Bab 7

1019 Words
Reyhan berdiri di depan jendela kantornya dengan wajah gelisah. Sudah hampir seminggu dia tidak berhasil menghubungi Alena. Pesan-pesannya hanya centang satu. Telepon, hanya suara operator yang terdengar. Bahkan, ia sampai datang ke rumah kontrakan Alena—dan mendapati tempat itu kosong. “Ke mana kamu, Alena…” desis Reyhan lirih, tatapannya jauh menembus kaca. Baru saja ia hendak duduk kembali, seorang staf masuk membawa sebuah amplop putih mewah. “Tuan Reyhan, ini ada undangan untuk Anda,” ucapnya sambil menyerahkan undangan itu. Reyhan menerimanya tanpa curiga. Namun begitu ia membaca nama yang tertera di sana, napasnya tercekat. Undangan Pernikahan Alena & Tristan Adiprana Tanggal dan tempat pernikahan pun tercetak jelas di bawahnya, dengan hiasan bunga yang elegan. Tangan Reyhan mengepal begitu kuat hingga urat-uratnya menonjol. Matanya membelalak penuh amarah dan kebingungan. “Tidak mungkin…” gumamnya. “Tidak mungkin Alena menikah dengan Tristan! Bukankah dia hanya menjadi Ibu Pengganti?” Dia menjatuhkan diri ke sofa, menatap kosong undangan di tangannya. “Sia-sia… semua sia-sia kalau seperti ini…” Reyhan memejamkan mata, mengingat perjuangannya. Mengingat kesepakatan mereka. Mengingat saat-saat ia meyakinkan Alena untuk bersedia menerima tanam embrio. Semua demi keinginannya menjadikan Alena miliknya. Tapi sekarang? Reyhan meraih ponselnya lagi, mencoba menelepon Alena untuk kesekian kalinya. Masih sama. Tak terhubung. "Alena… apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu tiba-tiba mau menikah dengannya? Apa dia mengancammu?" Ia bangkit, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya. Hatinya penuh pertanyaan yang belum terjawab. Kalau Alena menikah dengan Tristan, lalu bagaimana dengan anak yang sedang dikandungnya? Bukankah itu benihnya? “Apakah… apakah Tristan tahu embrio itu benihku?” pikir Reyhan, panik mulai merayapi benaknya. Tiba-tiba, Reyhan membanting undangan itu ke meja. “Aku tidak akan tinggal diam! Aku akan datang ke pernikahan itu. Aku akan menuntut penjelasan. Aku berhak tahu apa yang terjadi!” Ia segera mengambil ponselnya lagi dan menelepon asistennya. “Gina, siapkan jadwal kosong untuk hari Sabtu. Dan pastikan aku mendapat akses masuk ke acara pernikahan keluarga Adiprana!” Gina di ujung telepon terdengar kaget. “Acara pernikahan? Bukankah Tuan Adiprana sudah punya istri?” “Kamu benar, dan lelaki b******n itu ingin menikah lagi!” jawab Reyhan dingin. “Namun aku akan pastikan pernikahan itu tidak akan berjalan semulus yang mereka harapkan.” Amarah yang membuncah membuat Reyhan meneguhkan tekadnya. Ia akan mencari tahu segalanya. Alena tidak mungkin begitu saja berpaling darinya—kecuali ada sesuatu yang disembunyikan. Dan dia akan membongkarnya, meski harus menghadapi Tristan Adiprana sendiri. --- Derap langkah tamu undangan yang lalu-lalang terdengar samar di antara dentuman musik pernikahan. Alena melangkah cepat menuju toilet dengan gaun putih panjangnya sedikit terangkat agar tidak terseret lantai. Matanya sembab, tapi senyum harus terus ia paksakan sepanjang acara berlangsung. Namun, langkahnya terhenti saat suara familiar menghentikannya. “Lena.” Alena menoleh. Reyhan berdiri tak jauh dari sana, mengenakan setelan hitam rapi. Wajahnya tegang, sorot matanya penuh kemarahan dan luka yang tak bisa disembunyikan. “Aku ingin bicara,” katanya cepat, nyaris memerintah. “Rey... tolong jangan di sini,” bisik Alena gugup. “Tidak ada alasan, Lena! Kamu sudah cukup lama menghindar.” Reyhan menarik lengan Alena pelan tapi tegas, membawanya ke lorong kecil dekat toilet wanita yang cukup sepi dari keramaian pesta. Begitu sampai, suasana langsung panas. “Kenapa kamu lakukan ini, Lena? Kenapa kamu menikah dengannya?” suara Reyhan bergetar. “Apa kamu sudah lupa janji kita? Aku percaya padamu! Tapi ternyata, kamu lebih memilih menjadi istri kedua lelaki b******n itu daripada menjadi istriku!” Alena menahan napas, tubuhnya gemetar. “Rey... aku juga nggak ingin seperti ini.” “Bohong!” potong Reyhan tajam. “Seandainya saat itu kamu mau menerima bantuanku, semua ini nggak akan terjadi! Kamu egois! Kamu cuma mikirin harga dirimu tanpa peduli perasaanku!” “Maafkan aku…” suara Alena serak. “Kupikir... aku masih bisa kendalikan semuanya. Kupikir, Tristan hanya meminjam rahimku. Setelah bayi ini lahir, aku bisa pergi. Tapi dia... dia menjebakku, Rey! Dia bilang, kalau aku nggak mau menikahinya, aku harus kembalikan semua uangnya! Mana bisa aku lakukan itu?” Reyhan mengepalkan tangan. “Kamu bisa minta ke aku, Lena. Kamu tahu aku bisa bantu! Tapi kamu memilih dia! Atau... jangan-jangan kamu memang cinta sama dia?” Alena menggeleng cepat. “Nggak! Aku nggak cinta dia! Aku cuma terjebak, Rey...” “Munafik!” bentak Reyhan. “Kamu bilang nggak cinta, tapi kamu pakai cincin itu dengan bangga! Kamu berdiri di pelaminan tadi seperti wanita yang paling bahagia! Apa semua itu cuma sandiwara?” Air mata Alena jatuh begitu saja. Ia tak mampu lagi menahan sesaknya. “Aku... aku cuma nggak tahu harus bagaimana lagi...” Reyhan menggeleng pelan, matanya kini berkaca-kaca. “Kamu menghancurkan semua harapan yang pernah aku bangun, Lena. Kamu bukan wanita yang kukenal lagi. Kamu berubah.” Lalu tanpa menunggu jawaban, Reyhan membalikkan badan dan pergi meninggalkan Alena sendiri. Alena berdiri terpaku. Tubuhnya lunglai bersandar di dinding lorong. Isakannya tertahan, tapi air matanya terus mengalir. --- Sementara itu, dari kejauhan, Melina berdiri anggun dengan gaun merah menyala. Tangan kirinya memegang gelas sampanye, sementara matanya mengamati setiap gerakan Alena dan Reyhan yang sedang bertengkar di lorong dekat toilet. Wajahnya yang semula datar, namun sudut bibirnya perlahan terangkat. "Akhirnya aku punya sekutu juga," gumamnya pelan dengan senyum licik menghiasi wajahnya. Saat melihat Reyhan melangkah pergi dengan wajah marah, Melina langsung bergerak cepat. Tumit stiletto-nya mengetuk lantai marmer dengan percaya diri. Ia menghadang langkah Reyhan sebelum lelaki itu keluar dari gedung pesta. "Reyhan," panggilnya tenang. Reyhan menoleh, keningnya mengernyit melihat wanita itu. "Siapa kamu?" tanyanya ketus. "Mau apa kamu memanggilku? Bukankah kamu istri pertama mempelai pengantin pria?" Melina tertawa kecil, lalu menatap Reyhan tajam. “Kamu tepat sekali! Aku cuma ingin menawarkan kerja sama.padamu.” Reyhan memicingkan mata. “Kerja sama?” “Ya. Kita berdua sama-sama punya musuh yang sama sekarang: Alena,” ucap Melina tanpa ragu. “Dan tentu saja, Tristan.” Reyhan menyeringai sinis. “Akhirnya kamu sadar suamimu mulai tergoda wanita lain, ya?” Melina mendekat, suaranya menurun. “Aku tahu Tristan mulai berubah sejak wanita itu masuk ke rumah kami. Tapi aku tak akan membiarkan perempuan seperti Alena merebut hidupku.” “Lalu apa rencanamu?” tanya Reyhan curiga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD