detik, berubah menjadi lebih dalam, lebih panas.
Dara merasakan sensasi dingin wine yang tersisa di bibir pria itu, mencicipi rasa yang sebelumnya hanya bisa ia bayangkan. Lidah mereka bertemu, saling menyentuh, membelit dalam tarian yang begitu intim. Ciuman itu bukan sekadar kecupan biasa—itu adalah perang d******i, panas dan penuh tuntutan.
Salah satu tangan Jedidah naik ke leher Dara, menahannya agar tidak bisa ke mana-mana. Sementara tangannya yang lain mulai menjelajah, meraba kulit halus gadis itu, menemukan jalan di balik gaunnya yang tipis.
Jemari Jedidah menari di dalam gaun Dara, meluncur dengan gerakan yang hampir seperti angin—halus, tetapi meninggalkan jejak panas yang membakar. Sentuhan itu bukan hanya sekadar eksplorasi, tetapi sebuah tuntutan.
“Hmmphhhh!”
Tubuh Dara melengkung refleks saat sentuhan itu menemukan jalannya, memicu sensasi yang membuat lututnya melemah.
Jedidah menarik bibirnya dari bibir Dara, lalu menelusuri garis rahangnya, turun ke leher yang berdenyut, membiarkan bibir panasnya menempel, menyedot, meninggalkan jejak yang tak akan mudah pudar.
“Shhh… anghhh… ohh… astaga…”
Dara menggigit bibirnya, kedua tangannya mencengkeram kerah kemeja pria itu, berusaha menahan gejolak yang semakin sulit dikendalikan. Aroma mawar dari tubuh Dara bercampur dengan aroma wine yang masih tersisa di bibir Jedidah, menciptakan kombinasi yang semakin membuat pria itu kehilangan akal sehatnya.
Jedidah tidak bisa berpikir jernih.
Desahan Dara di telinganya, sentuhan tangannya yang bergerak lincah di dadanya, panas yang menguar dari tubuh mereka.
Salah satu tangannya melingkari pinggang Dara, menariknya lebih dekat, sementara tangannya yang lain menemukan tempat yang lebih dalam, menyentuh titik-titik sensitif yang membuat tubuh Dara seketika bergetar.
"Dara..." Jedidah berbisik di telinga gadis itu, suaranya serak, dalam, bergetar menahan gairah yang mengancam meledak. Dengan satu tarikan, ia menarik Dara untuk bangkit dari sofa, membuat tubuh mungil itu bersimpuh di atas karpet. Mata hazel Jedidah menatapnya dari atas, penuh perintah yang tak bisa dibantah.
Tangannya bergerak ke pinggangnya sendiri, lalu jemarinya dengan tenang membuka resleting celananya.
Dara mengangkat wajahnya, menatap mata pria itu yang kini gelap, penuh bara api yang hampir meletup.
"Kulum," perintahnya.