"Gue kira kita bakal bisa ngobrol satu dua hal pakai kepada dingin. Gue juga mau baikan sama lo... demi nyokap lo. Bukan demi gue!"
Julian masih diam, menatap Devian di depannya.
"Buat apa?" tanya Julian akhirnya, tak tertarik.
Devian kesal dengan sikap Julian saat ini.
"Ternyata umur memang kagak selalu
relevan sama kedewasaan, ya," sindir Devian.
Mendengar itu, Julian tertegun. Tidak ada yang salah dari perkataan Devian di telinga Julian. Memang begitu pula yang ia rasakan.
Devian di mata Julian tak ada beda. Ia kekanakan dan frontal. Julian sampai heran.
"Lo lagi ngaca di depan gue?" balas si adik.
Devian melengos dan pergi. Rasanya percuma dan buang-buang waktu. Ia akhirnya memutuskan untuk tak mau bicara lagi dengan adiknya itu.
"Terserah lo mau gimana," gumam si kakak.
"Aneh!"
Julian hanya bergumam kesal seraya menahan nyeri yang menyerangnya. Ia kemudian bergegas menuju UGD di rumah sakit itu. Merasa perlu untuk dirawat.
"Lian!"
"Astaga."
Julian lupa kalau ayahnya mungkin di UGD.
Semuanya terlambat karena pria tua itu menangkap basah Julian. Wajah si pria tua itu memerah melihat si putra bungsu yang terluka. Ia memeluknya.
Hartawan terisak. Paham dengan apa yang sedang terjadi. Dielus-elusnya si bungsu di punggung. Mencoba untuk menunggu memberikan dukungan.
"Apa pun masalahnya, semoga kalian berbaikan."
"Papa jangan mikirin Lian!" ujar sang anak.
Bagaimana mungkin orang tua begitu saja membiarkan anaknya terluka? Si bungsu terluka karena si sulung. Pada akhirnya Hartawan hanya bisa diam saja.
Menengur Devian pun rasanya si pria tua tak sanggup melakukannya. Jadi Hartawan hanya serba salah. Devian dan Julian sama kerasnya.
Apalagi ini semua bermula dari soal si mantu.
Mantu yang kini sudah tiada. Namun, kepergian mendadak dan tragisnya si menantu pergi membuat mereka tak percaya jika itu benar-benar terjadi. Bahkan mungkin luka mereka pun ini masih belum kering.
"Rawat lukamu, Nak!" kata Hartawan akhirnya.
"Iya."
Julian mengangguk. Pelukan si ayah pun merenggang, lalu terlepas. Sang ayah pun segera memanggil dokter di ruangan itu.
"Tolong anak saya, Dok!" mohon sang papa.
"Saya siapkan peralatannya dulu, ya, Pak!"
***
Devian sudah di kamar rawat Nyonya Hartawan.
"Mama mungkin enggak bisa maafin Devian."
Pria 45 tahun yang biasanya ceria itu, kini murung. Tak ada lagi sorot penuh keceriaan di mata tajamnya. Bahkan, suaranya pun terdengar begitu berat.
"Ternyata kamu udah di sini," sapa Si Papa.
Pria tua itu baru saja masuk ruangan di mana istrinya dirawat intensif. Ia tak menyangka Devian sudah di sana. Tadinya Hartawan berpikir si sulung mungkin sedang menenangkan diri di suatu tempat yang sepi.
"Devian keluar dulu," pamit si sulung buru-buru.
Hartawan hanya bisa menatap anak itu.
"Ya."
Mau tak mau, hanya sepatah kata itu yang mampu dikeluarkan Hartawan. Pria tua itu tak mampu menjadi bijak saat ini. Yang ia bisa hanya memberi ruang.
Mungkin saja saat ini memang anak-anaknya sedang ingin punya ruangan sendiri.
Ruang pribadi dua orang kakak adik beda ibu. Satu ibu saja, konflik sering terjadi di dalam hubungan kakak adik pada umumnya. Apalagi yang beda.
Hartawan akhirnya hanya bisa coba memaklumi.
Mata tuanya bahkan hanya bisa jadi bisu langkah gontai si sulung keluar ruangan.
"Pa...!"
Hartawan terkejut mendengar sebuah panggilan.
"Ma...!"
Hartawan yang tadi hanya menoleh, kini segera membalik badan. Dengan sigap pria itu menghampiri sang istri. Digenggamnya tangan lemah Nyonya Hartawan sepenuh hati. Setulus jiwa.
Dikecupnya perlahan seraya menetes air mata yang sedari tadi tersimpan di pelupuknya.
Nyonya Hartawan yang mengenakan masker oksigen pun mencoba untuk tak ikut menangis. Berkali-kali tangan keriput mereka saling meremas pelan seolah-olah berkata untuk tegar. Tak ada maksud lain, selain saling kasih kekuatan.
Namun, sekuat apa pun sang nyonya mencoba bertahan, toh dinding hati miliknya ternyata terlalu rapuh. Mata itu pun dengan kurang ajarnya segera melelehkan cairan bening. Kemudian, disusul isakan yang tertahan.
Sudah tidak bisa dihindari lagi, tangis keduanya pecah. Hartawan pun tidak lagi bisa menjadi sandaran kesedihan sang istri. Ia malah ikut terhanyut.
Di kala aroma sedih itu makin kental, Julian datang. Wajahnya terperban di beberapa titik. Bajunya pun masih tak bisa sepenuhnya bersih dari darah.
Di tengah pintu itu Julian tercekat. Ia telanjur membuka pintu ruang rawat sang mama. Sedangkan aura di dalam sedang tidak kondusif.
"Lian cuma pengen ngecek Mama aja, kok."
"Masuk!"
Mau tak mau Julian menuruti kalimat ayahnya.
"Lian mau ganti baju dulu sebenernya ini."
Julian berbicara setenang mungkin. Ia tak ingin mamanya makin sakit gara-gara kecerobohannya ini. Melihat itu baju penuh noda darah, orang tua tak akan mungkin bisa menahan sedih. Ia hanya berharap sang mama tenang.
Tangan tua Nyonya Hartawan terulur ke arah anak semata wayangnya itu. Tangan itu disambut Julian. Remasan halus diberikan oleh pria 42 tahun itu segera.
"Kapan kalian bisa baikan?" tanya Si Mama.
"Kenapa Mama nanyain itu?" tanya si anak.
Air mata sang wanita tua makin tidak terbendung.
Di ingatan sang wanita tua, dua anak yang sangat dikenalnya itu begitu tak terpisahkan.
Dulu, di mana ada Julian, di situ pasti Devian ada sebagai pelindungnya. Si anak semata wayang Nyonya itu pun menjadi semacam anak emas. Dapat perlindungan dan limpahan kasih tak berbatas atau pun bersyarat.
Namun, nyatanya sekarang keadaan berbalik.
Julian dan Devian tak ubahnya kobar api yang ditambah sedikit bensin saja bisa melalap apa saja di sekitar. Tiada ada perumpamaan lain yang cocok. Si adik dan si kakak kini tak lagi saling peduli satu sama lain.
"Coba kamu ingat-ingat lagi masa lalu kalian!"
Julian sedikit tak terima. Mana bisa ia mengingat-ingat hal yang justru ingin dihapusnya dari kepala? Rasanya tak ada guna menyimpan memori itu.
Senyum dan keberadaan Devian sama sekali tidak ingin diingat Julian. Sama sekali tidak. Pria itu sudah berniat tak lagi menganggap Devian saudara.
Saudara macam apa yang mencintai istri dari saudaranya sendiri? Bahkan menebar benih hingga lahir dua anak yang malangnya sangat disayangi dan dicintai Julian. Anak-anak malang itu kini tewas akibat keadaan yang sudah telanjur tidak baik. Keadaan di mana ibu dari anak-anak itu ketahuan main gila.
"Cukup sudah ingatan Lian dipenuhi Jovi!"
"Kamu enggak boleh egois!" nasihat Si Nyonya.
Egois.
"Di mananya Lian bisa dibilang egois, Ma?"
Hartawan yang sedari tadi diam, kini mendekat.