Tak terasa sudah sebulan Naira bekerja di restoran sang ayah yang telah diserahkan pada Affandra untuk dikelola. Bahagia rasanya saat ia menikmati gaji pertamanya. Ia membeli kebutuhannya dan sisanya ia tabung. Ia juga tengah keranjingan menekuni hobi lamanya yang sudah lama tak ia lakukan lagi, yaitu menulis. Naira memutuskan menulis cerita di w*****d dibumbui kisah nyata tentang perjalanannya di kota Satria ini.
Hubungannya dengan Okta masihlah hambar tanpa kepastian. Laki-laki itu bahkan tak lagi menanyakan kabar atau sekadar membalas komentarnya di i********:. Naira menganggap hubungannya dengan Okta sudah berakhir dan ia tak mau memikirkannya lagi. Ia punya impian lain yang ingin raih yaitu bisa mewujudkan impiannya yang tertunda, belajar di bangku kuliah.
Naira menjalani hari seperti biasa. Ia berangkat ke restoran pagi-pagi. Setiba di sana sudah ada Affandra yang tengah membenahi sayur-sayur di kulkas. Naira cukup takjub juga melihat ketangkasan Affandra. Atasannya ini tak selalu mengandalkan karyawannya untuk beberes. Terkadang ia melakukan segalanya sendiri.
Affandra melirik Naira yang meletakkan tasnya di loker. Naira menatap atasannya datar.
"Bapak mau dibikinin teh sekarang?"
"Nanti saja," balas Affandra datar.
Tiba-tiba Sapto dan Adi berderap memasuki dapur. Ia terkejut melihat Affandra yang tengah menata sayuran.
"Bapak udah berangkat? Biar kami saja yang menata sayuran." Sapto merasa tak enak hati melihat sang atasan turun langsung beberes di dapur.
"Nggak apa-apa, ini pekerjaan mudah," sahut Affandra yang menoleh sepintas ke arah Sapto dan Adi.
"Oya, Nai, aku udah follow i********:-mu, follback ya. Diem-diem Naira udah tunangan, profilnya ada keterangan engaged sama si Okta." Adi tersenyum lebar dan melirik Sapto.
Sapto terbelalak, tak percaya. Terlebih Affandra. Ia sangat terkejut mendengar fakta yang entah kenapa begitu menyakitkan. Ia sadar benar, ia tak mencintai Naira. Ia tengah melakukan pendekatan dengan Renata. Ia bisa merasakan bahwa Renata pun menaruh hati padanya. Namun entah kenapa mendadak hatinya kosong, seperti ada yang tengah retak. Ia tak tahu, kenapa ia harus terluka jika memang tak ada rasa yang bersemi untuk gadis itu.
"Serius, Di? Nai, kok kamu nggak pernah cerita? Inyong patah hati kiye tah. Tembe bae arep tak tembak, cempuleke wis duwe tunangan." (Aku patah hati ini mah. Baru saja mau aku tembak, ternyata udah punya tunangan). Sapto menggaruk-garuk kepalanya.
Adi tertawa cekikikan dan meledek nasib Sapto yang selalu patah hati.
Naira hanya tersenyum kecil. Ia merasa tak enak hati pada Affandra. Diperhatikannya ekspresi wajah Affandra yang tiba-tiba mendung.
"Nai, tolong buatkan teh, lalu antar ke ruangan saya." Affandra berlalu dari dapur dengan segala rasa yang tak mampu ia definisikan. Ia merutuki diri yang tiba-tiba berubah menjadi sosok yang begitu mudah terpikat oleh perempuan. Perempuan yang bahkan belum lama ia kenal. Perempuan biasa yang terkadang ceroboh tapi terbitkan segunung simpati di hatinya.
Naira mengangguk pelan. "Baik, Pak."
******
Naira meletakkan segelas teh hangat di hadapan Affandra. Laki-laki itu menatap Naira tajam. Naira pun bingung sendiri, tatapan Affandra seperti menyimpan amarah.
"Jadi kamu udah tunangan?" tanya Affandra tanpa basa-basi.
Naira mengangguk tanpa suara. Meski kenyataannya ia tak pernah merasa benar-benar bertunangan, tapi ia tetap menghargai Okta dengan mencantumkan di profil i********:-nya bahwa ia sudah bertunangan. Tak peduli meski Okta begitu cuek padanya.
"Kenapa kamu nggak pernah cerita?"
Pertanyaan Affandra kali ini membuatnya terkesiap. Detak jarum jam seolah menunggu jawabannya. Namun yang ada ia pun bingung memaknai pertanyaan sang atasan. Kenapa Affandra menanyakan sesuatu yang pribadi? Kenapa sorot mata Affandra seolah menyiratkan rasa tidak sukanya.
"Kenapa saya harus cerita sama Bapak?" Naira balik bertanya.
Bibir Affandra terkatup. Ia menyadari kekeliruannya. Tak seharusnya ia menunjukkan rasa ingin tahunya dengan bertanya hal pribadi pada Naira.
Affandra bingung untuk menjawab. Ia kembali menatap Naira yang sepertinya menunggu jawabannya.
"Apa kamu nggak denger tadi? Sapto patah hati karena tahu kamu tunangan? Kesalahan kamu adalah menyembunyikan status kamu sampai bikin anak orang patah hati. Coba kalau kamu terbuka dari awal, nggak akan ada yang kaget sampai patah hati."
"Sapto itu cuma bercanda, Pak. Dia nggak serius suka sama saya. Lagipula ini urusan pribadi jadi untuk apa saya koar-koar cerita kalau saya udah tunangan?"
Affandra terdiam sesaat tapi ia tak dapat menutupi rasa ingin tahunya.
"Sejak kapan kamu tunangan? Kapan kamu menikah?" ada nada bicara yang sedikit meninggi dibumbui rasa kesal yang medominasi.
"Saya nggak tahu kapan menikah. Kami dijodohkan orang tua. Dan pertunangan ini yang jadi alasan saya datang ke sini."
Affandra mengernyit. "Apa tunangan kamu ada di Purwokerto?"
Naira menggeleng. "Dia bekerja di Jepang. Bahkan kami belum pernah bertemu sebelumnya, hanya tahu medsosnya."
"Lalu hubungannya dengan Purwokerto apa?" Affandra semakin tertarik dengan cerita kehidupan Naira.
"Saya ... saya sedang mencari ayah kandung saya untuk menjadi wali nikah dalam pernikahan saya nanti."
Benar dugaan Affandra bahwa kedatangan Naira di sini pasti ada sesuatu. Sekarang ia tahu alasan yang sebenarnya.
"Lalu ayah kamu di mana?" tanya Affandra lagi.
"Saya sedang mencarinya," balas Naira.
Affandra mengelus dagunya dan kembali menatap Naira. Gadis itu salah tingkah dibuatnya.
"Apa kamu mencintai tunangan kamu?"
Naira seakan membeku. Ia tak tahu harus menjawab apa.
"Pertanyaan Bapak sudah mencampuri ranah pribadi. Saya tidak nyaman."
Affandra beranjak dan mendekat ke arah Naira. Ia menyandarkan tubuhnya pada meja. Tangannya bersedekap.
"Sebagai atasan, terkadang saya harus tahu kehidupan pribadi bawahan apalagi jika ada masalah yang tengah dihadapi bawahan."
"Saya sedang tidak ada masalah. Lagipula saya bisa saja membalikkan kata-kata Bapak. Bapak pernah menolak bercerita tentang bagaimana bapak diangkat anak oleh Pak Joko dengan alasan bahwa saya bukan siapa-siapanya Bapak. Sekarang saya akan pakai alasan yang sama. Bapak bukan siapa-siapa saya, jadi saya nggak perlu bercerita urusan pribadi. Hubungan kita hanya sebatas urusan kerja, atasan dan bawahan." Kata-kata itu meluncur tegas.
Affandra terpaku, tak menyangka Naira berani bicara seperti itu. Affandra tahu dia sudah terlalu banyak bertanya. Ia pun tak mau menunjukkan kepeduliannya. Seharusnya ia bisa menjaga wibawa sebagai seorang atasan. Sesaat ia merutuki diri kenapa ia harus memendam rasa ingin tahu yang sedemikian besar akan urusan Naira.
"Baik, mulai sekarang saya nggak akan mau tahu lagi urusan pribadi kamu. Anggap saja yang tadi itu hanya rasa ingin tahu sesaat. Sebenarnya urusan kamu bukan urusan saya. Kamu mau bertunangan dengan siapapun termasuk menyembunyikan status kamu, itu bukan urusan saya. Kamu mau buat banyak cowok patah hati juga silakan. Apa urusannya dengan saya."
Tiba-tiba dering ponsel Affandra berbunyi. Laki-laki itu mengangkat telepon.
"Assalamu'alaikum Ayah..."
Naira bergetar mendengar Affandra menyebut ayah. Apakah itu Joko Wisanggeni? Ayahnya?
"Ayah mau pulang minggu depan? Fandra tunggu ya, rasanya kangen sekali sama Ayah, Ibu, dan Zalina."
Dada Naira berdebar hebat. Sang ayah akan pulang ke Indonesia minggu depan? Affandra melirik Naira yang masih terpekur.
"Silakan keluar dari ruangan saya," titah Affandra.
Naira menurut. Ia keluar dari ruangan sang atasan.
Sejak pembicaraan alot itu, interaksi Affandra dan Naira semakin minim. Bahkan ketika Affandra memasak dapur, ia tak menoleh Naira sedikit pun yang saat itu tengah mencuci piring.
Naira bisa merasakan sikap Affandra yang menjadi lebih dingin padanya.
"Saya butuh teflon," ujar Affandra.
Naira segera mengambilkan, di saat yang sama, rekan kerjanya Nuri juga mengambilkan teflon. Affandra menerima teflon dari Nuri, sementara ia tak menghiraukan Naira dan sama sekali tak melirik teflon dalam genggaman gadis itu. Naira mencelos. Ia bisa merasakan atasannya ini memang sengaja mendiamkannya dan menganggapnya tak ada.
Entah kenapa, Naira merasa sakit diperlakukan seperti ini. Harusnya ia tak perlu merasa sakit karena Affandra terbiasa bersikap dingin. Namun kali ini rasanya begitu berbeda.
Naira merasa lebih sakit lagi ketika tiba-tiba Affandra menyambut kedatangan Renata dengan senyum merekah. Ia mengajak Renata masuk ke ruangannya. Memang pintu terbuka, tapi Naira tak bisa mengusir prasangka buruk karena di ruangan itu keduanya bercanda mesra begitu akrab, gaung tawanya terdengar hingga ke luar ruangan.
Naira tak habis pikir, kenapa ia harus sakit hati mendengar tawa Affandra dan Renata yang tengah berduaan di ruangannya.
Saat jam makan siang, Naira yang sedang haid menggantikan tugas Nuri untuk melayani pengunjung, sedang Nuri sholat di Mushola restoran.
Tanpa sengaja Naira menjatuhkan piring yang berisi ayam geprek hingga suara pecahannya mengagetkan semua yang ada di sana, tak terkecuali Affandra.
Affandra keluar ruangan. Kekesalan yang memang sudah menggunung untuk gadis itu semakin memuncak. Affandra memarahi Naira di hadapan semua karyawan dan pengunjung.
"Kerja yang bener dong! Megang piring aja sampai jatuh. Ini kedua kali kamu memecahkan piring!" binar amarah Affandra menguasai bola matanya.
Naira terperanjat mendengar intonasi suara Affandra yang meninggi. Amarah itu seolah melengking di segala sudut.
"Maaf, saya nggak sengaja." Naira menunduk. Ingin rasanya menangis. Ia malu dimarahi seperti ini di depan banyak orang.
"Bawa piring aja nggak becus!" gertak Affandra. Ia segera berlalu menuju ruangannya.
Semua mata masih tertuju pada gadis malang itu. Saat ia hendak mengambil sapu untuk membersihkan, Sapto segera mengambil alih sapu dalam genggamannya.
"Biar aku yang bersihin, Nai."
"Makasih Sapto," Naira segera berbalik ke belakang. Ia duduk di teras dapur belakang dan air mata itu pun tumpah. Tangisnya terdengar sesenggukan tapi ia mencoba menahan kuat-kuat. Ia akan bertahan apapun caranya, demi bertemu dengan ayah kandungnya. Meski Affandra menyakitinya, ia tak akan mundur.
Saat tiba waktunya pulang, hujan masih mengguyur cukup deras. Naira membawa payung, tapi karena hujan terlampau deras ia akan menunggu hingga hujan sedikit mereda.
Affandra merasa bersalah karena siang tadi ia sudah memarahi Naira di depan karyawan dan pengunjung. Ia mendekat ke arah gadis itu.
"Apa kamu mau saya antar pulang?" Affandra harap semua itu bisa menjadi salah satu cara untuk meminta maaf.
Naira tersentak.
"Saya bisa pulang sendiri. Soal piring yang pecah itu, insya Allah akan saya ganti."
"Hujannya deras banget, Nai. Saya akan memaksa kamu untuk pulang bareng saya."
Naira tak merespons. Ia membuka ikatan payungnya.
"Saya pulang dulu, Pak. Assalamu'alaikum." Naira segera menghambur keluar. Ia berjalan cepat dan ingin segera tiba di kost untuk beristirahat. Hari ini begitu melelahkan untuknya.
Sepasang manik bening Affandra masih mengawasi gadis itu hingga hilang dari pandangan. Rasa bersalah itu masih bercokol. Ia bisa melihat ada luka dalam pendaran mata Naira. Affandra begitu menyesal telah menyakiti gadis itu.
******
Esoknya Affandra merasa kehilangan sosok Naira yang biasanya berangkat pagi. Mentari semakin menyilaukan dan gadis itu belum tiba jua. Ia berjalan menuju dapur.
"Nuri, Naira belum berangkat, ya?" Affandra mengernyitkan alis.
"Oiya, saya lupa ngasih tahu Bapak. Naira sakit jadi izin hari ini tidak berangkat. Dia mau minta izin langsung sama Bapak tapi nggak ada nomornya. Kami juga nggak tahu nomor Bapak. Dia kirim pesan WA sama saya dan minta saya untuk menyampaikan hal ini ke Bapak," balas Nuri ramah.
Ada rasa sedih yang menggerogoti. Perasaan bersalah itu semakin menjadi. Hatinya mendadak kosong. Rasanya ia harus segera meminta maaf pada gadis itu.
******