Bab 5

1004 Words
"Tristan! Keluar kamu! Ngapain kalian berdua di dalam? Pakai di kunci lagi kamarnya!" Tristan menatap wajah Alena. Ketakutan jelas terlihat di wajah wanita itu. "Pakai dulu pakaianmu, baru aku akan membuka pintunya," ujar Tristan sambil membelai rambut Alena. "Tapi, bagaimana dengan Melina?" tanya Alena cemas. "Urusan Melina, serahkan padaku!" Alena belum selesai berganti pakaian saat pintu kamarnya kembali diketuk, kali ini lebih pelan, namun tetap saja, hati Alena serasa berlompatan keluar. Apalagi, mereka kepergok berduaan di kamar dengan kondisi yang ... Setelah itu, Tristan muncul, hanya mengenakan handuk yang melingkari pinggangnya, tampak santai dengan wajah tanpa dosa. Melina yang masih berdiri di ambang pintu menatap Tristan dengan tatapan tajam. "Apa yang kamu lakukan di sini?" teriaknya, suara penuh amarah. Tristan memandang Melina tanpa mengalihkan pandangan dari arah pintu kamar Alena. "Mandi," jawabnya dengan nada datar, sesederhana itu, seolah kehadirannya di kamar Alena hanyalah sebuah kebetulan kecil. Melina pun masuk lalu berdiri tepat di depan Alena yang masih menunduk dalam diam. Wajah Alena pucat, tubuhnya gemetar, dan tangannya menggenggam erat ujung selimut seolah berusaha menutupi kegugupannya. "Aku tanya sekali lagi, Lena. Kalian habis ngapain?" suara Melina tajam seperti pisau. "Apa kalian habis bercinta?" Alena menahan napas. Tubuhnya menegang, lidahnya kelu, dan pikirannya kacau. Ia tahu betul jika ia menjawab ‘tidak’, Melina mungkin tak akan percaya. Karena bukti sudah di depan mata. Namun, jika ia berkata jujur, wanita itu bisa saja menyerangnya saat itu juga. Melina menyipitkan mata, lalu berjalan mendekat. Tangannya terangkat dan menunjuk wajah Alena dengan kasar. “Dengar baik-baik! Tugasmu di rumah ini hanya satu—melahirkan anak kami. Bukan melayani suamiku di tempat tidur! Camkan itu!” Alena mengepalkan tangannya, mencoba menahan rasa sakit yang berkecamuk dalam d**a. Ia ingin menjawab, ingin menjelaskan, ingin membela diri. Tapi bibirnya hanya bergetar tanpa suara. Rasa bersalah dan takut memenuhi relung hatinya. “Aku... kita nggak ngapa-ngapain, Mbak—” gumam Alena pelan, nyaris tak terdengar. “Diam!” bentak Melina. “Jangan pura-pura polos, Lena. Kamu pikir aku bodoh? Lihat wajahmu! Lihat keadaan kamar ini! Kamu pikir aku nggak tahu kalian berdua habis ngelakuin apa?” Air mata Alena mulai menggenang, namun ia tetap menunduk. Dadanya sesak, tapi ia tak ingin menangis di depan Melina. Melina menghela napas panjang, lalu menatapnya dari atas ke bawah dengan jijik. “Kalau kamu berpikir bisa merebut Tristan dariku dengan kehamilan ini, kamu salah besar. Kamu cuma alat, Lena. Alat untuk kami punya anak. Setelah bayi itu lahir, kamu akan pergi dari rumah ini!” Alena menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan suara isak. Ia tak pernah berniat merebut Tristan. Bahkan, ia tak pernah ingin terlibat sejauh ini. Tapi semuanya terjadi begitu saja, begitu cepat, dan kini ia terjebak dalam permainan yang tak ia mengerti. Melina melangkah mundur, menatapnya untuk terakhir kali dengan penuh amarah. “Aku nggak akan biarkan kamu menghancurkan pernikahan kami. Sekali lagi aku lihat kamu menggoda suamiku, kamu akan aku usir dari rumah ini, bahkan kalau kamu sedang hamil sekalipun.” Setelah itu, wanita itu berbalik dan menutup pintu dengan keras, meninggalkan Alena sendiri. Tangis Alena pun pecah. Wanita itu hanya bisa meratapi takdir yang saat ini dia jalani. Ia menggenggam perutnya yang masih datar, namun ia tahu—ada kehidupan kecil di dalam sana. “Apa yang sudah aku lakukan…” gumamnya lirih, nyaris hanya bisikan untuk dirinya sendiri. Alena merutuki kebodohannya. Kenapa bisa begitu mudah luluh oleh ancaman Tristan? Kenapa ia tak menolak? Kenapa tubuhnya diam ketika hatinya memberontak? “Seandainya aku bisa lebih kuat... Seandainya aku menolak waktu itu... mungkin aku masih bisa menjaga diriku,” suaranya lirih dan bergetar, terisak di tengah penyesalan yang mendalam. Alena menutup wajahnya dengan kedua tangan, mengingat malam itu dengan jelas—betapa Tristan memanfaatkan kelemahannya, menyentuhnya dengan penuh kelembutan membuat Alena tak mampu berontak dan menyerah pada lelaki itu. Kesucian yang seharusnya dia berikan untuk Reyhan, justru direnggut oleh Tristan. “Aku bodoh… aku bodoh…,” ucapnya lirih berulang-ulang. Alena memeluk lututnya, tubuhnya membungkuk, mencoba mengecilkan diri seolah ingin lenyap dari dunia ini. Tiba-tiba suara pintu berderit pelan. Alena refleks menoleh. Tristan berdiri di ambang pintu, masih dengan rambut basah dan tatapan penuh kepuasan yang membuat Alena ingin menonjoknya. “Lena…” suaranya dalam dan tenang, seakan tak ada yang terjadi. “Kamu kenapa menangis?” Alena buru-buru menyeka air matanya. “Keluar, Tristan. Tolong… biarkan aku sendiri.” Tristan masuk begitu saja, mendekat, lalu duduk di tepi ranjang. “Aku cuma pengin memastikan kamu baik-baik aja.” “Setelah semua yang kamu lakukan?” Alena menatapnya tajam, meski air matanya masih membasahi pipi. “Kamu pikir aku masih bisa baik-baik saja?” Tristan terdiam sejenak. Tatapannya berubah lembut, tapi tetap ada kilatan amarah di sana. “Aku nggak pernah berniat nyakitin kamu, Lena. Aku cuma… nggak rela kamu dimiliki oleh lelaki lain. Sejak kamu menandatangani kontrak itu, kamu hanya milikku, Lena.” Alena menggeleng, napasnya berat. “Kamu sudah merusak semuanya, Tristan. Kamu nggak cuma hancurkan aku… kamu juga hancurkan kepercayaanku. Aku bukan perempuan yang bisa kamu miliki semaumu.” Tristan menarik napas dalam, lalu berdiri. “Kamu nggak ngerti sekarang, tapi suatu saat kamu akan ngerti. Aku mencintaimu, Lena. Sejak pertama kali kita bertemu di toko roti itu. Aku pikir, aku bisa melupakanmu, tetapi ternyata tidak. Dan saat aku tahu wanita yang menjadi surrogate mother itu adalah kamu, aku berjanji pada diriku, untuk tidak lagi melepaskanmu!” Tristan meninggalkan kamar, dan Alena kembali sendiri. Terisak, meratapi dirinya yang kini tak lagi suci. Sementara itu di luar kamar, Melina menarik suaminya ke dalam kamar. Wanita itu menatap tajam sang suami yang telah mengkhianatinya. "Kenapa ... kenapa kamu tega melakukan hal ini, Tristan? Bukankah kamu sudah berjanji hanya akan menjadikan dia ibu pengganti, kenapa kamu malah menidurinya?" bentak Melina sambil memukuli d**a sang suami. Tristan menangkap tangan sang istri. "Salah sendiri, kamu meninggalkanku begitu saja saat aku sedang onfire! Kamu tentu tahu bagaimana rasanya, bukan? Jadi, jangan salahkan aku jika aku mencari wanita lain." Tristan pun pergi meninggalkan kamar, tetapi, sebelum membuka pintu, lelaki itu berkata. "Ohh iya, bersiaplah. Alena akan menjadi istri keduaku!" "Apa?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD