Pemakaman

1114 Words
Autopsi sudah selesai dilakukan kepada ketiga jenazah. Kini, polisi telah mengantongi penyebab dan waktu kematian ketiganya. Dari hasil pemeriksaan, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan pelaku pembunuhan itu adalah Jovanka. Ya, wanita itu membunuh kedua anaknya. Lalu, siapa yang membunuh wanita itu sebenarnya? "Dia bunuh diri," jawab dokter forensik tegas. Pihak kepolisian menyimpulkan hal itu sebagai kebenaran. Apalagi, di dalam pemeriksaan saksi, salah satu di antara mereka ada yang menyebut Jovanka depresi. Saksi itu bernama Ruby Ziya. Si saksi akan segera diperiksa. "Saya ingat, Pak, dia mengatakan tentang itu." "Apa Anda tidak memberinya nasihat dan dukungan?" "Saya selalu ada di sampingnya untuk mendengarkan apa saja yang dia ceritakan." Ruby bersaksi bahwa Jovanka sudah berkali-kali ia sarankan ke psikolog. Akan tetapi, wanita itu menolak. Ia tak ingin orang lain tahu masalahnya. "Jadi, saudari Jovanka tidak pernah ke psikolog?" Ruby menggeleng. Ia menyesal tak memaksa sahabatnya itu menemui psikolog atau psikiater. Jika saja ia tahu akan begini, tentu apa pun akan dilakukan demi menghindari peristiwa memilukan ini. Ruby ingat wajah murung sahabatnya itu. "Seandainya saya tahu akan seperti ini...." "Apa Anda tahu kenapa saudari Jovanka bisa sampai depresi seperti itu?" tanya penyidik. Ruby menerawang. Ingatannya kembali ke beberapa bulan lalu. Saat itu, Jovanka menemuinya tengah malam di taman. Di sana, Jovanka mengatakan apa yang sedang terjadi dalam rumah tangganya bersama Julian. "Julian nuduh aku selingkuh," kata Jovanka. Sontak, Ruby terbelalak. Mana mungkin Julian bisa menuduh sembarangan seperti itu? Padahal dari luar, pasangan itu tampak harmonis. "Kamu yakin Julian begitu?" tanya Ruby ragu. "Kamu enggak percaya sama aku?" tanya Jovanka. Ruby menjadi tak enak hati. Mana mungkin ia tak mempercayai sahabat setianya itu? Untuk apa Jovanka mengarang cerita? "Kalau gitu, apa yang bikin Julian nuduh?" Jovanka menunduk. Ia memainkan jari-jemarinya, gelisah. Hatinya sedang menimbang kalimat yang akan dilontarkannya. Namun, Jovanka tak berani mengatakannya. "Intinya, Julian merasa aku enggak setia." Ruby kecewa karena Jovanka tak memberitahunya. "Aku cuma pengen bantu kalian, kok, Jov!" Jovanka tetap menggeleng. Ia makin menunduk dan kemudian terisak. Ia meracau. "Aku emang istri yang enggak tahu diri, By!" "Sssst!" "Rasanya aku pengen mati aja kalau begini!" Ruby merengkuh bahu sahabatnya itu erat. "Jovi, denger! Jangan pernah main-main sama ucapan! Tolong jangan macam-macam!" "Emang bener aku istri enggak tahu diri, By!" Jovanka makin menjadi. Tangisan kini terdengar menyayat di tengah malam. Untung saja, taman itu tidak ramai. Akan tetapi, tetap saja suara tangisan itu bisa membuat yang mendengar terganggu. Ya meski di sana tak ramai orang. Taman itu terletak tak jauh dari kediaman keduanya. "Kamu harus tenang, Jov," bisik Ruby sungguh-sungguh. "Kamu pernah dituduh selingkuh enggak?" "Enggak." "Itulah kenapa kamu bisa nyuruh aku tenang!" Jovanka menepis tangan Ruby yang masih melingkupi bahunya. Ia merasa tak suka diperlakukan seperti itu oleh orang yang tak mau tahu akan perasaannya. Jovanka merasa muak dan kesal. Padahal, sebagai sesama wanita, harusnya Ruby paham perasaannya kini. Jovanka akhirnya memutuskan untuk pulang. "Julian menuduh Jovanka selingkuh, Pak." Polisi itu menulis apa saja yang dikatakan Ruby. Setidaknya, keterangan wanita itu nyambung jika dihubungkan dengan hasil autopsi. Si wanita berambut pendek itu juga menambahkan jika malam itu adalah saat terakhirnya bertemu Jovanka. Ia tak bisa lagi bertemu Jovanka karena selalu ditolak. Jadi, ia hanya berkirim pesan lewat ponselnya. "Baik, terima kasih informasinya, ya, Bu Ruby." "Sama-sama." "Anda sudah boleh pulang," kata sang petugas. Ruby pulang dengan hati yang belum percaya. Wanita itu sungguh tak menyangka sahabatnya yang dulu ceria, tiba-tiba saja melakukan hal gila seperti itu. Ia terus memikirkan pertemuan terakhir mereka. Ia sangat menyesal tak mengetahui duduk perkara sebenarnya. "Jovi, tega sekali kamu ninggalin aku begini!" Ruby melajukan mobilnya menuju pemakaman. Wanita itu berharap masih bisa melihat peti sang sahabat untuk yang terakhir. Ia beruntung karena masih bisa menyaksikan peti mati sahabatnya itu saat sedang dimasukkan ke liang lahat. Air mata Ruby merembes. "Mantukuuuu! Cucukuuu! Kalian kenapa?" "Ma, udah, tenang! Mantu sama cucu Mama udah di sisi Tuhan. Mama ikhlasin!" Devian terlihat menenangkan sang mama. "Kenapa mantu dan cucu Mama cepat pergi?" "Percayalah Tuhan lebih sayang sama mereka!" Nyonya Hartawan terus berteriak dengan parau di saat tanah merah itu perlahan menutup peti-peti orang tercintanya yang telah pergi. Devian terus berusaha membuat wanita tua itu kuat. Dielusnya pelan bahu sang mama. Ia juga terus membisikkan kalimat-kalimat yang menenangkan. "Hidup Mama rasanya mendadak suram." Devian tahu mamanya sangat sayang kepada menantu dan cucu-cucunya. Ia saja yang anak tiri merasa begitu disayang, tanpa pernah dibedakan dengan Julian. Wanita itu memang memiliki cinta yang luar biasa. "Ma, Mama masih punya Julian," bisik Devian. "Kamu kenapa biarin semua ini terjadi, Dev?" Devian tak mengerti kenapa mamanya menanyakan itu. Apalagi tatapan mata sembab itu begitu menghunjam jantung Devian. Sampai ia merasa jadi tertuduh. Padahal ia tak tahu menahu perkara yang terjadi dalam rumah tangga sang adik. Ia sendiri tak begitu sering mengobrol dengan Julian. Biar pun ia sering bertemu Jovanka, bukan berarti semua masalah wanita itu diketahuinya Devian tentu saja. Pemikiran picik macam apa itu? "Ma, Devian enggak tahu apa-apa di sini." "Mama tahu kalian dekat," ucap sang Mama. "Mama jangan salah paham!" ujar Devian. Tatapan sang mama perlahan berubah. "Mama tahu kamu suka sama Jovanka!" "Mama!" Terlalu kencang Devian berteriak hingga menyebabkan beberapa orang yang ada di sekitar mereka menoleh. Devian mengangguk ke arah berpasang-pasang mata yang menatapnya. "Mama sangat tahu semua tentang kalian!" "Mama, cukup!" sergah Devian dengan kecewa. Devian yang merasa dipojokkan memilih menjauh dari ibu tirinya. Ia ingin menenangkan diri. Tak senang dengan kalimat bernada menyalahkan yang dilontarkan sang mama tadi. Julian yang melihat sang mama ditinggalkan kakaknya, lalu mendekat. Wanita itu segera mengulas senyum yang dipaksakan kepada Julian. Khas ibu. "Kamu tinggal di rumah habis ini, ya, Lian!" "Ya." Julian tak bisa dan sedang ogah membantah. "Kita pasti bisa melewati ini bersama-sama." Julian hanya mengangguk mendengarnya. Hatinya hanya sedang menyesal. Ia tak berharap kehidupan rumah tangganya berakhir sedemikian tragis dan menyakitkan. Ia menyesal sudah membuat Jovanka melakukan hal itu. "Maafin Papa, Sayang," gumam Julian lemah. "Semua udah terjadi, Nak," bisik Hartawan. Julian benar-benar masih belum bisa menerimanya. Laki-laki itu menengadah, berharap air matanya tak lagi sanggup untuk menetes. Namun, semua sia-sia. Julian kini terlalu cengeng dan lemah. Bahkan, ia merasa hampa. Langitnya yang selama ini penuh bintang dan bulan purnama, kini seolah-olah runtuh. Langitnya kini hanya dipenuhi gelap dan hujan. "Lian merasa jadi laki-laki paling kalah di dunia." "Setiap orang pernah salah dan kalah, Nak." Sebisa mungkin, Hartawan memberi nasihat. Namun, Julian tetap tak menghiraukannya. Bagi Julian, kekalahan itu tidak dialami oleh setiap orang. Hanya orang-orang dengan kesalahan yang akan kalah. Ia sadar telah melakukan kesalahan itu. Julian terlalu mencintai Jovanka. Ia begitu protektif, hingga lupa bahwa semua itu justru terlalu keras. Ia baru sadar sekarang. Sikap protektifnya itu yang akhirnya membunuh. Secara tak langsung, Julian menyadari kesalahannya. "Jovi melakukan ini karena Lian," ucap Julian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD