Milikku, Bukan Miliknya

2304 Words
Jedidah mendesah, napasnya berat dan bergetar, seolah tubuhnya masih enggan melepaskan gelombang kenikmatan yang baru saja menghempaskannya. Kemudan kepalanya sedikit menunduk, pemandangan yang menyambutnya di bawah sana nyaris membuat darahnya kembali mendidih. Dara masih bersimpuh di atas karpet mewah, lututnya bertumpu dengan anggun. Gaun tipisnya berantakan, tali-tali sutra yang seharusnya melekat di bahunya kini melorot begitu saja, memperlihatkan lebih banyak kulitnya yang halus berkilauan di bawah cahaya temaram perpustakaan.. Wajah mungil itu kini basah dengan sisa gairah yang baru saja ia lepaskan. Cairan putih menetes perlahan di sudut bibirnya yang merah dan sedikit bengkak, memberikan kontras yang begitu menggoda. Lidah Dara menjulur keluar, menjilat sisa cairan itu dengan gerakan lambat. Dari sudut bibir, ke ujung bibirnya, menjilatnya seperti mencicipi sesuatu yang manis. Jedidah mencengkeram rahang Dara, ibu jarinya mengusap dagu gadis itu, merasakan kelembapan yang tersisa di sana. “Menyingkir, Dara.” “Bapak bisa melanjutkan kalau masih mau, aku tahan dingin. Gak masalah kalau baju aku dibuka.” “Jangan bersikap seperti jalang yang ada di dalam pikiran saya.” “Aku jalang pribadinya bapak, bukan yang lain.” Dan dengan beraninya, Dara menjilat kembali kuncupnya membuat Jedidah segera melangkah mundur dan merapikan lagi pakaiannya. “Berhenti, tidak ada hal lain lagi seperti ini,” ucapnya kemudian melangkah keluar. “Anggap itu hanya kesalahan.” “Kesalahan? Jelas-jelas bapak sadar apa yang bapak lakuin.” Dara mengejar, melangkah cepat mencoba menyusul Jedidah. “Iya, saya sadar telah kembali mengkhianati Zarin.” Nama itu membuat Dara benar-benar muak. “Bapak terlanjur melakukannya. Aku gak masalah kalau harus melayani bapak di atas ranjang, terlalu banyak rahasia kotor diantara kita, kenapa tidak sekalian nyemplung aja?” “Turunkan nada suara kamu, pelayan bisa mendengar.” “Kenapa? Bapak gak suka kalau aku teriak, Kita bisa membanjiri ranjang dengan peluh bersama-sama!” Jedidah seketika berbalik, menghimpit Dara di dinding dan membuat perempuan itu memekik kaget. “Bapak!” “Apa tujuan kamu?” “Maksudnya?” “Saya gak bodoh, kamu mencoba menarik perhatian saya bukan? Dara, kamu tahu saya rela melakukan apapun demi Zarin. Jadi hilangkan pikiranmu itu.” “Pikiran apa?” Tanya Dara terkekeh santai, dia melipat tangannya di d**a. “Aku Cuma mau menghibur bapak. Seorang suami yang ditinggal istrinya terus-terusan, kesepian dan butuh pelepasan bukan? aku gak keberatan melakukan itu.” “Apa yang terjadi sama otak kamu sampai memikirkan itu?” “Simple, aku dibayar, dan aku membutuhkan itu juga. Karena bapak satu-satunya orang yang pernah tidur sama aku, kenapa gak sekalian aja? Point perjanjian, bapak akan mengusahakan apa yang jadi keperluan saya.” Jedidah kini menertawakan. “Tidak untuk mengkhianati Zarin,” ucapnya penuh penekanan. “Berhenti berusaha mencari perhatian saya.” Kemudian melangkah pergi. Kali ini Dara tidak mengejar, dia melihat Jedidah yang menuruni tangga kemudian keluar dari apartemen itu, membuat Dara menjerit kesal setelah Jedidah keluar. Dia lempar vas kesal. Kenapa? Kenapa pria sebaik itu malah jatuh cinta pada wanita menyebalkan seperti Zarin? Kenapa tidak dilahirkan untuknya? “Nona, apa yang terjadi? Anda baik-baik saja?” tanya seorang pelayan terdengar mendekat. Dara mengabaikan, dia pergi ke kamar dan menguncinya dari dalam. “Nona? Anda baik-baik saja? Saya khawatir jika an-” “Pergi! Aku baik-baik saja!” **** Kelly menertawakan cerita sahabatnya itu, sampai memegang perutnya yang terasa sakit. “Bisa diem gak lu? Gak guna banget ketawa, mending kasih gue kisi-kisi gimana bisa belokin suami orang.” “Ra.” Kelly menyedot vape dan menghembuskannya ke samping, perempuan berambut lurus itu menatap serius pada sang sahabat. “Sugar daddy gue itu dijodohkan sama istrinya, jadi ada luang buat gue masuk. Sementara lu? Mereka jatuh cinta, cinta mereka kuat. Gak bisa digoyahkan meski wajah lu sekelas ani-ani.” “Si Zarin sering keluar negara, itu peluang besar buat gue. Cuma perlu…. Gimana biar dia belok ke gue seenggaknya dalam hal temen tidur aja.” “Ra, lu gak semurahan itu sampe ngemis minta ditidurin. Abis lahiran, lu punya banyak duit buat.” “Gue harus, gue pengen hidup sama anak gue, bukan cuma tentang duit.” Kalimat itu membuat Kelly mematikan dulu vape-nya. “Dan ya….. gue suka sama itu cowok, jadi terserah dia mau mandang gue gimana, yang penting dia kejebak sama gue, kecanduan sama gue dan berakhir sama gue.” “Susah, Ra…” “Anjirlah,” umpat Dara mengelus perutnya. “Gue khawatir juga kalau anak gue jatuh beneran ke tangan Zarin.” Tatapan Dara terlempar ke Gedung rumah sakit di sebrang café ini, ibunya berbaring disana. Hidupnya tidak pernah berjalan dengan baik, begitu pula dengan Dara. Jadi dia ingin memastikan anak dalam kandungannya itu tidak pernah kekurangan apapun. “Gue cuma punya waktu 7 bulan lagi sampai bayi ini lahir, dan gue harus pergi.” “Yaudah goda dia secara brutal. Jadi cewek liar.” “Susah, Jedidah sekarang batasin gue di magang, larang gue ke kantor dia. Mana jarang balik ke apartemen lagi.” “Butuh info Mbah Dukun nggak?” Dara tertawa, tapi tawanya terhentikan saat melihat ponselnya berdering memperlihatkan nama Ibu Rahayu. Seketika tubuhnya menegang, Dara mengangkatnya. “Hallo, Bu?” “Pulang, saya di apartemen.” “B-baik, Bu.” Ibu Rahayu itu seorang matriark yang menjunjung tinggi nilai-nilai konservatif, perfeksionis, dan berpegang teguh pada aturan. Setiap langkah dalam hidupnya dipandu oleh norma-norma yang mengikat, menjaga kehormatan keluarga dan status sosial sebagai hal yang paling utama. Baginya, kehormatan seorang wanita tidak hanya ditentukan oleh latar belakang keluarganya tetapi juga oleh pendidikan, prestasi, dan sikap yang patut dicontoh. Maka, untuk mengambil hatinya, Dara hanya harus menjadi wanita yang baik dan sempurna. Sempurna dalam pencapaian akademik, pekerjaan, dan masa depan yang menjanjikan. Baik dalam attitude, tutur kata, dan kepatuhan. Tapi sepertinya akan ada pengurangan poin untuk Dara, sebab saat dirinya sampai di apartemen, dia melihat Ibu Rahayu tengah meminum teh dengan anggun sembari menonton acara memasak. Wanita Priangan itu tampak begitu berkelas dalam setelan kebaya berwarna krem, rambutnya tersanggul rapi tanpa satu helai pun yang berantakan. Anting giok kecil menghiasi telinganya, mempertegas garis wajahnya yang tegas namun tetap berwibawa. Kulitnya masih kencang untuk wanita seusianya, menunjukkan perawatan yang sempurna. Tapi yang paling menonjol adalah tatapan tajamnya terlihat enggan melihat Dara. “Saya tidak tahu kalau Ibu sudah kembali dari Belanda.” Dara datang dan mencium tangannya. “Bagaimana kabar Tuan Besar Van Der Zandt?” “Membaik, karena saya memberitahu dia akan segera punya cicit. Tapi sayangnya orang yang mengandungnya malah bergaul dengan sembarang orang, membiarkan janin kecil itu menghisap aroma rokok disaat saya berusaha menjaganya untuk tidak kelelahan saat magangnya.” Seketika Dara menegang, mengurungkan niat untuk duduk. “Saya melihat kamu saat dalam perjalanan kesini. Berani sekali kamu seperti itu? Seolah menyepelekan apa yang kamu lakukan sekarang.” “Bukan begitu, Bu, saya bisa jelaskan.” “Gak perlu penjelasan, semuanya sudah jelas, saya melihatnya sendiri.” Kali ini barulah Rahayu menatap tajam Dara. “Pertemanan itu mencerminkan kepribadian kita juga. Saya tidak mau mengambil resiko, segera kamu jauhi orang seperti itu.” “Baik, Bu.” “Dan pergilah mandi, saya tidak mau mencium bau rokok murahan,” perintahnya sambil memalingkan wajahnya lagi. Dara menghela napas dan melangkah menjauh, tapi dia masih bisa mendengar Ibu Rahayu berucap, “Jika hidupnya sudah miskin, harusnya attitudenya juga tidak miskin. Pilihlah lingkungan yang berkualitas. Astaga, membuat saya sakit kepala.” Ceklek. “Mama?” panggil seseorang membuat Dara menghentikan langkah saat di pertengahan tangga. Zarin, setelah satu bulan akhirnya wanita itu memperlihatkan wajahnya lagi. “Mama, Zarin menunggu di rumah, Zarin pikir Mama akan langsung pergi kesana. Zarin sudah memanggil spa untuk menyegarkan kembali tubuh Mama sebelum pulang ke Bandung.” Zarin terlihat jelas sedang mencari muka. “Ingat pulang juga kamu, setelah meninggalkan hal penting? Calon anak kamu sendiri?” “Maafkan Zarin, Mama. Zarin lakukan itu supaya bulan depannya bisa ikut acara ulang tahun kakek. Zarin sudah membeli hadiah untuk Kakek, untuk Mama juga. Nanti ke rumah ya?” “Besok saja,” ucap Ibu Rahayu menyesap kembali tehnya. “Duduklah.” Kali ini nada suaranya tampak lebih lembut, Zarin tahu bagaimana cara memenangkan hati mertuanya kembali. **** Malam itu, Dara senang kembali melihat Jedidah ke apartemen, tapi sayangnya tidak banyak yang bisa dia lakukan sebab Zarin dan Ibu Rahayu ada disana. Di meja makan yang tertata dengan rapi, dengan lilin tinggi yang menyala di tengahnya dan alat makan porselen berlapis emas yang tersusun sempurna. Dara duduk di ujung meja, terpaksa menjadi penonton. Zarin memainkan perannya dengan sempurna—tangan yang sesekali membelai lengan Jedidah, suara lembutnya yang mengalun dengan begitu halus saat berbicara, dan bibirnya yang melengkung dalam senyuman penuh cinta setiap kali menatap suaminya. "Sayang," begitu wanita itu terus memanggil Jedidah, dengan intonasi yang seolah menegaskan kedekatan mereka. Begitupun dengan Jedidah, pria itu dibutakan dengan perasaan cintanya. Dara berusaha menahan kekesalannya. Sebuah rasa panas menyusup ke dadanya. Ia ingat betul bagaimana tangan lembut yang kini mengusap tangan Jedidah itu dulu pernah mencengkeram pergelangan tangannya dengan kasar, bagaimana bibir yang terus tersenyum itu dulu pernah mengucapkan kata-kata yang merendahkannya. Dan kini, wanita itu duduk di sana, berlagak sebagai istri penuh kasih sayang. Tak ada yang bisa Dara lakukan. Dia hanya bisa diam, memperhatikan bagaimana para pelayan bergerak dengan cekatan menyajikan hidangan—sup krim asparagus yang mengepul lembut, steak wagyu dengan saus red wine, dan hidangan pendamping yang tersusun dengan estetika sempurna. “Alangkah baiknya kalau Zarin tinggal di apartemen sesekali, mendampingi Dara yang sedang mengandung darah dagingnya. Bisa ‘kan?” “Zarin usahakan, Ma.” “Saya buatkan jadwalnya, supaya kamu pantau.” “Zarin terkadang ada pekerjaan mendadak, Ma. Tidak bisa dipatok dengan jadwal. Maaf.” Rahayu menghembuskan napasnya. “Sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Jangan lupa kamu sudah berkeluarga dan akan memiliki anak. Kapan tanggal terdekat kamu harus meninggalkan rumah lagi?” Jedidah menghela napasnya dalam. “Sudah ada dua pelayan disini yang akan menemani Dara, Ma, tidak usah khawatir. Semuanya terpantau, bahkan dokter akan datang setiap minggunya.” “Ini bukan tentang penjagaannya, ini tentang kewajibannya sebagai seorang istri, Jedidah, yang harusnya mengabdi.” Tatapan tajam kembali pada Zarin. “Kapan?” “Minggu depan harus ke Milan, Ma.” Sebelum Rahayu berucap, Jedidah kembali mendahului. “Dan dia gak sendirian, Ma. Dia sama aku. Aku sedang mencari investor dari kalangan elite para pengusaha emas dan berlian untuk berkolaborasi dalam edisi terbatas ini. Ini bukan sekadar ekspansi bisnis, tapi langkah strategis untuk menempatkan Leviathan di level tertinggi industri horologi dunia.” Dara bisa melihat tangan Jedidah mengelus tangan Zarin dibawah meja, menggelikan. Rahayu memicingkan matanya. “Bagus, tapi tidak dengan meninggalkan kewajiban kalian sebagai calon orangtua, khususnya Zarin. Dia adalah Ibu, tempat pertama seorang anak belajar. Jangan terlalu tenggelam dalam dunia itu.” “Baik, Ma. Zarin akan mempersempit jadwal keluar kota jika kandungan Dara sudah membesar dan diusahakan untuk tetap disisinya.” “Hmppp!” “Dara? Kamu kenapa?” perhatian Rahayu seketika teralihkan pada Dara yang menutup mulutnya. “Tidak apa, Bu, sepertinya saya terlalu banyak makan. Boleh saya mengakhiri makan malam ini lebih dulu?” “Tentu, pergilah. Nanti pelayan akan membawakanmu teh hangat. Memang tidak aneh ibu hamil mual-mual.” “Tidak apa, Bu. Saya bisa membuatnya sendiri,” ucap Dara pergi ke dapur untuk membuat teh hangatnya sendiri. Saat Dara masih berkutat di dapur, Rahayu juga menyelesaikan makan malamnya dan pergi ke ruangan kamarnya. Dari tempatnya, Dara mendengar Zarin merengek meminta dibawakan cookies yang hangat pada Jedidah, sangaaaattt manja membuat Dara muak apalagi ketika Jedidah menyanggupinya. Pria itu pergi ke dapur, berdiri tidak jauh dari Dara dan membuat perempuan itu mencuri pandang sesekali. Stok cookies ada di cabinet atas, Dara juga menginginkannya, dia mengambilnya setelah Jedidah menjauh, tapi dia malah kesulitan. Hingga tiba-tiba tangan besar itu meraihkan bungkus cookies yang diinginkan, Jedidah sudah ada dibelakangnya dan menyimpannya di meja. “Terima kasih,” ucap Dara melirik sedikit, dia menggigit bibirnya melihat punggung Jedidah. Sungguh menggoda, membuat Dara ingin mencakarnya lagi. Sebelum pikiran liar itu merambat, Dara memilih mendahului kembali ke kamar. Namun, begitu membuka pintu, langkahnya langsung terhenti. Zarin ada di sana. Wanita itu berdiri di samping meja kecil, memandangi figura berisi foto Dara dan ibunya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Jemarinya yang ramping membelai bingkai kayu itu, lalu tiba-tiba ia terkekeh pelan—rendahan, seolah mengejek. “Kenapa di sini, Mbak?” Zarin tidak menjawab, justru berjalan mendekat, matanya menatap Dara dengan tajam sebelum bibir merahnya melontarkan bisikan tajam. “Aku tahu tatapan kamu ke suami aku, sialan.” Sebelum Dara bisa bereaksi, Zarin meraih rambutnya dengan kasar, menjambaknya hingga kepala Dara terdorong ke belakang. "Akhhh—" "Jangan pernah bermimpi, Dara," desis Zarin, bibirnya nyaris menyentuh telinga Dara. "Dia gak akan tertarik sama perempuan miskin kayak kamu. Suami aku punya selera tinggi. Dan kamu? Kamu cuma alat. Cuma rahim sewaan." Dara menatapnya dengan mata penuh kebencian. "Jadi, lakukan tugasmu dengan benar," lanjut Zarin, semakin menekan kepalanya ke belakang hingga leher Dara terasa pegal. "Kalau kamu membuat masalah, kalau kamu berani menyentuh sesuatu yang bukan milikmu..."—dia menarik rambut Dara lebih keras, membuat gadis itu meringis—"...ibu kamu yang akan mati terkapar. Paham?" Dara terengah. Matanya membulat penuh kemarahan, tapi dia tahu dia tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak sekarang. Zarin mendorong kepala Dara dengan kasar sebelum melepaskannya. Dara hampir tersungkur, tapi ia menahan dirinya agar tetap berdiri. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin. Tidak. Dia tidak akan membiarkan wanita iblis itu menang. Jika Zarin menganggap dirinya hanya sebagai rahim sewaan, sebagai perempuan miskin yang tidak pantas berdiri di sisi Jedidah—maka Dara akan membuktikan bahwa dia bisa lebih dari itu. Zarin mungkin memiliki status, uang, dan restu keluarga. Tapi Dara punya tekad. Dan satu hal yang Zarin tidak sadari—Jedidah sudah menyentuhnya lebih dari yang seharusnya. Dengan bibir terkatup rapat dan mata yang menyala penuh determinasi, Dara bersumpah dalam hatinya. Zarin tidak pantas untuk Jedidah. Dia yang akan merebutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD