Lima

1750 Words
Affandra gelisah tak menentu. Ingin ia mengetahui kabar Naira, tapi rasanya gengsi dan ia ingin menjaga profesionalisme hubungan pekerjaan. Terhadap bawahan yang lain, dia tak pernah sepeduli ini. Saat ada yang sakit, ia hanya akan menanyakan kabar karyawan tersebut setelah karyawan tersebut kembali aktif bekerja. Kecuali jika karyawannya sakit berat atau lama tidak berangkat, ia akan menjenguk. Ia bertanya pada Nuri tentang sakit Naira. Gadis itu sakit flu dan demam, tapi katanya demamnya sudah turun. Jadi bukan sakit yang berat. Tetap saja, ada rasa khawatir yang berkecamuk. Affandra membuka data Naira, ia telah menyimpan nomor handphone Naira juga mencatat alamat kostnya. Ia merenung sejenak, haruskah ia mengirim pesan untuk Naira dan menanyakan keadaannya? Atau dia harus menjenguk Naira? Baru satu hari tidak berangkat, Affandra sudah cemas seperti ini. Namun ia menahan diri untuk tak memberi perhatian berlebih pada Naira. Ia harus adil terhadap semua bawahan. Tiba-tiba ia ingin mengintip akun i********: Naira. Ia bisa mencarinya di i********: milik Adi. Beberapa karyawan mem-follow akun i********:-nya, meski ia tak pernah mem-follow balik akun para karyawannya. Raut kecewa menghiasi rona wajah Affandra kala membuka akun i********: Naira, akun tersebut diprivat. Rasa rindu tak terbendung. Ia menghubungi Renata untuk mengajaknya jalan, siapa tahu hati dan pikirannya akan teralihkan. Ia meyakinkan diri bahwa ia tak jatuh cinta pada Naira. Orang tuanya menyukai Renata dan seharusnya ia fokus saja pada Renata meski status hubungan mereka masih murni teman. Affandra keluar dari ruangan dan menuju area parkir. Ia melajukan mobilnya menuju butik Renata untuk menjemput gadis cantik itu. Keduanya memilih jalan-jalan ke mall. Renata membeli dua novel. Setelah itu mereka duduk berbincang di coffee shop sembari menyesap dua cangkir espresso dan mencicipi waffle yang menjadi salah satu menu best seller di coffee shop itu. "Om Joko mau pulang minggu depan, ya? Mama tadi ngasih tahu." Renata mengaduk-aduk kopinya. "Iya, Ren. Aku seneng banget, udah kangen sama mereka." Renata tersenyum. "Mama bilang, ada hal penting yang ingin orang tuaku bicarakan dengan orang tua kamu. Apa ini soal perjodohan kita?" Renata menatap Affandra tajam. Renata tak tahu pasti bagaimana perasaan Affandra padanya. Namun, ia merasa nyaman setiap kali berdekatan dengan Affandra. Terkadang ia lelah menunggu karena hingga detik ini Affandra tak pernah menunjukkan sinyal-sinyal ketertarikan meski mereka sering jalan bersama. Affandra membisu beberapa menit. Wacana perjodohannya dengan Renata memang sudah pernah diutarakan sang ayah. Namun, ia belum memberi jawaban. Ia akui, Renata gadis yang baik. Namun ia tak merasakan sesuatu yang lebih di hatinya. Pikirannya justru kembali bergelut memikirkan Naira. Kendati sudah ada Renata sekalipun, nyatanya hati dan pikirannya masih berkelana pada sosok gadis sederhana itu. "Fan, kenapa kamu diam? Ini masalah yang sangat penting karena menyangkut masa depan kita." Renata menajamkan tatapannya. "Iya aku tahu, Ren. Kamu sendiri apa menerima perjodohan ini?" Giliran Renata yang terdiam. Bagaimana ia menjawab, sementara Affandra pun tak jua mengambil keputusan. Sebenarnya ia setuju dengan perjodohan ini. Namun rasanya tak etis jika ia langsung menjawab 'ya', sementara Affandra seolah tak berminat pada perjodohan ini. Ia pun punya gengsi. Sebagai perempuan, rasanya akan sangat malu jika sampai cintanya ditolak. "Entahlah ... atau kamu udah punya pacar?" Pertanyaan Renata mengusik perasaan Affandra. Dia belum memiliki pacar, tapi ketika mendengar kata 'pacar', seketika ia teringat pada Naira. Lagi lagi Naira. Ia seperti tengah terserang virus bernama Naira, kemana pun kaki melangkah, ia selalu teringat pada gadis itu. "Fan ...." Affandra terkesiap. "Ya, Ren ...." "Kamu belum jawab pertanyaanku. Apa kamu udah punya pacar?" Affandra menggeleng. "Aku belum punya pacar." Renata semakin tak mengerti, Affandra belum punya pacar tapi dia pun tak pernah memberi dirinya kesempatan untuk membuka hati. Ia merasa laki-laki itu tak tertarik padanya. Entah sampai kapan ia harus menunggu Affandra untuk bisa jatuh cinta padanya. ****** Malam semakin larut, Affandra tak bisa memejamkan mata. Nama Naira seolah-olah menari-nari di pikirannya. Ia mengerjap berkali-kali, meyakinkan diri bahwa ia hanya bersimpati pada gadis itu, bukan jatuh cinta. Ingatannya melayang pada kejadian di mana ia memarahi Naira di depan orang banyak. Wajah gadis itu seketika memucat dengan mata yang berkaca-kaca. Ia menyadari, dirinya sudah bersikap begitu jahat pada Naira. Ingin ia menanyakan kabar gadis itu. Lagi-lagi gengsi merajai. Hatinya masih menolak. Ia yakinkan diri, ia tak mencintai Naira, tidak mencintainya. Affandra memejamkan mata, berharap esok segera datang. Ia mendoakan kesembuhan untuk Naira. ****** Naira duduk di ranjang dengan menekuk lututnya. Demamnya sudah turun tapi flu masih menganggunya. Kepalanya masih terasa berat. Ia menjatuhkan kepalanya di atas lutut. Napasnya memberat. Ia sudah berobat ke Puskesmas dan ia harap besok bisa kembali bekerja. Naira merebahkan badan. Tatapannya menembus langit-langit. Amarah Affandra tiba-tiba melintas di benak. Ada rasa sakit yang tiba-tiba menjalar setiap kali mengingat intonasi suara Affandra yang meninggi ketika memarahinya. Jika bukan karena mengemban misi untuk bertemu sang ayah, tentu ia memilih untuk mundur dan tak mau berhadapan dengan atasan segalak Affandra. Naira mengambil ponselnya. Ia buka akun i********:. Ada satu postingan Okta mampir ke berandanya. Naira mengernyit kala ada satu akun yang memberi komentar dengan panggilan 'sayang'. Naira membaca balasan Okta yang juga tak kalah mesra. Okta juga memanggil perempuan itu dengan panggilan 'Sayang'. Hati Naira meradang. Meski pertunangan mereka terjadi karena perjodohan, Naira tetap merasa sakit hati karena Okta telah mengkhianatinya. Jauh-jauh ke Purwokerto demi mencari sang ayah untuk menjadi wali nikah, kini ia tak lagi punya alasan. Siapa yang akan menikah? Naira memberanikan diri untuk menyapa Okta di direct message. Tumben Okta langsung membalas. Okta, ayahku akan pulang dari Australia. Hanya saja, aku merasa kita masih asing satu sama lain. Aku juga tahu kamu tidak mencintaiku. Balasan dari Okta : Maaf, Naira. Aku memang tidak mencintaimu. Aku menerima perjodohan ini memang semata untuk menuruti keinginan ibu. Aku pikir aku bisa belajar mencintaimu, tapi nyatanya aku nggak bisa membohongi diri sendiri. Naira tak tahu harus bersedih atau justru lega karena Okta jujur mengakui perasaannya. Sesungguhnya ia juga belum mencintai pemuda itu. Terima kasih untuk kejujuranmu, Okta. Jangan memaksakan diri menerima perjodohan ini kalau memang tidak ada perasaan. Oya siapa Cheryl? Yang tadi comment sayang. Apa dia pacarmu? Okta langsung membalas. Ya, dia pacarku. Sekali lagi aku minta maaf ya, Nai. Aku akan bicarakan hal ini dengan orang tuaku. Naira terdiam sesaat. Dulu Okta melamarnya lewat telepon. Meski itu adalah perjodohan, tapi kata-kata Okta terdengar begitu serius. Okta mengatakan ia serius ingin menikahi Naira. Awal memutuskan ke Purwokerto pun, pemuda itu mendukung. Namun, begitu ia memulai hari di Purwokerto, ia rasakan Okta perlahan menjauh. Naira memang belum mencintai Okta, tapi tetap saja ada seonggok rasa kecewa karena pemuda itu nyatanya tak pernah punya niat serius untuk menikahinya. Naira bersyukur ia belum jatuh cinta pada Okta. Tak terbayang bagaimana sakitnya jika ia sudah terlanjur mencintai Okta. ****** Affandra merasa lega luar biasa kala pagi ini Naira sudah kembali aktif bekerja. Naira masih terlihat pucat. Affandra curiga jika Naira masih sakit tapi memaksakan diri untuk tetap bekerja. Meski belum fit benar, Naira tetap profesional mengerjakan tugasnya. Ia mengantarkan teh hangat menuju ruangan Affandra. Ada rasa bahagia yang bersemi di hati Affandra kala melihat gadis itu dari dekat. "Tehnya, Pak," ucap Naira sembari meletakkan segelas teh di hadapan Affandra. "Terima kasih. Bagaimana keadaanmu? Apa kamu masih sakit? Wajah kamu pucat." Affandra memperhatikan Naira lekat-lekat. "Saya sudah membaik, Pak." "Jangan bohong. Kamu masih kelihatan pucat. Apa kamu sudah periksa ke dokter?" Naira mengangguk. "Kemarin saya sudah periksa ke Puskesmas." "Apa perlu saya antar ke dokter lagi? Biar kamu benar-benar sembuh." Naira membeku sesaat. Ia bertanya-tanya kenapa Affandra mendadak begitu perhatian padanya? "Nggak perlu, Pak. Obat yang dari Puskesmas juga masih ada. Nanti juga sembuh." "Nai silakan duduk dulu, ada yang ingin saya bicarakan." Dengan ragu, Naira menarik mundur kursi lalu duduk. Ia tak berani membuat kontak mata dengan Affandra. "Saya minta maaf untuk soal yang kemarin. Saya sadar saya telah bersalah karena memarahi kamu di depan orang banyak. Waktu itu mood saya sedang tidak bagus." Naira tersenyum, senyum yang sangat tipis. "Tidak apa-apa, Pak." "Kamu nggak perlu mengganti piringnya," lanjut Affandra. Atmosfer terasa begitu canggung. Naira menunggu Affandra bicara, tapi laki-laki itu tampak menimbang sesuatu. "Nai, saya akan menceritakan semuanya." Naira mengernyitkan alis. "Menceritakan apa, Pak?" "Kamu pernah bertanya tentang bagaimana saya diangkat anak oleh Pak Joko. Saya akan bercerita semuanya." Naira terkesiap. Ia tak percaya, pada akhirnya Affandra bersedia menceritakan semuanya. Menceritakan sesuatu yang ia anggap sebagai hal pribadi. "Saya ini yatim piatu sejak umur lima tahun. Saya tinggal di panti asuhan dan dari kecil sudah bekerja jadi pedagang asongan. Sampai umur 14 tahun, saya masih tinggal di panti asuhan." Affandra mengembuskan napas pelan. Selalu saja ada luka kala teringat akan kedua orang tuanya yang telah tiada. "Waktu itu saya sedang jualan di pinggir jalan. Lalu saya melihat ada gadis cilik yang hendak menyeberang jalan tanpa melihat ke kanan dan ke kiri. Di saat yang sama ada mobil yang melaju kencang dari arah seberang. Saya segera menarik tangan gadis cilik itu ke tepi. Alhamdulillah gadis cilik yang hampir tertabrak itu selamat. Dia adalah Zalina, putri Pak Joko Wisanggeni. Sebagai ucapan terima kasih, Pak Joko dan Bu Rami mengangkat saya sebagai anak mereka." Naira terdiam. Ayahnya begitu baik, tapi kenapa ia menelantarkan istri dan anaknya yang ada di Bandung? "Apa ada hal lain yang ingin kamu tahu tentang saya?" Affandra kembali bertanya. Naira tersentak. Ia mendadak gugup. "Tidak ada lagi, Pak. Maaf kalau saya lancang bertanya hal pribadi. Itu sudah cukup." "Tak apa-apa. Saya nggak akan keberatan untuk berbagi cerita sama kamu, sekalipun itu hal pribadi." Naira tercekat. Ia justru menjadi lebih sungkan dan tak enak sendiri. "Nai, apa saya juga boleh tahu, kapan kamu akan menikah? Siapa nama tunangan kamu?" Naira tersentak. Haruskah ia bercerita apa yang sebenarnya terjadi pada Affandra? "Nama dia Okta. Dia bukan lagi tunangan saya, Pak." Affandra mengernyit. "Maksud kamu?" "Semalam kami bicara jujur. Kami tidak pernah mencintai satu sama lain. Kami hanya menuruti permintaan orang tua. Dia sudah punya pacar. Kami memutuskan untuk jalan sendiri." Gayung seolah bersambut. Hati Affandra seketika berbunga. Ia senang karena masih ada kesempatan untuk mendapatkan hati Naira. "Maaf, saya nggak tahu kalau kalian putus." "Nggak apa-apa, Pak." Naira tak enak hati jika terus berlama-lama di ruangan Affandra. "Apa masih ada yang ingin Bapak bicarakan? Kalau nggak ada lagi, saya mau lanjut kerja." "Oh silakan, Nai ...." Naira beranjak dan keluar dari ruangan Affandra. Sejenak rasa gugup itu masih mendera. Ia tak tahu kenapa ada sesuatu yang bergetar di dalam sana tanpa mampu ia cegah. Affandra terdiam. Senyum terulas dari kedua sudut bibirnya. Senyum itu masih bertahan tatkala wajah Naira seolah terpampang di pelupuk mata. Tak ada yang lebih membahagiakan selain mengetahui bahwa hati gadis itu belum ada yang memiliki. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD