"Nai, bos-mu ganteng banget, ya. Aku nek kerja neng kono kayane ora fokus saking terpesonane karo Mas Affandra, hahaha," celetuk Leni, mahasiswi asal Cilacap. (Aku kalau kerja di sana kayaknya nggak fokus saking terpesonanya sama Mas Affandra).
Sejak Vira dan Salsa berkoar-koar bahwa atasan Naira itu gantengnya menembus khatulistiwa, beberapa teman kost Naira penasaran dan datang sendiri ke restoran tempat Naira bekerja. Meski ujung-ujungnya cuma pesan jus dan pisang goreng krispi, tapi mereka puas bisa menyaksikan Mas Bos yang hilir mudik masuk dapur dan kadang turun langsung melayani pelanggan.
"Lebay kamu, Len. Tapi bener sih, aku kalau jadi Naira bakal memanfaatkan kesempatan buat deket-deket sama Mas Affandra." Salsa ikut berkomentar.
Naira yang sedang bersiap hendak berangkat hanya tersenyum. Affandra memang tampan, tapi terkadang dia begitu dingin dengan kesan galak yang mendominasi.
"Naira itu udah punya tunangan yang kerja di Jepang. Ya nggak mungkin lah Naira deketin Mas Affandra," celetuk Vira.
Sesaat Naira tergugu. Teringat akan hubungannya dengan Okta yang tanpa kepastian. Ia tak pernah merasakan bahwa pria itu mencintainya. Memang dia sudah bertunangan, tapi terasa jalan sendiri. Ia lihat teman-temannya yang memiliki pacar sering kali berkomunikasi lewat telepon dan jika mereka tidak berjauhan, sang pacar sesekali datang untuk ngapel atau mengajak jalan-jalan.
Pengecualian untuk Okta. Laki-laki itu jarang menghubunginya. Ia sangat aktif mengunggah sesuatu di medsosnya, selalu saja foto dirinya yang mengundang perhatian para followers perempuan. Bahkan ia kadang memperhatikan, ada satu nama yang begitu akrab dengannya. Sering kali mereka saling berbalas komentar. Rasanya tak salah jika Naira menyebut apa yang dia jalani bersama Okta hanya sekadar formalitas untuk memenuhi permintaan almarhumah ibunya dan juga ibu Okta.
"Nai, kok kamu diem?" Salsa menyadari Naira sedari tadi tak menanggapi perkataan teman-temannya.
Naira tersenyum dan menatap ketiga teman kostnya.
"Entah, aku sebenarnya bingung. Aku udah punya tunangan, kok rasanya kayak nggak punya tunangan, ya? Dia jarang banget ngubungi aku, selalu aku yang harus ngubungi dia lebih dulu. Itu juga balasannya singkat-singkat, kayak nggak minat buat chat sama aku lebih lama. Emang orang pacaran itu kayak gini, ya? Ini udah lebih dari pacaran, tapi tunangan..."
"Kamu belum pernah pacaran sebelumnya, ya? Setahuku yang namanya pacaran itu manis, mesra, kayak si Amel, tuh. Tiap malam ditelepon pacarnya," tukas Leni.
"Tergantung karakter cowoknya. Kalau tunangannya Naira mungkin emang tipe cuek dan cuma akan menghubungi saat ada yang penting saja," timpal Vira..
Naira tak ingin memikirkan lebih jauh. Saat ini yang terpenting baginya adalah bekerja dan menunggu ayahnya kembali dari Australia.
******
Naira tiba di restoran pagi-pagi sekali. Hanya Affandra yang baru tiba di restoran karena ia memang yang memegang kunci restoran. Affandra kagum juga dengan sikap disiplin Naira. Gadis itu penuh semangat dan terlihat menikmati pekerjaannya.
Melihat Affandra sudah datang, Naira membuatkan teh hangat, minuman favorit bos ganteng satu itu. Naira mengantarkan ke ruangan Affandra. Laki-laki itu tengah terpekur di depan laptop, entah apa yang dikerjakannya.
"Minumnya, Pak," ujar Naira.
"Makasih," balas Affandra singkat.
Naira hendak berbalik, tapi Affandra buru-buru memanggilnya.
"Nai, tolong bersihkan ruangan saya dulu."
Naira mengangguk. "Ya, Pak. Saya ambil sapu dan kemoceng dulu."
Naira bergegas mengambil sapu dan kemoceng. Ia mulai menyapu dan membersihkan barang-barang di ruangan Affandra. Laki-laki itu semakin awas mengamati Naira. Instingnya sering kali tak meleset. Entah kenapa ia merasa ada yang disembunyikan gadis itu. Karyawan dan karyawati yang bekerja di restorannya ada banyak, tapi tak ada satu pun yang memancing rasa ingin tahunya seperti sosok Naira.
Naira merasa canggung sendiri. Saat ia melirik ke arah bosnya, pria itu tengah memperhatikannya. Naira segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Karena masih penasaran apakah Affandra masih mengamatinya atau tidak, Naira kembali meliriknya. Laki-laki itu masih menatapnya. Naira kembali mengalihkan tatapannya. Dadanya mendadak berdebar. Ia berpikir, apakah Affandra tertarik padanya. Belum ada karyawan lain yang datang. Bagaimana jika bosnya bersikap kurang ajar padanya? Naira melirik pintu ruangan yang terbuka. Jika Affandra macam-macam, ia bisa lari menerobos pintu yang terbuka.
Naira tak tahu kenapa sosoknya yang polos tiba-tiba membayangkan sang atasan bertingkah tak sopan padanya. Mungkin ini efek membaca cerita-cerita fiksi tentang CEO m***m yang suka grepe-grepe sekretaris atau menodai asisten rumah tangganya. Naira mengerjap, mencoba membangunkan kesadaran diri dan tidak membayangkan yang tidak-tidak.
"Nai ...."
Naira menoleh. "Ya, Pak."
"Kamu tahu kota Purwokerto dari mana? Kenapa ingin sekali tinggal di sini dan bekerja di sini?"
Naira membisu sesaat. Rupanya sang atasan masih penasaran akan tujuannya datang ke Purwokerto dan bekerja di restorannya.
"Bapak sudah pernah menanyakannya pada saya," jawab Naira pelan.
"Saya tidak puas dengan jawaban kamu. Rasanya klise sekali jika kamu tiba-tiba tertarik untuk bekerja di sini dan mencoba menjalani hidup di sini."
Naira bingung harus membalas apa.
"Ehm ... saya tahu tentang Purwokerto dari teman-teman yang kuliah di sini. Wajar kalau saya tertarik untuk tinggal di sini. Meski kota ini tidak sebesar Bandung, tapi kota ini nyaman dan biaya hidup juga terhitung terjangkau." Naira memaksakan kedua sudut bibirnya untuk melengkungkan senyum.
Affandra tak merespons. Entah kenapa ia tak bisa mempercayai perkataan Naira seratus persen.
"Dari tadi Bapak bertanya terus sama saya. Apakah saya boleh bertanya Bapak?
Affandra membulatkan matanya.
"Kamu ingin bertanya apa?"
Perasaan gugup tiba-tiba melanda. Naira menimbang kembali apakah ia ingin menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran atau ia urungkan.
"Kenapa kamu diam? Kamu mau nanya apa?"
Naira mengumpulkan keberaniannya. Ia mengembuskan napas pelan.
"Pak Affandra bilang kalau Bapak adalah anak angkat Pak Joko Wisanggeni. Saya penasaran bagaimana Bapak bisa diangkat anak oleh Pak Joko?"
Affandra menatap Naira tanpa suara. Hal ini membuat Naira salah tingkah. Ia berpikir apa pertanyaannya berlebihan?
"Kenapa kamu nanya soal ini?" Affandra memicingkan matanya.
"Ehm saya ... saya cuma ingin tahu saja."
"Kenapa kamu ingin tahu?" cecar Affandra.
"Ya sekadar ingin tahu saja. Soalnya Bapak sangat beruntung diangkat anak oleh Pak Joko." Naira berusaha menetralkan rasa gugupnya.
"Kenapa kamu bilang saya beruntung?" Affandra masih menatap Naira tajam.
Naira bingung mencari jawaban yang pas.
"Ya, karena tidak semua orang bisa seberuntung Pak Affandra yang diangkat anak oleh orang baik dan mapan seperti Pak Joko. Pak Affandra bisa mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi dan sekarang mengelola restoran." Naira tersenyum. Dalam hati ada rasa pahit yang menjalar. Ia tak perlu merasa iri dengan Affandra kendati jauh di lubuk hatinya masih ada keinginan untuk merasakan bagaimana dikasihi oleh seorang ayah.
Affandra masih terpaku dan menatap Naira lekat, seolah mencoba membius gadis itu hingga ia tak bisa berkutik.
"Saya tidak bisa berbagi cerita sama kamu. Untuk apa?" balas Affandra lalu kembali memusatkan perhatiannya pada layar laptop di hadapannya.
Seketika bibir Naira terkatup sempurna. Ia kembali memutar kepalanya untuk menyambung kata demi kata yang terdengar pas.
"Bapak sudah bertanya banyak hal sama saya dan saya juga sudah menjawabnya. Kalau ingin kita impas, Bapak juga sebaiknya menjawab pertanyaan saya." Naira sedikit menunduk.
"Kamu bertanya sesuatu yang pribadi. Kenapa saya harus bercerita sama kamu? Kamu bukan siapa-siapa saya." tandas Affandra.
Naira mencelos. Kenapa semua itu terdengar menyakitkan meski ia sadar sepenuhnya, ia memang bukan siapa-siapanya Affandra. Ya, hanya saudara angkat yang terpisah lama dan statusnya jauh lebih memprihatinkan, karena ia tak pernah dianggap oleh Joko Wisanggeni. Saudara angkat yang seperti orang asing dan memang bukan mahram.
Affandra kembali mengetik di layar laptopnya. Bayangan Naira masih mematung, memenuhi sebagian bola matanya. Ia enggan bercerita bagaimana Pak Joko mengangkatnya sebagai anak pada orang yang baru dikenalnya. Dulu dengan tangkas, ia menarik tangan Zalina, putri Pak Joko yang waktu itu berumur 6 tahun. Gadis cilik itu hendak menyeberang jalan tanpa pengawasan orang tua. Affandra yang waktu itu berumur 14 tahun segera menarik tangan Zalina karena dari arah seberang ada mobil yang melaju sangat kencang dan hampir menabrak gadis cilik itu. Joko dan istrinya tersentuh melihat kebaikan hati Affandra yang ternyata anak yatim piatu dan bekerja sebagai pedagang asongan. Mereka mengangkat Affandra sebagai anak dan menyekolahkannya hingga perguruan tinggi.
"Kamu bisa keluar dari ruangan saya dan silakan dilanjutkan pekerjaan kamu," ucap Affandra tanpa menolehnya lagi.
Naira menurut. Ia melangkah gontai keluar dari ruangan Affandra dan melanjutkan pekerjaannya.
Semua berjalan seperti biasanya. Keempat petugas cleaning service saling berbagi tugas membersihkan toilet. Hari ini Naira Kebagian membersihkan toilet. Jika hari ini sudah membersihkan toilet, maka esoknya giliran petugas yang lain.
Saat tiba jam istirahat, karyawan bergantian sholat dan makan siang. Selesai sholat di mushola restoran, Naira bersiap makan siang dengan salah seorang petugas cleaning service dan satu lagi, salah seorang pelayan.
Saat mereka makan di ruang belakang, mereka melihat seorang wanita cantik berderap menaiki tangga, menuju ruang Affandra.
"Ckckck ... Cantik banget kayak artis. Kulitnya mulus, rambutnya panjang. Tipeku banget," Sapto tak jua berkedip menatap perempuan itu.
Naira pun mengamati gerak-gerik sang wanita yang sepertinya sudah sering mengunjungi restoran.
"Namanya Renata, sering ke sini. Mungkin ada hubungan sama Pak Affandra. Ya mereka emang serasi, sih. Satu ganteng, satu cantik," celetuk Nuri, salah satu pelayan.
Naira terdiam. Rupanya Pak Affandra sudah memiliki pacar. Tapi itu baru spekulasi Nuri. Hal itu sama sekali bukan urusan Naira. Ia melanjutkan makan siangnya, bergantian dengan karyawan lain.
Menjelang restoran tutup, hujan mengguyur memercikkan aroma petrikor yang menyeruak di segala sisi.
Naira bersiap pulang tapi hujan yang mengecil masih saja membuatnya ragu. Ia bahkan belum membeli payung atau jas hujan. Mungkin saat gajian nanti ia harus membelinya.
Affandra melihat Naira berdiri di teras depan. Ia tahu gadis itu tengah menunggu hujan reda. Rasa simpati pun memenuhi rongga dadanya. Affandra berjalan menuju tempat di mana gadis itu masih mematung.
"Kamu pulang jalan kaki?" tanya Affandra.
Naira sedikit kaget. Ia menoleh pada atasannya itu.
"Iya, Pak."
"Sepertinya hujan masih akan lama. Saya antar, ya," tukas Affandra yang merasa iba juga melihat Naira bersedekap menahan dingin.
Naira segera menggeleng. "Nggak, Pak. Saya bisa pulang sendiri."
"Lebih baik kamu pulang bersama saya, lebih aman. Kamu bisa sakit atau kedinginan kalau hujan-hujanan."
Naira tersenyum. "Terima kasih atas kebaikan Bapak. Tapi Bapak nggak perlu repot-repot memberi saya tumpangan. Saya kan bukan siapa-siapanya Bapak." Naira memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum.
Affandra speechless. Naira menirukan perkataannya pagi itu.
"Sudah agak reda, saya permisi dulu, Pak. Assalamu'alaikum." Tanpa menunggu reaksi Affandra, Naira berlari dan menutupi kepalanya dengan jaketnya.
"Wa'alaikumussalam."
Affandra tertegun. Ia menyadari, gadis itu memiliki sisi menarik. Namun ia tegaskan berulang, dia dan Naira hanyalah atasan dan bawahan. Ia harus menjaga profesionalismenya dalam bekerja.
******