Bab 12

1055 Words
Melina duduk di ruang tamu apartemennya, menatap layar ponsel dengan kesal. Seminggu ini hanya ada 2 tawaran pekerjaan, itupun di hari Senin dan Selasa. Akhir pekan yang biasanya padat dengan pemotretan dan fashion show kini kosong dan menyiksa. Apalagi dia tahu, Tristan sedang berada di rumah bersama Alena. Bersama istri keduanya. Melina mendesah keras. Ia tak bisa membiarkan ini terjadi. Tak mungkin dia membiarkan Alena memonopoli waktu Tristan, apalagi saat dirinya tak sedang bekerja. Dengan cepat, ia mengambil ponsel dan menghubungi Tristan. "Ya?" suara dingin Tristan terdengar di ujung sana. "Mas, aku cuma mau ngomong sebentar. Tolong dengar dulu, jangan langsung marah," ucap Melina cepat, takut dipotong. Tristan mendengus. "Cepat." "Mas, minggu ini, Senin dan Selasa aku ada pemotretan. Jadi aku nggak bisa ketemu kamu di hari itu. Gimana kalau kita tuker aja harinya. Aku ambil Jumat sampai Minggu, Alena yang Senin sampai Kamis." Beberapa detik hening. Lalu suara Tristan terdengar tegas. "Tidak bisa, Melina." "Kenapa?" Melina mulai panik. "Cuma tukar hari, Mas. Cuma tiga hari aja!" "Jumat aku sudah ada janji dengan dokter kandungan Alena untuk kontrol. Aku nggak mau ganti jadwal. Sudah aku bilang sebelumnya, kan? Jangan pernah minta ganti hari." Melina mengepalkan tangannya. "Tapi, Mas—" "Melina," potong Tristan tajam. "Itu urusanmu kalau harimu berkurang karena kerjaanmu. Kamu sendiri yang memilih jadi model. Jangan bawa-bawa aku. Waktu kita sudah jelas dan tidak bisa diganggu." Masih tidak mau menyerah, Melina mencoba membujuk lagi. "Kalau begitu, kontrol kandungannya dimajukan aja, Mas. Jadi kamu bisa sama aku Jumat sampai Minggu. Rabu atau Kamis juga bisa kan periksa kandungan?" Tristan menghela napas panjang, lalu suaranya meninggi. "Cukup, Melina! Kamu pikir periksa kehamilan itu bisa diatur sesuka hati? Kamu pikir kandungan Alena bisa dicocok-cocokin dengan jadwal kamu? Jangan egois!" "Mas—aku cuma mau waktu lebih sama kamu," lirih Melina, mulai terisak. Namun Tristan tak luluh. "Kamu sudah tahu perjanjiannya sejak awal. Dan kamu juga tahu posisimu. Jangan coba-coba mengubahnya. Kalau kamu tidak ada di rumah pada waktumu, itu hak kamu. Tapi jangan pernah harap aku akan mengganti harimu." Sambungan telepon diputus sepihak. Melina menatap ponselnya dengan napas terengah. Matanya memerah, dadanya terasa sesak. "Alena lagi-lagi menang," gumamnya getir. "Tapi dia belum tahu... aku belum menyerah." --- Pagi itu, Alena tidur sendirian karena Tristan sedang bersama Melina. Ia bangun dengan rasa berat di kepala. Pusing luar biasa membuatnya menutup mata kembali. Tapi rasa ingin buang air memaksanya untuk bangkit. Dengan susah payah, ia duduk di tepi ranjang, lalu berdiri sambil memegang dinding untuk menopang tubuhnya yang lemas. "Kenapa dunia... terasa berputar..." gumamnya lirih. Langkah kakinya gemetar saat ia berjalan menuju kamar mandi. Setibanya di sana, ia merapatkan tangan di tembok, mencoba menstabilkan tubuhnya. Setelah selesai buang air kecil, ia berdiri dan hendak kembali ke kamar. Namun baru saja melangkah, tiba-tiba semuanya gelap. BRUKK! Tubuh Alena jatuh menghantam lantai kamar mandi. Tak ada suara jeritan, hanya suara benda terjatuh yang menggema. Sementara itu, di lantai bawah, Helena tengah duduk di meja makan sambil menunggu menantunya turun. Wajahnya terlihat cemas ketika melihat waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat. “Biasanya jam segini Alena sudah di meja makan,” gumam Helena. Ia berdiri dan memanggil pelan, “Alenaaa? Sayang, kamu turun nggak?” Tak ada jawaban. Firasat buruk pun langsung menyelinap di d**a Helena. Dengan cepat, ia naik ke lantai atas. Jantungnya berdetak semakin cepat saat membuka pintu kamar Alena yang tidak dikunci. Kamar tampak kosong. Ia mendengar suara air menetes dari arah kamar mandi. "Alena?" panggil Helena, membuka pintu kamar mandi perlahan. Begitu pintu terbuka penuh, matanya membola. Di hadapannya, Alena tergeletak tak sadarkan diri di lantai dengan wajah pucat. "Astaga! Alena!!" Helena segera berlutut, menyentuh pipi menantunya yang dingin. "Sayang! Bangun, Alena! Astaga, tolong!!" teriaknya panik. Ia mengambil ponsel dari saku daster dan segera menghubungi Tristan. “Tristan! Cepat pulang! Alena pingsan di kamar mandi! Aku takut terjadi sesuatu sama kandungannya!” “APA?! Aku segera ke sana, Ma!” suara Tristan terdengar panik di ujung telepon. Helena kembali memeriksa denyut nadi Alena. Masih ada. Tapi sangat lemah. Dengan cepat, ia mengambil selimut dari ranjang, menutup tubuh Alena agar tetap hangat. “Ya Tuhan, semoga cucuku baik-baik saja…” Helena terus mengusap kepala Alena, matanya berkaca-kaca. Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar tergesa-gesa. Tristan datang dengan napas terengah. “ALENA!” “Tristan, sini! Dia belum sadar dari tadi!” Helena memberi ruang untuk putranya. Tristan langsung berlutut, menggenggam tangan Alena. “Sayang, dengar aku. Ini aku, Tristan. Kamu harus bangun. Demi bayi kita, kamu harus kuat…” Alena masih tak bergerak. Tanpa menunggu lebih lama, Tristan mengangkat tubuh Alena ke pelukannya. “Kita ke rumah sakit sekarang!” katanya tegas. Helena mengangguk dan mengikuti mereka. Di dalam mobil, Tristan terus menggenggam tangan Alena, doa terus dia panjatkan dalam hati demi keselamatan Alena. “Bertahanlah, Alena. Aku nggak bisa kehilangan kamu…” Sesampainya di rumah sakit, Tristan mondar-mandir di depan ruang IGD dengan wajah tegang. Tangannya mengepal, kemejanya sudah basah oleh keringat meski ruangan ber-AC. Berkali-kali ia melirik ke arah pintu yang belum juga terbuka. “Kenapa lama sekali? Dokter belum keluar juga!” gumamnya dengan nada cemas. Helena duduk di kursi tunggu, ikut gelisah meski berusaha tetap tenang. Tapi melihat wajah putranya yang pucat karena panik, ia ikut terseret dalam kecemasan. “Mas, duduk dulu. Kamu capek, dari tadi bolak-balik terus,” bujuk Helena pelan. Namun Tristan menggeleng. “Aku nggak bisa tenang, Ma. Semua ini salah aku… Kalau saja aku nurut sama permintaan Melina untuk tukar hari, aku pasti ada di rumah. Aku pasti bisa jaga Alena... kejadian ini nggak akan terjadi!” Helena menarik napas panjang. Ia tahu hubungan anaknya dengan dua wanita itu penuh masalah. Tapi kini, saat Alena sedang dalam bahaya, semuanya terasa tidak penting. “Yang penting sekarang kamu di sini, Mas. Kamu sudah bawa Alena ke rumah sakit, itu yang terpenting,” ujar Helena, mencoba menenangkan. Tristan menghentikan langkahnya ketika pintu ruang IGD akhirnya terbuka. Seorang dokter perempuan keluar sambil membuka masker medisnya. Wajahnya tenang, tapi tetap serius. “Suami dari Nyonya Alena?” tanya sang dokter. “Ya, saya, Dok. Bagaimana keadaan istri saya? Dan... kandungannya?” Tristan langsung maju dengan penuh kekhawatiran. Dokter itu tersenyum tipis. “Tenang, istri Anda baik-baik saja. Dia hanya mengalami anemia karena kekurangan asupan makanan. Hal itu wajar terjadi pada ibu hamil, apalagi...” Tristan menelan ludah. “Apalagi apa, Dok?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD