11. Menghajarnya Lagi

1238 Words
Mata Lova melotot mendengar suara yang sudah ia hapal. “Apa? Apa kau gila?!” teriak Lova hingga berdiri dari duduknya. Ia sudah memberi Zegan 1 juta dan rasanya sudah cukup sekedar untuk memperbaiki mobilnya. Tidak ada masalah dengan mesin, mobilnya baik-baik saja, hanya butuh memperbaiki body depannya saja. “Terserah. Berikan aku ATM-mu. Aku sudah di depan. Cepat temui aku.” Di tempat Zegan ia mengakhiri panggilan setelah mengatakan itu. Bukannya menggunakan uang dari Lova untuk memperbaiki mobilnya, ia justru menggunakannya untuk membeli ponsel. Membeli smartphone itu dari seseorang dengan harga lebih murah di bawah pasaran. Namun, itu bukan ponsel curian, ia berani memastikan itu. Zegan menatap layar dalam diam dan mendapati panggilan masuk dari Lova. Tanpa berniat mengangkat panggilan, ia justru turun dari mobil. Kembali ke tempat Lova, ia tampak misuh-misuh dan semakin misuh-misuh saat Zegan mengabaikan panggilan. “Aaa! Aaaaa!” Lova berteriak sambil mengacak rambutnya. Bagaimana bisa dirinya begitu sial? Pagi ini bagai hari kiamat untuknya. Rekan Lova yang baru saja memasuki ruangan, menatap Lova keheranan. “Hei, ada apa dengan–” “Benar-benar b******n! Sialan! Pria b******k! Pria gila!” Belum selesai rekan Lova bicara, menanyakan apa yang terjadi padanya, ia telah disambut teriakan darinya. Wanita yang kemarin menghubungi Lova itu pun, seketika bergidik hingga reflek mengambil melangkah mundur. Lova meluapkan kemarahannya dengan berteriak memaki Zegan, mengabaikan rekannya yang ketakutan melihatnya. Dadanya terlihat naik turun, mata dan wajahnya merah seperti siap menelan siapa saja bulat-bulat. Drt … Perhatian Lova kembali pada ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia segera menyambar benda pipih itu dan mengangkat panggilan. “Aku tidak akan memberimu sepeser pun!” “Apa maksudmu? Jangan banyak bicara, cepat ke lobi!” Lova menurunkan ponsel dari telinga melihat nomor siapa yang tertera pada layar. Rupanya, itu bukan Zegan melainkan nomor Maya, si resepsionis. “Apa? Kenapa aku harus–” “Pokoknya cepat! Sebelum ada yang mati di sini!” Lova menatap ponselnya dengan sebelah alis meninggi. Kemarahannya mulai mereda digantikan dengan rasa penasaran. Ia pun bergegas menuju lobi. “Hei, mau ke mana kau?” Melihat Lova kembali normal, rekannya berani bertanya. Namun, Lova mengabaikannya dan melangkah cepat meninggalkan ruangan. “Ish, ya Tuhan, ada apa dengan anak itu? Apa kepalanya terbentur sesuatu?” desah rekan Lova sambil menepuk pelan dadanya. Lova bergegas menuju lift, hingga tak lama ia pun tiba di lantai dasar. Dan saat pintu lift terbuka, matanya seketika melebar melihat pemandangan di depan mata. Bagaimana tidak? Ia melihat Darren terkapar di lantai juga dua teman kerja lainnya. Dan di sana, berdiri Zegan dengan kepalan tangan yang berlumur darah. Lova menutup mulutnya dengan wajah pucat. Meski tak melihat apa yang terjadi sebelumnya, ia bisa menebak, menduga terkaparnya Darren dan dua orang lainnya pasti karena ulah Zegan. Beberapa waktu setelahnya, Lova dan Zegan telah berada di dalam mobil sementara ketiganya korban Zegan telah dirawat di klinik. “Kau mau aku dipecat?! Kau sudah merampas uangku, sekarang kau mau aku kehilangan pekerjaanku?!” Napas Lova terengah, dadanya sampai naik turun karena memarahi Zegan. Sementara Zegan kelihatan sama sekali tak peduli. “Salah sendiri, mereka yang membuat ulah lebih dulu,” ucap Zegan membela diri. Kepulan asap seolah mengepul dari kepala Lova. Kedua tangannya mengepal kuat dan semakin kuat disertai gemeretak gigi saat mendengar Zegan kembali bicara. Ia seolah lupa ancaman-ancaman Zegan kemarin yang membuatnya bertekuk lutut. “Jangan banyak bicara. Berikan saja ATM-mu.” Lova mengambil kartu ATM yang masih berada di saku dan dengan kasar melemparnya pada Zegan. Setelah melakukan itu, ia segera keluar dari dalam mobil. “Kuharap kau kecelakaan dan tak pernah lagi kembali dalam hidupku!” teriak Lova kemudian menutup pintu dengan keras. Zegan mendengus, mengambil kartu ATM Lova dan memasukkannya ke saku lalu segera tancap gas. Dalam perjalanan, Zegan sesekali teringat apa yang terjadi sebelumnya, bagaimana bisa dirinya berkelahi dengan Darren. Ia tak habis pikir kenapa Darren masih berani padanya padahal ia telah menghajar pria itu kemarin. Mungkin pria itu ingin balas dendam dengan mengajak dua rekannya. Sayangnya, tiga orang seperti Darren sama sekali bukan tandingannya yang sejak kecil sudah berlatih bela diri. Kejadian sebelumnya adalah …. Zegan berjalan melewati gerbang dan menuju lobi setelah melewati pos keamanan, mengatakan bahwa ponsel Lova terbawa olehnya. Sesampainya di lobi, ia baru saja meminta resepsionis memanggil Lova sampai tiba-tiba suara Darren menginterupsi pendengarannya. “Apa yang kau lakukan di sini?” Darren baru saja keluar dari lift dan menemukan Zegan berdiri di depan meja resepsionis membuatnya menghampiri. Ia tak akan melupakan wajah Zegan, wajah orang yang sudah membuat hidungnya ditambal perban. Zegan menatap Darren dengan tatapan datar kemudian memperhatikannya dari kepala hingga ujung sepatu yang dipakainya. Merasa tak mengenal Darren, Zegan kembali menghadap resepsionis memintanya segera menghubungi Lova. Tangan Darren terkepal kuat. Ia marah merasa diabaikan. “Jangan bersikap seakan kau lupa padaku, sialan,” geram Darren disertai gigi bergemeletuk. Tiba-tiba datang dua karyawan yang memasuki lobi di mana perhatian mereka tertuju pada Darren. Melihat itu, Darren memberi isyarat pada keduanya yang merupakan rekan satu divisinya untuk membantu. Dua pria itu saling melempar pandangan sekilas kemudian mendekati Darren untuk menanyakan bantuan apa yang rekannya itu inginkan. “Bantu aku membawanya ke toilet,” ucap Darren tanpa mengalihkan tatapan tajamnya dari Zegan. Rekan Darren itu kembali saling melempar pandangan sekilas hingga akhirnya mengangguk meski tidak tahu pasti apa tujuan Darren sebenarnya. Keduanya pun mendekati Zegan, berdiri di sisi kanan dan kirinya. “Aku baru melihatmu di sini. Kau karyawan baru?” ucap rekan Darren yang memakai baju warna denim. Satu rekan Darren lainnya merangkul Zegan, sambil menepuk bahunya ia mengatakan, “Kalau begitu aku akan mengantarmu berkeliling. Ayo ikut aku.” Zegan tetap diam. Bahkan saat rekan Darren berkulit sawo matang itu menarik bahunya agar mengikutinya, ia sama sekali tak bergeming. “Singkirkan tangan kalian dariku,” ucap Zegan saat rekan Darren yang lain berusaha mendorongnya. “Apa katamu? Jangan macam-macam di sini. Kami adalah senior di sini,” ancam rekan Darren. Zegan mulai merasa kesal. Ia kemudian menginjak sepatu pria berkulit sawo matang dengan keras seakan-akan seluruh kekuatannya ditumpukan pada kaki yang menginjak kaki pria itu hingga membuatnya mengerang kesakitan. Mendengar rekannya berteriak, pria berbaju denim itu tersulut amarah hingga melayangkan pukulan ke arah Zegan. Namun, dengan mudah Zegan menghalaunya dengan satu tangan. Ditangkapnya kepalan tangan pria itu lalu menyentaknya dengan keras. Mata Darren melebar melihat kedua rekannya tampak kesakitan. Satu rekannya mengibaskan tangan yang sakit karena Zegan menyentaknya dengan keras. Sementara satu lagi mengerang kesakitan sambil sesekali mengangkat kakinya yang seakan gepeng karena injakan kaki Zegan. Melihat pemandangan itu membuat kemarahan Darren kian menggebu-gebu. Darren mengepalkan tangannya dengan kuat dan bersiap menghajar Zegan. Kekesalannya pada Zegan membuatnya lupa bahwa ia berada di kantor sekarang. “Dasar baji–” Duagh! Belum sempat Darren menyelesaikan kata yang terlontar dari mulutnya, Zegan lebih dulu menendang perutnya hingga ia terdorong ke belakang lalu jatuh tersungkur. Darren mengerang memegangi perut. Tak ingin terlihat lemah, ia bangkit berdiri dan berniat kembali melawan Zegan. Akan tetapi, pada akhirnya ia tetap kalah meski dua rekannya ikut turun tangan. Zegan memejamkan mata sejenak teringat semua itu. Meski ia telah membuat ketiga orang itu babak belur, ia punya cukup bukti untuk tidak bertanggung jawab. Ia punya alasan bahwa yang dilakukannya semata untuk melindungi diri. Tiba-tiba Zegan merasa ada yang aneh dengan mobil yang dikemudikannya. Remnya tidak berfungsi dengan sempurna padahal di depannya ada turunan yang cukup curam. Seketika ia pun teringat ucapan Lova sebelumnya yang memintanya mengalami kecelakaan. Apakah ucapan wanita itu akan jadi kenyataan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD