bc

Darah Keluarga J. A

book_age18+
45
FOLLOW
1K
READ
tragedy
straight
crime
like
intro-logo
Blurb

Tragedi ini terjadi karena hal kecil. Darah. Julian Aditama harus rela kehilangan kedua anak dan istrinya. Ini seperti mimpi buruk.

Sang istri Jovanka Alishba dan kedua anaknya, yaitu Javier Abinawa dan Jasmin Aurora tewas di rumah mereka.

Keadaan mereka sangat mengenaskan. Darah di mereka memenuhi rumah. Di sana juga ditemukan pisau yang diduga digunakan untuk mengambil nyawa mereka bertiga. Julian terduduk dengan lemas setelah melihat ketiganya.

Laki-laki itu mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum ia membuka matanya. Ia hanya ingat pulang dalam keadaan mabuk dan disambut sang istri. Wanita itu berkata, "Tidur yang nyenyak!"

Julian sesenggukkan. Ia tak menyangka akan mengalami hal semenakutkan ini. Baginya, seburuk apa pun hubungan mereka akhir-akhir ini, tak membuat ia ingin kehilangan ketiga orang itu dengan cara yang mengerikan. Julian bolak-balik menampar wajahnya sendiri. Julian berharap ini hanya mimpi atau halusinasi.

Sayangnya, semua tetap tak mengubah keadaan sedikit pun. Pria itu berteriak tak karuan. Ia frustrasi. Dunianya seolah-olah telah berakhir.

chap-preview
Free preview
Mimpi Buruk di Pagi Hari
Dering beker menggema berkali-kali di kamar yang sedikit temaram itu. Di sana, tampak seorang pria berkemeja putih masih pulas di ranjangnya. Ia terlihat sedikit terganggu. Akan tetapi, matanya masih tetap terpejam. Suara beker terus berulang. Hingga kesekian kalinya, bunyi itu tak jua mampu membuat mata sang pria terbuka untuk setidaknya mematikan deringanya dan kembali tidur. Hanya kepala pria itu saja yang tampak bergerak. Lama kelamaan, kuping pria itu terganggu. Dengan mata masih sedikit terpejam dan kepala pening, pria itu meraih beker. "Jam delapan? Sayang...! Kenapa enggak bangunin aku, sih? Aku bisa telat!" Pria itu tak mendengar sahutan. Aneh sekali, tak seperti biasanya. Sekali lagi ia berteriak. Berharap sang istri datang dan menjelaskan kenapa ia tak dibangunkan seperti biasa. Akan tetapi, kamar itu tetap hening. Merasa ada yang aneh dan sedikit geram karena kesiangan, pria itu turun. Pria itu menginjakkan kaki ke lantai dan menyadari ada sesuatu yang lengket. Dengan awas, mata pria itu mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Cairan merah kental. Jantung pria itu seperti berhenti berdetak. Dengan panik, sang pria langsung keluar. Pria itu melihat ada pisau berlumuran darah tepat di depan kamarnya. "Ya Tuhan, apa yang terjadi di rumahku?" Mata pria itu nanar menyapu ruang tengah. Ruang tengah itu memang tepat di depan kamar utama tempat di mana sang pria tidur dengan istrinya. Di sana, di atas sofa hitam ruang tengah, tampak sesosok manusia. Alangkah terkejutnya pria itu setelah tubuhnya berada dekat dengan sosok itu. Dalam ruangan yang masih temaram, ia melihat darah di mana-mana. Tubuh sang istrilah yang tergeletak itu. "Ya Tuhan, ini halusinasi atau hanya mimpi?" Menyadari bahwa sang istri sudah tak mungkin diselamatkan, pria itu berlari ke kamar si bungsu. Dibuka kamar gadis cilik itu dengan keras. Ia tak sabar memastikan keadaan sang putri di sana. "Jasmiiin!" Dengan teriakan yang kencang, pria itu mengekspresikan kekacauan hatinya. "Ya Tuhan, aku mimpi, kan? Aku yakin ini mimpi! Ini mimpi! Ini mimpi!" Pria itu berlari ke kamar Javier. Ia berharap ada keajaiban. Ia ingin Javier baik-baik saja. Namun, ketika ia sampai di kamar si sulung, pintunya terbuka. Dari luar ia bisa melihat darah. Darah yang sama banyak dengan di kamar Jasmin. Keadaan Javier pun tak jauh berbeda. Sama-sama meninggal dengan mengenaskan. "Javier!" Pria itu terduduk lesu di ambang pintu. "Apa salahku, Tuhan?" racau pria itu frustrasi. Pria itu bernama Julian Aditama. Ia adalah seorang pebisnis di berbagai bidang, salah satunya restoran. Ia merupakan anak kedua dari pria sukses bernama Hartawan Aditama. "Kalau Engkau mengambil mereka, lalu buat apa aku hidup?" racau Julian lagi. Julian menangis sejadi-jadinya. Ia sesenggukan seraya terus menyalahkan Tuhan. Ia merasa Tuhan tak menyayanginya. Di usianya yang ke-43 tahun, Julian cukup sukses dalam kehidupannya. Ia memiliki seorang wanita yang begitu cantik dan setia, ibu dari kedua anaknya. Nama wanita itu adalah Jovanka Alishba. Wanita yang sehari-hari mengisi waktu dengan menulis di blog itu tampak bahagia menjalani hari-hari sebagai Nyonya Julian Aditama. Pernikahan yang didasari rasa saling cinta di antara keduanya, membuahkan dua orang anak. Anak-anak ceria nan cerdas itu bernama Javier Abinawa dan Jasmin Aurora. Di rumah besar penuh cinta itu, keempatnya tampak begitu bahagia. Julian yang sibuk berbisnis, tak sekali pun melupakan waktu untuk bisa membaginya dengan ketiga orang di keluarga kecilnya. "Polisi, aku harus telepon polisi," kata Julian. Julian berlari menuju ruang tengah dan segera mengangkat gagang telepon. Tangan pria itu gemetaran. Matanya tak bisa lepas dari tubuh sang istri yang terbujur kaku di sofa. Jantung dan otaknya bekerja lebih keras. "Dengan kantor polres Jakarta Selatan di sini, ada yang bisa dibantu?" tanya operator. "Selamat pagi, Pak, saya Julian," kata Julian. "Pagi, Pak Julian, apa yang bisa kami bantu?" "Terjadi pembunuhan di rumah saya, Pak!" "Pembunuhan?" Julian mulai menjelaskan kronologi tewasnya sang istri dan dua anak di rumah itu. Ia menjelaskan apa yang diketahui dan dilihat. Tanpa dikurang dan ditambah. Pria itu hanya ingin pembunuh anggota keluarga yang dicintainya ditangkap dan diadili. Ia sangat marah dan hancur dengan perbuatan itu. Apalagi dengan melihat kesadisan yang orang itu ciptakan. Setelah membuat laporan, Julian duduk di sofa yang tak ada mayat istrinya. Hati Julian benar-benar hancur. Ia terus meratap. Menangisi ketiga orang yang kini sudah tak bisa lagi dipeluk dan disayanginya. Jerit sirene dari luar rumah Julian terdengar. "Mereka udah datang!" seru Julian lega. Julian segera membuka semua tirai jendelanya. "Selamat pagi, polisi di luar!" seru polisi. Julian segera membuka pintu dan mempersilakan para petugas itu masuk. Para pria berseragam cokelat itu segera masuk untuk memeriksa keadaan. Rumah Julian yang tadinya sepi, kini ramai. "Bapak ikut kami ke kantor sebagai saksi!" Sementara beberapa polisi mengurus jenazah dan menandai TKP, Julian diamankan. Pria itu dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Di sana, ia menjalani pemeriksaan dengan hati yang hancur. Ia sama sekali tak menunjukkan gelagat mencurigakan. "Saya baru sampai rumah pukul 2 pagi." Julian menjelaskan bahwa sang istri masih menyambut kepulangannya dini hari itu. Bahkan, Jovanka masih sempat mengantarnya ke tempat tidur dan berpesan agar ia jangan berisik sebab takut anak-anak akan terganggu nanti. Kata sang istri anak-anak sudah tidur di kamar mereka. "Apa Bapak yakin tidak membunuh mereka?" "Yakin." Petugas polisi itu mengamati Julian secara intens. Tak ada sedikit pun gerakan mencurigakan yang terlihat dari pria itu. Namun, ia tak ingin ceroboh. "Kira-kira, ada seseorang yang dicurigai?" "Enggak." Julian menggeleng mantap. Memang ia tak merasa punya musuh. Tak juga punya suatu masalah yang memungkinkan menjadi motif dari aksi balas dendam atau semacamnya. Julian diperiksa sekitar 5 jam dan akhirnya dibiarkan pulang. Namun, ia tak pulang ke rumah miliknya karena saat itu memang sudah diberi garis polisi. Ia menuju rumah orang tuanya dan berniat tinggal sementara di sana. Langkahnya gontai setelah turun dari taksi. Julian disambut pelukan sang ayah dan kakaknya, Devian Aditama. Para pria itu saling menguatkan. Ada duka yang tersirat di wajah mereka. "Lo tenang aja, kita semua pasti bantu!" "Tapi, bukan gue pelakunya!" elak Julian. "Iya." Devian menepuk bahu sang adik. Ia tahu Julian tak melakukannya. Ia sangat yakin adiknya tak akan sampai hati melakukan hal itu. "Temui Mama, Nak, beliau syok berat kayaknya." Hartawan Aditama menggamit lengan Julian. "Baik." Julian melangkah pelan, masih menggunakan kemeja putihnya yang kini sudah kusam karena sudah sejak kemarin dikenakan. Sesampai di depan pintu kamar tidur orang tuanya, Julian sempat ragu. Ia tak tega melihat mamanya sakit karena ulahnya. Meski, itu semua benar-benar bukan perbuatannya. Ia sendiri tak menyangka ini semua terjadi. "Cepat bikin Mama percaya!" perintah Hartawan. "Ya." Julian membuka pintu kamar itu dan mendapati sang mama yang terbaring di ranjangnya. Ada kesedihan yang tampak di sana. Sedangkan, sang asisten rumah tangga keluarga Aditama segera bergeser dari tempatnya. Wanita yang tadi sedang mengelus pelan tangan keriput Nyonya Hartawan itu mengangguk. Lalu, keluar dari kamar itu. Meninggalkan mereka. "Apa yang terjadi sama menantu dan cucuku?" Julian hanya mengangguk seraya menangis. Pria itu benar-benar tak kuasa menjawab. Melihat sang anak menangis, Nyonya Hartawan ikut sesenggukan. Ia merengkuh bahu anaknya. Memeluk erat, bermaksud menguatkan. Julian memang tak setegar kelihatannya. "Julian enggak becus jaga mereka, Ma!" "Kamu anak baik, kenapa ini bisa terjadi?" "Julian enggak tahu, Ma," jawab Julian parau. Laki-laki itu terus menumpahkan segala sesak jiwanya. Menangis sejadi-jadinya. Suaranya terdengar menyedihkan.  Bahu Julian terus berguncang seiring air matanya yang menderas. Memaksa sang Mama untuk semakin erat merengkuh bahunya. Ia tak ubahnya Julian kecil yang menangisi kematian anjing kesayangannya dulu.  Nyonya Hartawan tak bisa berbuat apa-apa, kecuali terus membiarkan anak bungsu itu meluapkan kesedihannya.  Semoga dengan membiarkan Julian puas menangis, setelah ini ia akan lebih tegar menjalani hari-hari berikutnya. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Marriage Aggreement

read
81.1K
bc

Scandal Para Ipar

read
694.2K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.9K
bc

My Devil Billionaire

read
94.8K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.2K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
625.0K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook