Kampus Bella akan merayakan ulang tahun yang ke-25 satu bulan lagi. Pengumuman besar telah dipasang di papan pengumuman kampus tentang deretan acara yang akan dilaksanakan dalam memperingati acara ulang tahun kampus tahun ini. Bella dan Fika yang baru datang ke kampus segera mendekat ke papan pengumuman di mana banyak mahasiswa telah berkumpul.
“Ada apa?” tanya Fika, pada salah satu mahasiswa yang berdiri di deretan paling belakang.
“Ada pengumuman ulang tahun kampus,” jawab mahasiswa itu.
“Benarkah? Kapan acaranya?” tanya Fika, tampak penasaran.
“Acara puncaknya bulan depan, tapi mulai minggu depan sudah ada beberapa acara untuk memperingati ulang tahun kampus kita,” jelas mahasiswa itu.
“Wah ... pasti sangat menarik,” komentar Fika, setelah mendengar penjelasan mahasiswa itu.
Fika berjingkat untuk bisa memandang pengumuman di depan mereka. Tubuhnya yang pendek membuat dia tidak bisa menembus kepala orang-orang yang ada di depannya. Bella yang memiliki postur tubuh hampir sama dengan Fika juga tidak bisa melihat papan pengumuman karena terhalang tubuh orang-orang yang lebih tinggi darinya.
Butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya Bella dan Fika berada di depan papan pengumuman dan bisa dengan leluasa membaca pengumuman yang tertempel di papan.
“Lihat, Bel, banyak acara dan lomba-lomba yang akan diselenggarakan,” kata Fika, memandang deretan acara dan lomba-lomba untuk memeriahkan ulang tahun kampus tahun ini. “Lomba cerdas cermat, pidato, debat, memasak, menyanyi, dance ... Wah ... kamu harus ikut lomba-lomba ini, Bel,” ujarnya membaca beberapa macam lomba yang akan diselenggarakan.
“Kenapa harus aku? Kamu saja yang mengikuti lomba-lomba itu, Fik,” kata Bella, menolak usul dari Fika.
Bella dan Fika telah selesai membaca semua pengumuman yang terpasang di papan dan sekarang mereka bergeser ke samping untuk memberikan kesempatan pada mahasiswa lainnya yang ingin membaca pengumuman itu. Bella dan Fika kemudian menjauh dari papan pengumuman dan berjalan menyusuri koridor kampus menuju ke kelas mereka.
“Kamu, kan, pintar dan jago nyanyi, Bel. Masakan buatan kamu juga enak,” kata Fika, menyebutkan keahlian yang dimiliki Bella.
“Kamu terlalu berlebihan, Fik. Aku nggak sejago itu,” sanggah Bella. “Aku lebih tertarik untuk ikut bakti sosial,” lanjutnya menambahkan.
Ada acara bakti sosial yang akan diadakan di kampus ini pada awal bulan nanti. Bella ingin berpartisipasi dalam acara itu. Sejak dulu, Bella suka mengikuti acara-acara sosial. Menurutnya hal itu bisa melatih kepedulian terhadap sesama.
“Nggak masalah kalau kamu mau ikut acara bakti sosial itu, Bel, tapi kamu juga harus ikut salah satu lomba yang tadi,” timpal Fika.
Bella mengangkat kedua bahunya. “Kita lihat nanti saja, Fik.”
“Kira-kira acara puncak nanti ada apa aja, ya, Bel?” tanya Fika, mengganti topik pembicaraan.
“Aku juga nggak tahu, Fik. Di pengumuman tadi nggak ada penjelasan tentang acara puncak bulan depan,” jawab Bella.
“Mungkin nggak sih kalau acaranya itu konser dengan bintang tamu penyanyi atau band ternama dari Jakarta, Bel?” tanya Fika, memandang Bella.
“Mungkin saja, Fik,” sahut Bella.
“Aku harap kampus kita mengundang Judika atau band Ungu, Bel. Aku sangat mengidolakan mereka,” ucap Fika, penuh harap.
“Amiin. Kita berdoa saja, Fik,” kata Bella, mengamini harapan Fika.
Sepanjang hari ini acara ulang tahun kampus menjadi bahan pembicaraan di seluruh penjuru kampus. Ke mana pun Bella pergi, dia mendengar para mahasiswa membicarakan acara ulang tahun kampus yang akan segera diselenggarakan dan membandingkannya dengan acara tahun kemarin.
oOo
Siang hari ini, Rendra berada di ruang BEM untuk melakukan rapat persiapan acara ulang tahun kampus tahun ini. Rangkaian acara yang akan dilaksanakan untuk memeriahkan ulang tahun kampus tahun ini sudah diumumkan di papan pengumuman kampus tadi pagi. Banyak mahasiswa yang langsung mengerumuni dan membaca pengumuman itu.
“Jadi, persiapannya sudah beres semua?” tanya Iqbal, yang ditunjuk sebagai ketua panitia acara perayaan ulang tahun kampus tahun ini.
“Hampir sembilan puluh persen, Bal. Mulai besok kita akan mulai pendaftaran lomba-lomba,” jawab Ervan.
“Siapa yang bertanggung jawab dalam proses pendaftaran?” tanya Iqbal lagi.
“Gue, Bal,” sahut Yoga, mengacungkan tangan.
“Oke. Gue minta lo awasi proses pendaftaran nanti dan pastikan kuota peserta di setiap lomba terpenuhi, Ga,” kata Iqbal, memandang Yoga yang duduk di seberang meja.
“Oke, Bal,” ucap Yoga, menyanggupi.
“Lo juga bertanggung jawab dalam acara baksos, kan, Ga?” tanya Iqbal lagi.
“Iya, Bal,” sahut Yoga, menganggukkan kepala.
“Gue mau lo persiapkan acara baksos sebaik mungkin, Ga. Cek kembali barang-barang untuk baksos. Jangan sampai jumlahnya kurang,” perintah Iqbal.
“Siap, Bal.”
“Untuk acara puncak nanti, apa kalian memiliki ide untuk membuatnya menjadi spesial?” tanya Iqbal, meminta pendapat para peserta rapat siang hari ini.
“Kenapa nggak mengundang penyanyi ibu kota seperti tahun-tahun sebelumnya, Bal?” Ika balik bertanya kepada Iqbal.
“Tahun ini anggaran kita nggak cukup untuk mengundang penyanyi ibu kota, Ka. Para dosen juga banyak yang nggak setuju dengan hal itu. Mereka berpendapat lebih baik uangnya digunakan untuk baksos atau menambah jumlah hadiah juara lomba daripada untuk membayar penyanyi ibu kota,” kata Iqbal, menjelaskan. “Secara pribadi, gue setuju dengan pendapat para dosen itu. Rasanya sayang kalau uang puluhan juta itu hanya digunakan untuk membayar lima atau enam lagu yang dinyanyikan para penyanyi ibu kota. Lebih baik uangnya digunakan untuk kegiatan lainnya,” lanjutnya berpendapat.
“Gue setuju dengan pendapat elo, Bal. Daripada menghambur-hamburkan uang dengan mengundang penyanyi ibu kota, lebih baik kita mengundang penyanyi lokal atau mahasiswa kampus ini yang jago menyanyi. Kita bisa membayar mereka dengan anggaran yang jauh lebih murah,” kata Ervan, setuju dengan pendapat Iqbal.
“Bicara tentang mahasiswa kampus ini yang jago menyanyi, kenapa bukan Rendra saja yang menyanyi di acara puncak nanti, Bal?” kata Aska, angkat bicara.
“Betul banget tuh. Rendra, kan, jago menyanyi,” timpal Ika, setuju.
“Kenapa jadi gue? Masih banyak mahasiswa yang jago menyanyi di kampus ini. Gue jadi panitia saja,” kata Rendra, menolak. “Bukankah nanti ada lomba menyanyi? Juara lomba itu saja yang diminta menyanyi pada acara puncak,” lanjutnya memberi saran lain.
“Boleh juga ide elo, Ren. Nanti juara lombanya kita duetkan sama elo,” timpal Yoga, menyampaikan pendapatnya.
“Ide yang bagus tuh. Gue setuju sama elo, Ga,” kata Aska, mengacungkan kedua jempolnya ke arah Yoga.
“Gue juga setuju,” timpal Ervan.
Yoga tersenyum mendengar persetujuan teman-temannya, sementara Rendra melotot menatap Yoga. Rendra merasa Yoga sedang mengerjainya lagi. Rendra memang bisa menyanyi meskipun tidak begitu jago. Namun, dia tidak pernah tampil di depan umum, apalagi di hadapan seluruh mahasiswa kampus ini. Rendra merasa ngeri hanya dengan membayangkannya saja.
“Oke. Untuk yang lainnya gimana? Apa semua setuju dengan usul dari Yoga?” tanya Iqbal, mengedarkan pandangan ke seluruh panitia rapat.
“Enggak!”
“Setujuuu ....”
Rendra menolak dengan tegas, tapi seluruh teman-temannya justru menyetujui ide itu.
“Baiklah. Kalau begitu sudah diputuskan, Rendra akan menyanyi di acara puncak bersama juara lomba menyanyi,” kata Iqbal, mengambil keputusan.
Rendra melotot mendengar keputusan itu. “Gue nggak setuju, Bal. Gue nggak mau menyanyi di acara puncak nanti,” tolak Rendra, menatap Iqbal.
“Tapi, seluruh panitia rapat menyetujuinya, Ren. Jadi, elo harus tetap menyanyi nanti,” kata Iqbal, balas memandang Rendra. “Gue juga setuju dengan mereka. Suara elo bagus, Ren. Penampilan elo pasti akan menjadi kejutan bagi seluruh mahasiswa di kampus ini,” lanjutnya kemudian.
“Bukan mereka yang terkejut, tapi gue, Bal. Gue nggak pernah menyanyi di depan umum,” jelas Rendra..
“Nah .. kalau begitu ini akan menjadi debut pertama elo, Ren,” timpal Yoga. “Gue yakin para mahasiswa akan semakin mengidolakan elo setelah mereka mendengar suara indah elo, Ren,” sambungnya tersenyum penuh arti ke arah Rendra.
Rendra melotot. Rasanya dia ingin memukul wajah Yoga karena telah membuat dia berada dalam situasi seperti ini.
oOo