Bab 6

1027 Words
"Aarrrggghh!" Melina membuang semua make up yang ada di meja riasnya. Pecahan kaca berhamburan di lantai kamar tidurnya, tetapi Tristan tak bergeming sedikit pun. Ia hanya berdiri tegak, dengan wajah dingin dan tatapan yang menusuk. “Kau gila, Tristan!” pekik Melina, matanya melotot penuh amarah. “Kau bilang sendiri, ini hanya kontrak! Kita hanya menyewa rahimnya, bukan tubuhnya! Dan sekarang kau bilang ingin menjadikannya istri keduamu? Dimana otak kamu?” Tristan menatap Melina datar. Napasnya berat, namun ekspresinya tetap tenang. “Memangnya, kenapa kalau aku menjadikannya istri kedua? Aku kaya dan mampu, agama tidak melarang jika aku ingin menikah lagi!" Melina menggelengkan kepalanya. Air mata sudah mengalir di pipinya. "Kamu jangan bercanda, Tristan! Ini sama sekali nggak lucu!" "Aku nggak main-main, Melina. Aku serius. Alena mengandung anakku. Dan aku ingin, menjadikan dia istri keduaku. Karena nantinya, dia akan mengandung anak-anakku yang lain!” “Anak kita, Tristan! Itu anak kita! Embrio hasil bayi tabung! Jangan putar balik fakta demi pembenaran nafsumu sendiri!” Melina berteriak sambil menunjuk wajah suaminya. “Kau memang lelaki yang nggak tahu diri, Tristan! Meniduri perempuan yang seharusnya cuma alat bagi kita!” Tristan mendekat perlahan, lalu menunduk sedikit menatap mata istrinya. “Bukan aku yang nggak tahu diri, Melina! Tapi kamu! Kamu yang nggak tahu diri! Sebagai seorang istri, kamu sering mengabaikan tanggung jawabmu hanya karena pekerjaan sialanmu itu! Padahal, tanpa kamu bekerja pun, aku masih mampu menghidupi kamu! Bahkan sepuluh wanita lagi pun aku masih mampu!" "Oke, aku yang salah. Mulai sekarang, aku akan mengurangi jadwalku, asalkan, kamu tidak menikahinya, ya?" pinta Melina merendah. Dia tahu, jika dia ngotot saat ini, Tristan akan marah besar. Dan sudah bisa dipastikan, lelaki itu akan menikahi Alena besok. Tristan tersenyum sinis. "Kalau kamu masih ngotot ingin mempertahankan statusmu sebagai istriku satu-satunya, aku kasih kamu syarat.” Melina menatap curiga. “Syarat? Syarat apa?” “Aku akan urungkan niatku menikahi Alena,” ucap Tristan tegas. “Tapi... kamu harus keluar dari dunia modelling. Fokuslah menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak kita nanti. Aku ingin, kamu ada di rumah, menyambutku saat aku pulang. Menemani aku makan malam, tidur, dan… hal lainnya.” Melina ternganga, tak percaya dengan yang didengarnya. “Tristan, apa kamu sudah gila? Aku sudah membangun karierku bertahun-tahun. Dunia modelling bukan cuma pekerjaan, itu duniaku! Kamu tahu itu! Aku nggak bisa meninggalkannya!” Tristan mendesah pelan, lalu berbalik berjalan menjauh. “Terserah, kalau itu maumu. Aku juga punya jati diri sebagai suami yang butuh istri di rumah, bukan sekadar nama di kartu keluarga. Kalau kamu nggak bisa kasih itu, aku akan cari perempuan lain yang bisa melakukannya.” “Kau serius akan menikahi dia?” suara Melina melemah, nyaris berbisik. “Kau benar-benar tega, Tristan! Apa kamu tidak mengerti, bagaimana sakitnya hati wanita yang diduakan?” Tristan berhenti, membalikkan badan, menatap Melina tajam. “Aku nggak peduli dengan apapun, Melina! Yang jelas, aku nggak mau terus hidup begini, Melina. Aku lelah. Aku lelah kamu tinggalin sendirian, aku lelah menunggumu. Dan Alena—dia lembut, perhatian, dan selalu ada untukku. Dia bukan sekadar rahim pengganti lagi buatku.” Melina terduduk di lantai, wajahnya pucat pasi. Tangannya menggenggam lutut, seolah tubuhnya tak sanggup menopang berat tubuhnya. Dia tak rela kehilangan Tristan. Tapi dia juga tak sanggup meninggalkan dunia yang telah membesarkan namanya. Sadar Tristan sudah menjauh, Melina langsung menyusulnya dengan langkah cepat. “Tristan, tunggu! Kamu pikir aku akan diam saja melihat kau berbuat seperti ini, Tristan?” teriaknya sambil menunjuk d**a suaminya. “Aku akan bilang semuanya ke Mama! Ke Papa! Biar mereka tahu suami macam apa kamu sebenarnya! AKu yakin, Papa dan Mama tidak akan setuju kamu menikahi wanita gembel seperti dia, meskipun, dia sudah mengandung anakmu!” Tristan hanya mendengus pelan. Ia tidak tampak takut sedikit pun. Dengan santai ia menyilangkan tangan di d**a, menatap Melina seperti menatap seorang anak kecil yang sedang mengamuk. “Silakan saja,” jawabnya tenang. “Tapi kalau kamu mau main seperti itu, aku juga bisa buka semua kartumu.” Melina mengernyit, “Apa maksudmu?” Tristan tersenyum sinis. "Kamu pikir, aku tidak tahu rahasiamu!" Melina melotot tajam. "Rahasia apa?" “Aku akan bilang ke mereka,” lanjut Tristan pelan namun tajam, “kalau kamu tidak bisa hamil. Bahwa alasan kita memakai jasa rahim pengganti adalah karena kamu yang mandul, bukan aku. Dan Alena… sekarang sedang mengandung anakku. Bukan hanya anak kita. Tapi anakku, darah dagingku.” Wajah Melina seketika memucat. Jantungnya seperti dihantam palu godam. Untuk sesaat, ia kehilangan kata-kata. Tak pernah ia sangka, Tristan akan menggunakan kelemahannya yang paling dalam yang selama ini ia sembunyikan dari siapapun termasuk orangtuanya sendiri. “Tristan…” bisiknya dengan suara nyaris tak terdengar. “Kau… tak mungkin…” “Kalau kamu bisa mengancam aku dengan keluargaku,” potong Tristan tajam, “aku juga bisa gunakan fakta ini sebagai pelindungku. Kita sama-sama tahu, kalau papa dan mamaku sangat ingin memiliki cucu. Dan jika mereka tahu kamu tidak bisa memberikan hal itu… mereka pasti akan memihak padaku.” Melina mendesah panjang, dadanya naik turun menahan emosi. Matanya memerah, bukan lagi karena amarah semata, tetapi juga karena rasa tak berdaya yang menyakitkan. “Kau kejam,” gumamnya getir. “Kau benar-benar kejam, Tristan.” Tristan melirik ke arah jam tangannya, lalu kembali menatap Melina. “Aku hanya realistis. Aku tidak pernah ingin menyakitimu, Mel. Tapi kamu yang memaksaku sampai di titik ini. Aku ingin jadi ayah. Aku ingin jadi suami yang dihargai. Kalau kamu tidak bisa memberikan itu, setidaknya jangan larang aku mendapatkannya dari orang lain.” Melina menggigit bibirnya, menahan air mata yang nyaris tumpah. Ia tahu, dalam pertarungan ini, ia kalah telak. Tidak ada lagi senjata yang bisa ia gunakan. Tidak ada lagi ancaman yang bisa menjatuhkan Tristan. Satu-satunya jalan agar rumah tangga mereka tidak sepenuhnya runtuh—ialah menerima Alena. “Kalau aku setuju… kamu akan tetap merahasiakan semua tentang aku?” tanyanya dengan suara gemetar. Tristan mengangguk. “Kalau kamu tidak menghalangi aku… aku juga tidak akan menghancurkan kamu.” Melina menutup mata, menahan rasa perih di dadanya. Dunia modelling adalah hidupnya, dan jika dia ingin tetap berada di sana… dia harus belajar hidup dengan kehadiran Alena. Meski itu terasa seperti menelan racun tiap harinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD