Bab 9. Masih Perawan?

1343 Words
Suara lembut itu mengalihkan pandangan Jayden. Pria itu terkejut saat melihat wajah wanita yang baru saja diciumnya. Ia memandang wanita itu yang tampak sudah menahan gairah karena sentuhannya tadi. "Tu-an ...." Kenanga ingin mengatakan untuk berhenti, dirinya merasa tidak seharusnya ini dilakukan. Berusaha keras untuk melawan arus kuat yang membuat kepalanya pening ini. Jayden mengulum bibirnya, ia tidak ingin mendengarkan ucapan apa pun yang keluar dari bibir wanita itu. Kepalanya sudah panas karena godaan ini, lagipula tidak ada salahnya kan? Dirinya sudah tidak terikat dengan siapa pun, dan Kenanga juga wanita yang telah dibelinya. "Aku membutuhkanmu sekarang," ucap Jayden sebelum melumat bibir Kenanga kembali dengan lebih intens. Ia menggunakan seluruh keahliannya untuk membuat Kenanga terpancing. Kenanga memejamkan matanya, sial sekali pengaruh alkohol dan ciuman membabi buta dari Jayden membuatnya tak kuasa untuk menolak. Tubuhnya yang polos itu menginginkan lebih, ditambah Jayden kini mengusap lembut perutnya dan memasukan tangannya ke dalam celananya, menyentuh miliknya dengan nakal. "Tu-an ...." Kenanga menahan desahannya, tubuhnya menungkik karena rasa geli menyeruak. Jayden tersenyum sinis, ia berbisik di telinga Kenanga. "Kau cepat basah," bisiknya dengan nakal. Kenanga tidak tahu harus menjawab apa, Jayden kembali melumat bibirnya dan semakin gila mengusap buah kecil dibawah sana. Kenanga tak tahan, rasa geli, nikmat dan pening ia rasakan bersamaan. Ia berusaha menjauhkan tangan Jayden, namun pria itu semakin gila dengan menggigit lehernya hingga memerah. Jayden merasakan api dalam dirinya menyambar-nyambar. Dengan tak sabar ia menanggalkan celana Kenanga lalu miliknya sendiri. Tidak sampai terlepas semua karena masih ada didalam mobil. Jayden sudah tidak bisa menahannya. Sekuat apa pun perasaannya pada Agatha, ia tetaplah pria normal yang menginginkan hal lebih. Ditambah sudah sangat lama ia tidak menyentuh wanita membuat dirinya tak sabar untuk segera memulainya. Jayden yang merasakan Kenanga sudah siap menerima dirinya, segera melesatkan miliknya. Namun baru kepalanya saja tiba-tiba Kenanga berteriak dan mencengkram lengannya sangat kuat. "Sakit ... perih ...." Kenanga mendorong Jayden dengan kasar, tak tahan saat benda keras itu menerobos miliknya yang belum tersentuh. Jayden membelalakkan matanya syok, ia mencoba sekali lagi menekannya tapi Kenanga kembali berteriak. "Sakit akhhhhh ... aku tidak mau! Sakit!" Wanita itu berteriak-teriak dan memukuli bahu Jayden. Jayden benar-benar syok, bola matanya bergerak-gerak karena tak percaya dengan ini semua. Kenanga masih perawan? Tapi kenapa? Bukankah Kenanga mengatakan sering membuat para pria puas? Tapi nyatanya wanita itu masih perawan. Jayden sontak langsung mengurungkan niatnya. Ia melihat Kenanga yang mulai menangis meski tanpa suara. Tubuh Jayden mulai gemetaran, ia mengusap rambut Kenanga pelan. "Kenapa kau tidak bilang? Maafkan aku," ucap Jayden sedikit lembut, helaan napasnya sangat kasar. Oh ayolah, dirinya memang b******n. Tapi tidak ingin lagi mengulangi kesalahan yang sama dengan merenggut keperawanan wanita dalam keadaan setengah gila seperti ini. Jujur dirinya masih sangat bersalah jika mengingat hal yang telah dilakukannya pada Agatha dulu, sungguh Jayden tidak ingin merusak anak orang lagi. "Aku benar-benar minta maaf." Jayden mengusap-usap rambut Kenanga, berusaha menenangkan. Jayden merapikan pakaiannya kembali. "Aku akan keluar, rapikan bajumu," ucapnya segera beranjak. Kenanga sebenarnya sangat malu, ia menangis bukan karena rasa sakit pada intinya. Tapi ia menangis karena Jayden justru bersikap baik padanya. Kenapa Jayden tidak seperti para pria lainnya yang suka memaksa? Kenapa Jayden justru berhenti dan meminta maaf padanya? Jika Jayden kasar, Kenanga bisa mudah melawannya. Tapi kelembutan ini membuat hatinya kembali rapuh. "Tolong jangan bersikap baik padaku, aku takut ... benar-benar takut akan melukaimu," batin Kenanga menangis lirih. *** Hari berlalu dengan cepat. Kenanga sudah mendapatkan identitas barunya dengan nama samaran Pricilia. Kenanga tidak tau itu identitas siapa, yang jelas Jayden sudah mengatur segalanya dengan sangat teliti. Kenanga hanya perlu berlatih untuk pertemuannya dengan Roger nanti. Latihan yang dilakukan Kenanga hanyalah membiasakan dirinya untuk menjadi wanita yang lebih ceria, karena sifat itu berbeda jauh dengan sifat aslinya yang pendiam. Kenanga hanya akan ceria dengan orang yang menurutnya dekat dengannya. Pagi itu Kenanga mengikat rambutnya cepol dan menggunakan kaos oblong kedodoran. Saat pagi seperti ini biasanya ia hanya menghabiskan waktunya untuk membaca buku, tapi pagi itu dirinya memilih untuk membuat kue. Melanjutkan hobi lama yang entah kapan ia lakukan. "Nona, saya akan tinggal sebentar untuk membersihkan kamar Tuan, ya. Kalau butuh sesuatu saya sudah siapkan disini." Seorang pembantu rumah tangga terlihat berdiri tak jauh dari Kenanga, sejak tadi wanita itulah yang menemani Kenanga di dapur. "Ya, terima kasih, Bi." Kenanga mengangguk mengiyakan, ia sibuk untuk mengaduk adonan kue brownies coklat yang dibuatnya. Setelah adonan siap, Kenanga langsung memasukannya ke dalam oven yang sudah diatur suhunya. "Beres, tinggal menunggu sebentar," ucap Kenanga tersenyum manis. "Sedang apa?" Kenanga tersentak tatkala mendengar suara itu, dirinya menoleh dan melihat sosok Marka yang baru saja datang. Pria itu melihat Kenanga dengan tatapan heran. "Marka, aku sedang membuat kue," jawab Kenanga dengan lugas. "Kue?" Marka mengernyit. "Ehem, kau sedang mencari Jayden ya? Sepertinya dia masih berolahraga." Kenanga mengangguk-angguk pelan. Marka melirik ke dalam ruang tengah yang sepi lalu mengalihkan pandangannya ke arah Kenanga lagi. Melihat wanita itu, entah kenapa Marka merasa cukup tertarik. Dirinya duduk di salah satu kursi di belakang Kenanga. "Aku baru tau kau bisa membuat kue," ucap Marka. "Ya kita kan memang baru kenal, tidak mungkin kau tau semua tentangku," sahut Kenanga dengan senyum tipis. Dahi Marka semakin berkerut, ia memandang Kenanga dengan seksama. Merasa senyuman wanita itu sangat familiar sekali. Sesaat kemudian ia ingat jika senyuman itu mirip dengan senyumannya Agatha, pantaslah Jayden bisa menerima kehadiran wanita ini, pikirnya. "Aku sudah melihat kasusmu, kau yakin ingin membalas dendam?" Kenanga mengulum bibirnya, saat ditanya tentang masa lalunya, mendadak hatinya terasa getir. "Kau tahu apa yang lebih sakit dari semua ini?" Marka menggeleng pelan. "Saat menjadikan diriku sebagai orang yang jahat dalam ceritaku sendiri. Tega tidak tega, aku harus tega. Semua rasa sakitku mereka juga harus merasakannya. Kenapa? Karena aku adalah korban yang menuntut keadilan." Kenanga menjawab dengan tegas, sorot matanya penuh dendam meski banyak luka yang disembunyikan. Marka bisa melihat itu semua, Kenanga ini terlihat biasa saja, tapi menyimpan luka yang sangat dalam. Usianya masih terbilang muda, mungkin sekitar 26 tahu. Dari biodata yang Marka baca, Kenanga baru saja lulus kuliah dari luar negeri. Setelah itu menikah dan ternyata tiba-tiba dinyatakan meninggal. Sesadis itu memang kisahnya. "Baiklah, kalau begitu aku akan membantumu juga," ucap Marka tersenyum manis. "Eh?" Kenanga cukup kaget. "Ya, anggap saja kita teman. Katakan saja jika kau membutuhkan sesuatu," imbuh Marka. Kenanga mengulum bibirnya, tanpa sadar membalas senyuman itu. Ia kemudian mengulurkan jari kelingkingnya. "Teman?" Marka tertawa kecil, tingkah Kenanga ini seperti anak kecil saja. Dirinya menyambut uluran jari itu. "Teman, Nona kecil." Senyuman Kenanga semakin lebar, ia memandang Marka yang juga memandang ke arahnya. Kenanga baru sadar Marka ini memiliki wajah yang manis dengan sorot mata teduh. Tak jauh berbeda dari Jayden, Kenanga sampai heran, kenapa sekelilingnya sekarang orang tampan semua. Suara dari mesin oven memutuskan pandangan mereka. Kenanga bergegas menarik tangannya dan segera mengecek kue buatannya. "Wah!" Kenanga berdecak pelan, ia buru-buru membuka oven itu. Namun karena tak hati-hati, tangannya malah tak sengaja mengenai oven dan melepuh. "Aduh!" pekik Kenanga. "Kenanga!" Marka segera mendekat, ia menarik tangan Kenanga agar menjauh. "Kenapa tidak berhati-hati? Sini." Dengan cekatan Marka mengambil tepung di meja lalu membalurkan ke tangan Kenanga yang melepuh. "Aw ...." Kenanga mendesis pelan, lukanya terasa pedih sekali. "Sakit sekali, ya?" Marka berinisiatif meniup-niup tangan wanita itu. "Sudah tidak apa, aku akan mengangkat kuenya dulu." Kenanga menarik tangannya pelan, merasa cukup aneh rasanya saat berdekatan dengan Marka. "Biar aku saja." Marka menahan Kenanga, dirinya yang mengambil alih untuk mengeluarkan kue itu dari oven lalu meletakkannya di piring. "Wah, sepertinya enak," kata Marka saat mencium harum yang menguar dari kue itu. "Kau harus coba, sebentar." Kenanga cukup antusias melihat kue buatannya, ia mengambil sendok dan segera memotongnya untuk Marka. "Coba, aaaaa." Marka cukup kaget saat Kenanga ingin menyuapinya, ia mau tak mau membuka mulutnya dan Kenanga segera menyuapkannya ke dalam mulut. "Bagaimana, enak?" tanya Kenanga tak sabar. Marka mengerutkan dahinya sedikit, meresapi rasa kue yang baru saja dimakan. Sedetik kemudian ia membulatkan matanya dan segera mengangkat dua jempol, kuenya benar-benar enak. "Wah, beneran enak?" Kenanga semakin senang. "Coba sekali lagi mau?" Tanpa menunggu persetujuan dari Marka, wanita itu memotong kuenya dan kembali menyuapinya. "Ehem." Bersambung~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD